The Symphonies

Ratu Bidak
Chapter #10

Chapter 9

“True love cannot be found where it does not exist, nor can it be denied where it does.”

Torquato Tasso

*****

Hari ini rasanya dingin sekali.

Ketika terbangun tadi, ingin sekali rasanya kembali bergelung dalam selimut. Padahal seingatku, pendingin ruangan yang ada di kamarku sama sekali tidak kunyalakan sejak kemarin.

Untungnya aku sempat teringat dengan omelan mama semalam yang memarahiku sebab pulang dengan pakaian yang basah kuyup. Yah, salahku juga karena lupa membawa uang lebih hingga harus pulang dengan Rian menggunakan motornya.

Hah. Mau tidak mau, aku harus bangun untuk menghindari perdebatan seisi penghuni rumah.

Aku mengenakan sepatu di teras rumah, sembari merapatkan jaket yang kukenakan. Naikkan suhunya sedikit bisa tidak? Kalau aku terus merasakan udara dingin terlalu lama, bisa-bisa aku benar-benar akan demam menjelang siang nanti.

“Kakak beneran mau masuk? Tadi katanya agak pusing ‘kan?” suara mama terdengar berujar dari arah pintu.

Aku menoleh sedikit dan mengangguk padanya, “Sekarang udah nggak pusing. Nanti kalau pusing lagi, Kakak bisa istirahat di UKS kok.” Apa ini? Kenapa aku malah membalas ucapan mama dengan nada lembut? Apa aku sudah terkena demam dari sekarang?

Mama mendekat ke arahku dan mengulurkan tangannya. “Ya sudah. Nanti kalau udah nggak kuat telepon mama, biar mama yang jemput ke sekolah.”

Aku mengangguk. Iyakan sajalah. Aku terlalu malas untuk bertengkar dengannya saat ini.

Tanganku menyambut uluran mama, menyalaminya. Lantas aku mengucap salam singkat dan melangkah keluar dari rumah.

*****

Matahari sudah naik, namun udara dingin yang menerpaku tak kunjung mereda. Aku merapatkan jaket yang sekedar kusampirkan di pundak untuk kesekian kalinya. Kepalaku direbahkan di atas meja.

“Udah kerasa demam belum?”

Aku melirik ke arah Maysa yang sedang memperhatikanku penasaran sembari memakan jajanan yang barusan ia beli di kantin. Dia sedang menyindirku atau bagaimana?

“Ng-nggak! Gue nggak demam! Cuma agak pusing aja,” bantahku tanpa mengangkat kepala dari atas meja, dan dengan cepat menyembunyikan wajahku di balik lengan.

Aku tidak ingin prediksinya semalam menjadi kenyataan. Lagipula, aku lebih baik sakit di rumah dibandingkan di sekolah. Memalukan sekali jika aku sampai sakit di sini.

Maysa tidak menyahut. Tiba-tiba saja tangannya menelusup masuk ke dalam celah lenganku. Aku mengangkat kepala, hendak berseru protes. Namun dia sudah menyentuh keningku terlebih dulu sebelum aku sempat berkata apapun.

Aku kembali mengatupkan bibir yang tadinya sudah terbuka untuk mengomelinya.

“Wah. Panas banget ya,” komentarnya seraya mengangguk-anggukkan kepalanya pelan dan memasang raut serius, seakan sedang mempertimbangkan apa yang akan dilakukannya padaku.

Aku menutup mataku yang pedih dan terengah pelan, membuang napas yang terasa panas melalui mulut. “J-jangan … ke UKS. Gue ng-nggak … mau,” racauku terbata lantas menundukkan kepala, menahan rasa sakit yang mendera kepala.

Akh. Sialan. Masih berapa jam lagi aku harus menahannya? Aku tidak ingin sikap memalukanku saat sedang demam muncul di sekolah, terutama di hadapan Fathan. Apa yang akan dikatakannya bila melihatku dalam kondisi tersebut? Tidak! Memikirkannya saja aku sudah tidak mau!

Maysa menggangguk mendengar racauanku yang tidak jelas terdengar. Dia mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu, entah sedang menghubungi siapa. “Oke, kita ke UKS. Sekarang. Lo udah dalam tahap darurat,” putusnya tanpa meminta persetujuanku.

Eh?

Aku menggeleng kuat-kuat, “Ng-nggak … aku nggak mau, Maysa,” balasku merengek seperti anak kecil, dan menampilkan raut memelas di wajahku padanya. Aku bahkan sudah tak lagi memakai kata ‘gue’ dalam kalimat yang kuucapkan. Sialan! Aku sudah hampir tidak kuat menahan rasa sakit ini!

