“I try not to miss you, but in the end, I still do.”
—Unknown
*****
Hari masih pagi. Seharusnya saat ini aku tengah bersemangat menyiapkan berbagai macam hal untuk hari pertama di masa putih abu-abu. Namun, yang kulakukan justru berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Raut khawatir tercetak jelas di wajahku.
Aku mendesah napas kasar. Sosok lelaki itu menghantui pikiranku terus-menerus, tanpa henti. Bayangan masa lalu itu terekam ulang dengan sangat jelas dalam memori. Apa yang akan dikatakan orang-orang jika mereka mengetahui aku masih merindukan dan bertahan mencintainya? Setia? Atau mungkin tidak bisa melihat lelaki lain yang lebih baik darinya?
"Gue nggak bakal ketemu lo di sekolah 'kan, Than?" lirihku dengan masih tetap berjalan mondar-mandir tidak jelas.
Aku menggigit bibir, gelisah, "Atau paling nggak, lo dah ngelupain gue 'kan?" lirihku lagi, memikirkan kemungkinan yang lain.
Tanganku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja rias. Lantas, jari telunjukku bergerak dengan lincah ke arah galeri foto. Aku memperhatikan lamat-lamat wajah lelaki yang kini memenuhi layar ponsel, "Fathan, lo tau nggak? Gue belum bisa move on dari lo. Padahal, udah hampir 3 tahun gue nggak liat lo. Kok bisa-bisanya gue nggak bosen ya?" tanyaku pada wajah Fathan yang sedang tersenyum dengan senyum khasnya, seraya tertawa getir.
Aku mematikan dan meletakkan ponsel di tempat semula, "Dah ah, Than. Gue bisa masuk rumah sakit jiwa gara-gara lo," ucapku sekenanya, lantas menghempaskan diri ke atas kasur.
Mataku terpejam, tapi otakku tetap bekerja lantaran teringat kata-kata Fathan yang terakhir untukku. Kata-kata yang akhirnya membuatku tidak bisa melupakannya sampai detik ini.
Perasaan kesal masih membakar diriku. Semalam, Fathan mengirimiku pesan-pesan aneh yang tak dapat kumengerti. Bahkan, ia dengan beraninya bertanya mengenai perasaanku padanya. Memang apa urusannya jika aku masih memiliki rasa untuknya? Biarlah itu menjadi rahasia antara aku dan Tuhan saja.
Aku menyalakan ponsel dan kudapati ada pesan masuk dari lelaki itu lagi. Akh! Apalagi yang ia inginkan? Aku membuka pesan darinya. Baru saja aku membuka pesannya, mendadak mataku membelalak terkejut saat melihat pesan panjang dari Fathan. Hingga tak kusadari, bahwa pesan itu adalah pesan terakhirnya untukku.
'Mungkin aku memang salah. Aku hanya ingin mengatakan terima kasih padamu. Mungkin kamu bingung kenapa aku bilang terima kasih. Cuma jujur, sejak kelas 5, aku sudah suka sama kamu. Tapi aku suka sama kamu hanya sebatas suka, dan aku suka sama kamu itu justru membuatku bisa masuk SMP yang aku inginkan. Karena kamu adalah motivasiku. Aku selalu berusaha mendapatkan nilai yang lebih tinggi darimu. Aku berusaha untuk tidak membuat masalah. Dan aku di SMP tidak menemukan orang sepertimu yang bisa menjadi motivasiku. Intinya, aku mau bilang terima kasih padamu. Maaf kalau aku mengganggu, aku sama sekali tidak berniat begitu. Sekali lagi, maaf dan terima kasih.'
Tes.
Sebulir air mata membasahi layar ponsel yang kugenggam. Aku buru-buru menghapus jejak air mata yang mengalir di pipiku. Kenapa aku masih sempat-sempatnya menangis seperti orang bodoh? Padahal itu hanyalah sebuah pesan sederhana dari seorang anak lelaki yang baru berumur 13 tahun kurang beberapa hari lagi. Kenapa rasanya sangat istimewa bagiku?
Bukankah ini yang kuinginkan? Dia akan berhenti menggangguku, dan tidak akan lagi mengirimiku pesan. Tapi, mengapa rasanya…begitu hampa?
Kalau sudah seperti ini, aku ragu apa aku bisa melupakannya atau tidak.
Hatiku ngilu rasanya ketika mengingat kembali kata-kata itu. Di saat aku akan melupakannya, dia malah datang dan mengatakan hal-hal yang membuatku tak mungkin untuk melepasnya begitu saja.
Mataku terbuka. Aku terduduk dan menghela napas pelan. Ah, sudahlah. Itu semua hanya masa lalu. Pada akhirnya, dia akan terlupakan dengan sendirinya. Walau mungkin bukan sekarang waktunya.
Aku melirik jam dinding yang menggantung di dalam kamar. Sudah jam segini, lebih baik aku segera berangkat. Lagipula aku sedang malas berdebat dengan omelan mama.
Aku menyisir rambut panjangku dengan jemari, "Semoga gue sama Fathan beneran nggak satu sekolah," harapku pelan, hampir tidak mengeluarkan suara, seraya beranjak dari atas kasur menuju lemari, hendak mengambil seragam baruku.
Atau paling nggak, semoga gue ketemu cowok yang lebih baik dari Fathan, batinku menghibur diri sendiri, walau ada keputusasaan yang tersirat di dalamnya.
“Kak!” panggil seseorang dan diikuti suara pintu yang terbuka dengan dibanting kencang.
Aku menghembuskan napas kasar dan mengusap tengkuk belakangku kesal. Tanpa menoleh ke belakang, aku sudah bisa menebak siapa seseorang itu. Aku meneruskan mencari seragam baruku tanpa memedulikan kehadirannya, “Napa? Pagi-pagi dah ganggu orang aja,” ketusku, membalas panggilannya.
“Uuu, marah nih gue samperin?” tanyanya menggoda, seakan hendak memancing amarahku untuk keluar.
“Ngapain ke sini?” tanyaku balik, seraya mengeluarkan seragam putih abuku yang masih baru dari dalam lemari. Aku berbalik menghadapnya. Meletakkan seragamku di atas kasur.