“No one is you, and that’s your superpower.”
—Unknown
*****
Aku menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri, mencari seseorang yang tadinya berjanji akan berjumpa denganku di depan bangunan megah di hadapanku. Tanganku merogoh ke dalam sling bag berwarna coklat susu yang tersampir di bahuku, mengambil ponsel yang tadi kubawa serta.
“Sampai mana?” tanyaku, sesaat setelah tersambungnya panggilan dengan nomer yang dituju.
“Gue di depan pintu masuk, lo di mana?” dia bertanya balik padaku.
“Gue ke sana, tunggu bentar. Masuknya bareng,” jawabku, seraya memutus sambungan telepon dan berjalan mencari seseorang yang tadinya menelepon.
Siang ini nampak begitu cerah, seakan ikut mendukung acaraku hari ini. Tidak terlalu panas dan agak dingin, mungkin karena semalam hujan turun lumayan lebat. Untung saja pakaian yang kukenakan ini lumayan tebal sebab aku termasuk tipe yang tidak tahan dengan cuaca dingin.
“Hanaa …!!”
Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku. Sang empu suara melambaikan tangan dengan semangat. Aku melangkah menghampirinya.
“Nunggu lama nggak, Fan?” tanyaku setelah berada di dekatnya. Fany menggeleng sebagai jawaban.
“Ayo langsung masuk aja. Ada yang udah nunggu di bioskop katanya,” sahutnya, sambil mengotak-atik ponselnya. Kami berjalan bersisian memasuki bangunan megah tersebut.
Sesuatu melintas dalam pikiranku, membuatku lantas berbisik pelan pada Fany, “Dia nggak dateng ‘kan?” Entah sudah berapa kali pertanyaan itu terlontar dalam benak dan bibirku.
“Nggakk!! Ya ampun, lo udah tanya itu dari kemarin. Lagian lo ‘kan tau sendiri, dia itu sibuk, nggak mungkin dateng ke acara yang nggak guna kayak gini,” jawabnya, seraya mencubit lenganku gemas.
Aku mengaduh pelan akibat cubitannya yang sedikit keras. “Ya … siapa tau aja lo mau bohongin gue. ‘Kan bisa aja lo sekongkol sama Maysa buat nggak ngasih tau gue soal Fathan.”
“Maaf deh, gue masih punya banyak kerjaan yang lebih penting dibanding bohongin lo. Hm? Apa jangan-jangan … lo belum move on?” lanjutnya, sembari melepaskan cubitannya.
“Eh, itu bioskop. Ayo masuk, Fan,” sahutku, mengalihkan pertanyaannya dan memasuki bioskop terlebih dahulu.
Fany mendengus kesal, “Malah pura-pura budek,” ketusnya, sambil menyamakan langkah denganku yang sudah memasuki bioskop.
Langkahku mendadak terhenti seketika. Mataku membelalak kaget saat kulihat seseorang yang tidak kuharapkan malah hadir di sana. Aku menarik lengan Fany, menjadikan tubuhnya sebagai tameng agar lelaki itu tidak dapat melihatku.
Awalnya gadis itu memekik karena terkejut, dan mulutnya sudah hampir terbuka untuk mengomeliku panjang lebar. Namun, ketika ia melihat sorot mataku yang nampak aneh, dia lebih memilih melihat ke mana arah pandangku.
“Sialan!! Katanya dia nggak ikut, kenapa sekarang gue bisa liat wujudnya dia?!” ucapku memaki padanya. Fany yang melihat ekspresiku sontak tertawa.
Aku melotot padanya, “Lo ngapain ketawa?!” seruku galak.
“A-aduh, maaf-maaf,” gadis itu mengusap air mata yang keluar dari sudut matanya. “Gue nggak percaya dia beneran dateng. Keajaiban dunia ini mah,” terangnya melanjutkan.
“ … Lo udah ngapain aja hah?”
Tubuh gadis di hadapanku bergidik pelan begitu kuucapkan pertanyaan itu. Dia menghentikan tawanya dan menghindari tatapan yang kulemparkan padanya. Aku menatapnya semakin tajam.
