“A friend may be waiting behind a stranger’s face.”
—Maya Angelou, Letter to My Daughter
*****
“Kok lo di sini? Heh, kebetulan banget ya. Kayaknya kita emang jodoh.”
Aku mendongak gugup, melihat ke arah sumber suara tersebut. Rian dengan senyuman jahil khasnya memasuki area pandangku, membuatku seketika merasa kesal.
Rian berada di barisan kursi di depanku. Dia masih memasang senyumnya dan itu benar-benar membuat kepalaku mendidih. Bagaimana dia masih bisa tersenyum seperti orang bodoh tanpa mengenal situasi dan tempat?
Aku berjalan terburu mendekatinya. Lelaki itu tersenyum semakin lebar saat aku semakin dekat dengannya.
“Lo ngapain di sini?” tanyaku menahan geram.
Rian tertawa, “Emang nggak boleh ya? Gue juga nggak nyangka bakal ketemu lo di sini. Kebetulan banget ya,” jawabnya riang.
Gigiku bergemeletuk saking kesalnya. Kalau saja ini bukan di tempat umum, mungkin aku sudah memakinya habis-habisan sedari mendengar suaranya tadi. Namun untuk menjaga harga diri, aku tidak mau sikap burukku sampai muncul di tempat seperti ini.
Aku berdeham pelan dan memasang senyum setulus mungkin, berusaha memperbaiki ekspresi sebaik yang kubisa. “Bukan gitu, gue juga nggak nyangka bisa ketemu lo di sini. Lo sendirian aja nih?” tanyaku berbasa-basi.
Maysa menutup mulutnya, berlagak seakan hendak muntah. Dengan wajah pucatnya, dia menunjukku dengan takut-takut, seraya berbisik pada Fathan yang masih bisa kudengar, “Lo … lo apain dia? K-kok bisa jadi kayak gitu? Dia nggak lagi kesambet ‘kan? Lo nggak nyewa dukun ‘kan?” tanyanya bertubi-tubi.
Fathan menggeleng, menjawab pertanyaan retoris tersebut.
“Gue bisa denger May,” sahutku ketus.
Persetan dengan topeng ramah sialan ini. Akan kulempar jauh-jauh wajah keduaku untuk sekarang. Lagipula, berpura-pura itu sama sekali bukan gaya hidupku.
“Lah? Dah normal ya?” gadis itu menghela napas lega, namun beberapa detik kemudian menambahkan, “Harusnya gue rekam aja tadi,” dengusnya kecewa.
“Ponsel lo bisa pecah, May,” Fany berseru, menyahuti dari tangga. Dia sudah beranjak menuruni tangga bersama yang lainnya, meninggalkanku dengan Maysa dan Fathan yang masih menungguku—entah kenapa.
Maysa menepuk kening dan tertawa, “Iya juga ya. Untung belum sempet gue rekam.”
“Kita juga harus pergi,” ujar Fathan tiba-tiba, lantas mengalihkan perhatiannya padaku. “Lo gimana, Han? Yang lain udah pada keluar duluan,” lanjutnya bertanya.
Aku berbalik dan balas memandanginya, “Sebentar. Gue juga ikut,” balasku berujar.
Rian masih memasang senyum begitu aku berbalik menatapnya. Bisa hentikan senyum itu tidak? Itu benar-benar memuakkan dan membuatku ingin sekali mengamuk di sini.
“Keberatan nggak kalau gue ikut sama lo?”
Aku berdecak kesal. Sikapnya semakin lama semakin menjadi-jadi saja. Boleh tidak aku menghantamnya sekarang?
“Hm … gimana ya? Gue lagi kumpul bareng temen. Lo nggak apa di—"
“Gue anter lo pulang, gratis,” potongnya cepat sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kataku.
Aku mendecih, “Lo emang sialan. Tau aja uang gue udah mau habis,” cetusku pelan.