Ponsel Maysa terlepas dari genggamannya, jatuh ke atas meja. Dia beralih menatapku syok, “Astaga. Lo beneran Hana? Barusan lo pake kata ‘aku’ ‘kan? Apa gue salah orang? —Eh, nggak. Maksudnya … gue harus bawa lo ke UKS. Se-ka-rang,” katanya menekankan, seraya menyampirkan lenganku di pundaknya agar tubuhku bisa bertopang pada dirinya.

“Lo bisa jalan ‘kan?” tanya Maysa memastikan. Aku mengangguk lemah, “Tapi pelan-pelan yaa … Aku capekk …” pintaku dengan nada yang dibuat lucu hingga bisa didengar seisi penghuni kelas.

Kaki Maysa hampir saja terantuk meja karena mendengar suaraku yang berbeda dari biasanya. Begitu pula dengan perhatian yang sedari tadi tertuju pada kami. Ruang kelas begitu hening. Kebanyakan dari mereka terlihat menahan napas dan menatapku dengan tatapan syok yang kentara sekali.

“Oi. Itu beneran wakil kelas kita ‘kan?” Seseorang bertanya, memecah sepi.

“Nggak. Pasti gue salah liat,” sahut yang lainnya.

“Bukan, bukan, pasti cuma orang yang mirip.”

Maysa menatap ke arah beberapa anak kelas yang terlihat penasaran. “Emang kalian pernah denger Hana punya kembaran? Iya, ini Hana, wakil kelas killer kalian. Jangan ada yang ambil fotonya ya. Nanti gue yang diamuk sama dia,” balasnya, menjawab pertanyaan dalam benak mereka yang jelas sekali merupakan pertanyaan retoris.

Saat Maysa hendak melanjutkan langkahnya, tiba-tiba saja jalannya dihadang oleh seorang gadis yang mengarahkan ponselnya pada wajahku. Maysa mendecih sebal melihat seseorang yang menghalanginya itu.

“Vina!” teriaknya memperingatkan.

Vina mendongak, menatap ke arah Maysa sesaat setelah berhasil mengambil satu foto dengan wajahku di dalamnya. Gadis itu mengangkat sebelah alisnya, seolah bertanya ada masalah apa dengan tindakannya yang bisa dikatakan sembarangan tersebut.

“Hapus.” Maysa memerintahkannya sambil menatap datar.

Vina tersenyum miring. Jelas sekali sedang meremehkan perintah Maysa. “Emangnya lo siapa sampai berani ngasih gue perintah? Mentang-mentang lo deket sama Fathan, lo bisa seenaknya nyuruh gue ini-itu, hah?” balasnya sewot.

Maysa mendengus mendengar nama Fathan disebut olehnya. Sejak dulu, Vina memang tidak terlalu menyukai Maysa, karena dia lebih dekat dengan Fathan dibandingkan dengan dirinya. Padahal Maysa terlihat dekat dengan Fathan itu dikarenakan sikap tomboi bawaannya itu yang membuatnya mudah bergaul dengan lelaki.

Dasar. Cinta itu memang membutakan.

“Kalau gue punya foto ini, Hana bakalan marah sama lo, ya? Wah, gue jadi penasaran,” dia terkekeh mengejek kala melihat raut datar Maysa yang masih menatapnya.

“Gue bilang, hapus fotonya. Lo tuli?”

Maysa kembali memerintahkan seakan-akan kata-katanya itu mutlak. Namun Vina tetap memasang senyum mengejeknya, “Lo takut sama Hana, hm? Kenapa nggak lo coba aja hapus sendiri dari ponsel gue?” tanyanya menawarkan.

Maysa menghela napas. Wajahnya lebih terlihat muak daripada marah. “Hah. Gue paling nggak suka drama gini nih. Pantesan Hana nggak pernah bilang kalau dia cinta mati sama Fathan,” monolognya merutuk, memelankan kalimat terakhir agar tidak bisa didengar Vina.

“Apa-apaan tuh? Lo ngeremehin gue?!” bentaknya kencang. Tangan gadis itu secara spontan meraih kerah baju Maysa dengan kasar.

Maysa diam saja sebagai respon. Tangannya yang memegangiku berusaha menjaga keseimbangan agar aku tidak terjatuh dari topangannya.

“Apa-apaan …” gumamnya lirih, “lo ngajak gue berantem?!” lanjutnya mengancam.

Lihat selengkapnya