“G-gue … harus ke sana! Kalau lo masih mau di sini, gue duluan ya.” Fany buru-buru menyingkir dari hadapanku dan berjalan menuju lokasi yang dijadikan titik berkumpul. Apa aku berhalusinasi melihatnya setengah berlari? Memangnya dia melihat setan?
“Ah iya,” seakan teringat oleh sesuatu, dia berbalik menghampiriku dengan cepat. Fany memegang pundakku dan tersenyum, “Tenang aja, Fathan nggak gigit kok. Lo kayak biasanya aja. Gue janji dia nggak akan gangguin lo.”
Aku mendecih pelan setelah Fany setengah berlari meninggalkanku. Bukan itu masalahnya. Gue cuma masih agak malu soal 2 hari yang lalu, batinku disertai jantung yang berdegup kencang.
Hah. Jangan jadi pengecut diriku. Hanya hingga petang dan semuanya akan berakhir. Tenang saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari seorang manusia bernama Fathan Adhitama.
Aku mengangguk pelan, memantapkan diri. Kemudian berjalan menuju titik kumpul yang sudah ditentukan. Samar-samar, aku mendengar percakapan yang terjadi di sana.
“Makanya buruan telepon yang katanya mau ikut. Lama banget sih. Beneran pada mau ikut atau nggak? Tiketnya juga udah kebeli,” salah seorang teman lelakiku menyela begitu saja.
Fany mendengus kesal, “Iya-iya, gue telepon nih,” balasnya mengalah, seraya mengeluarkan ponsel dari dalam sling bag hitamnya.
Aku menghampiri Fany yang masih terlihat jelas sedang emosi. “Kenapa Fan?” tanyaku heran. Habisnya raut wajahnya itu nampak bertolak belakang dengan cuaca dingin saat ini.
Aku sedikit melirik ke arah Fathan. Apa yang dia lakukan di sini? Tidak mungkin dia benar-benar mengikuti acara yang membuang-buang waktu seperti ini, bukan?
“Kalau mau nyapa, sapa aja,” bisik seseorang di telingaku. Aku terlonjak kaget dan sontak melotot pada Fany yang meleletkan lidahnya ke arahku. Jadi sejak tadi ia menyadari bahwa aku sedang memandangi lelaki itu diam-diam?
Wajahku bersemburat malu. “Gue nggak—" bibirku terkatup, tidak bisa melanjutkan ucapanku sendiri. Aku membuang muka darinya.
Gadis itu terkikik geli, “Gue bercanda kok. Tolong telepon Maysa ya,” ucapnya, mengalihkan kata-katanya tadi, sembari menepuk pundakku.
Aku mengangguk singkat lantas mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Mencoba untuk melupakan fakta bahwa Fathan sedang ada di sini.
“Uwoo …! Kok yang dateng banyak?!” seru seseorang diiringi tepukan kencang pada bahuku. Aku terperanjat, seraya menoleh pada orang tersebut.
“May! Lo bisa nggak, jangan ngagetin gue. Kebiasaan banget dari dulu,” timpalku kesal melihat Maysa yang baru saja tiba.
Gadis tomboi itu menampakkan cengirannya, “Sori, hehe,” ujarnya, seraya mengalihkan pandangan untuk melihat siapa saja yang telah datang. Tiba-tiba arah pandangnya berhenti di satu titik. Sepertinya aku bisa menebak siapa yang tengah ia lihat.
“Heh. Kok lo dateng sih? Bukannya lo bilang mau latihan basket buat minggu depan?” kekehnya, sembari melangkah mendekat ke arah lelaki dengan tampang sok cool itu.
Fathan memalingkan wajah, terlihat agak kesal. “Nggak usah banyak nanya. Lo sendiri juga nggak latihan,” balasnya datar.
“Gue beda sama elo ya,” sahutnya terkekeh. Maysa menoleh padaku, “Lo udah nyapa dia belum, Han? Biasanya lo ngarep dia dateng kalau ada reuni ‘kan?” serunya spontan, tanpa pikir panjang.