*****
Maysa merapat padaku yang berjalan di sampingnya, seraya berbisik pelan, “Nggak apa-apa tuh? Gue nggak yakin mereka berdua bisa akur,” beritahunya dengan wajah tertekuk.
Aku menghela napas pelan, “Mau gimana lagi? Uang gue habis, nggak enak kalau ngerepotin yang lain. Rencananya sih, tadi gue mau pinjem uang lo, tapi udah keburu ditawarin tumpangan sama Rian,” kataku, sembari sedikit melirik ke belakang, memperhatikan Rian yang berjalan di samping Fathan tanpa mengajaknya bicara.
“Kalau secara logika sih, gue bakal milih yang gratis. Dompet gue aman. Nggak bakal ada yang nagihin utang juga,” lanjutku, menarik sedikit senyum di salah satu sudut bibirku.
Maysa memperhatikanku dengan raut serius. Aku berjengit lantaran bingung dengan sikap tiba-tibanya. Kenapa lagi sekarang? batinku heran.
“Apa?” tanyaku bingung.
Gadis itu tiba-tiba tersenyum riang. “Sekarang lo jadi sering senyum ya!” jawabnya, berujar dengan senang.
Wajahku mendadak bersemburat malu tanpa bisa kutahan. Aku memalingkan wajah dari Maysa yang masih terus saja menatap wajahku.
“Gue nggak senyum,” sangkalku tak acuh. Maysa terkekeh pelan dan mengamati reaksiku yang menurutnya terlihat lucu—mungkin karena jarang sekali melihatku malu-malu seperti ini.
Tatapanku beralih pada kaca yang memantulkan wajahku yang berada di sampingku. Memangnya aku terlihat seperti sedang tersenyum? Aku tidak mengerti. Apa mungkin secara tidak langsung aku tersugesti oleh ucapan Fathan?
“Sering-sering senyum kayak tadi. Gue cuma minta itu,”
“Lo agak suram akhir-akhir ini,”
Perasaan ini menyebalkan sekali. Bukannya memudar, ia malah semakin memekat. Belum lagi ditambah dengan sikap tidak wajar dari Fathan. Semua itu hampir membuatku gila 2 hari terakhir ini.
“May,” panggil Fathan yang sontak membuat Maysa tertoleh ke belakang.
Maysa terkekeh begitu melihat raut Fathan yang nampak tidak suka dengan kehadiran Rian, “Jangan gitu dong, Than. Lo jadi kelihatan nggak keren lagi kalau—”
“Diem aja lo. Nyesel udah gue panggil,” potongnya dengan ketus.
Maysa tergelak, “Ya ampun. Pangeran Fathan yang tadi ke mana? Gue kayak liat dua orang yang beda tapi mukanya sama. Kembaran lo kali ya.”
Aku menyikutnya dengan agak keras. Dia menoleh padaku, menatapku seakan hendak bertanya ada apa. Dia ini bodoh atau bagaimana? Jelas-jelas Fathan tidak akan suka bila ada seseorang mengungkit masalah di bioskop tadi. Memikirkan nasib seseorang itu saja aku sudah enggan.
“Jangan dibahas deh mendingan. Lo sengaja pura-pura nggak tau apa emang beneran nggak tau? Dia ‘kan jelas banget nggak suka masalah yang tadi dibahas,” bisikku mengingatkan.
Maysa memang memperlihatkan tawanya, namun sekilas, aku melihat bahwa tawanya mengandung getir. Aku mengernyit heran.
“Gue nggak liat raut nggak suka di mukanya tuh, yang ada malah kebalikannya,” celetuknya dengan nada pelan.
“Hah?” aku menatapnya bingung. Apa yang tadi dikatakannya? Padahal aku hanya lengah untuk sesaat, dan sepertinya yang dia katakan barusan terdengar lumayan penting.
Dia menggeleng dan mengulum senyum kecil, “Nggak … bukan apa-apa.”
Aku menatapnya menyelidik. Menurutku ekspresinya agak mencurigakan saat mengatakannya. Rasanya berbeda dari Maysa yang selama ini kukenal.