The Symphonies

Ratu Bidak
Chapter #2

Chapter 1

“No one is perfect – that’s why pencils have erasers.”

Wolfgang Riebe

*****

"Apa?" tanyaku ketus.

Orang yang menghalangi jalanku tersenyum riang, karena pada akhirnya aku merespon kehadirannya setelah beberapa menit terbuang percuma. Berbeda sekali denganku yang tak menampakkan ekspresi sama sekali.

"Pinjem PR Fisika dong…kemarin gue lupa kalau ada PR. Ya? Ya? Ya?" gadis itu tersenyum memohon dengan kedua tangan yang bertangkup di bawah dagu, berusaha meluluhkan hati beku yang bersarang dalam tubuhku.

Aku mendengus pelan, lantas kembali berjalan. Sama sekali tak menghiraukan permintaannya barusan. Dia berseru memanggilku, sambil berlari menyusul.

"Nggak boleh ya?" dia memasang cengiran andalannya, menatap lekat wajah datarku. Rahangku mengeras. Tubuh berisinya terus saja berusaha menghalangi jalanku.

"Kenapa nggak di kelas aja, sih? Lo dah ngerusak rutinitas pagi gue tau," aku mengeluh kesal pada gadis yang terkenal tomboi itu.

Maysa meringis, "Di kelas tu dah banyak yang antri buku PR lo, Han. Selangkah lo masuk, lo bakal langsung dicegat anak kelas. Nah, biar lo selamat dari serbuan anak kelas, gue pinjem buku PR lo di sini. Ya?" ucapnya meyakinkan, entah itu keadaan yang sebenarnya atau hanya omong kosong belaka.

Aku melirik ke arahnya, berusaha melihat seberapa jujur dirinya. Mungkin ucapannya ada benarnya juga. Lagipula, semalam sebagian besar anak kelas mengikuti acara pesta ulang tahun Zeline di rumahnya. Hanya aku dan ketua kelas yang tidak ikut acara tersebut.

Aku mengeluarkan buku PR Fisika yang ada di tasku. Belum sempat kuulurkan padanya, dia sudah merebutnya dari genggamanku.

"Jangan lupa—"

"Iya…! Jangan lupa kembaliin buku ini saat bel, iya 'kan?" dia tersenyum sekilas, memotong ucapanku sebelum berbalik untuk meninggalkanku.

Aku mengangguk, "Eh, titip tas sekalian," pintaku, menghentikan langkahnya, sambil menyerahkan tasku. Gadis itu mengangguk pasrah, menerima tas yang disodorkan padanya. Mana mungkin dia berani menolak, bisa saja jawaban yang sudah ada di tangannya lenyap dalam sekejap.

"Oh iya, Han," Maysa lagi-lagi menghentikan langkahnya yang hendak menuju kelas, dan berbalik menghadapku, "sejak kapan lo punya rutinitas pagi? Perasaan, tiap pagi lo selalu langsung ke kelas, deh. Apa ada sesuatu yang istimewa buat diperhatiin? Kok lo nggak pernah ngasih tau gue, sih?" tanyanya bertubi-tubi dengan raut penasaran.

Wajahku mendadak terasa panas, "Bukan urusan lo, May. Nggak usah ikut campur," jawabku, mendelik tajam ke arahnya. Sedangkan satu tanganku bergerak, berusaha menutupi wajahku yang kian memerah.

Maysa terkekeh ringan. Lantas berlari meninggalkanku yang masih berusaha menormalkan detak jantung di lorong sekolah.

Rutinitas pagi? Ah, tidak juga. Sebenarnya, aku baru memulai kebiasaan ini sejak 2 hari yang lalu. Kebiasaan yang mungkin menurut siapa saja yang mengetahuinya tidak masuk akal. Ternyata benar ucapan orang tua dulu, cinta membuat penderitanya gila. Ya, dan itu terjadi padaku.

*****

Lapangan basket terlihat ramai seperti biasa. Ada yang sekedar duduk-duduk di pinggiran. Ada pula yang bertemu diam-diam, seperti yang dilakukan oleh beberapa pasangan. Oh, aku pasti belum mengatakannya, pacaran dilarang di sekolah ini.

Namun, bukan semua itu yang kuperhatikan. Aku melirik sekilas pada sesuatu yang menarik perhatianku untuk datang ke sini sejak 2 hari yang lalu. Senyumku tertarik sedikit kala melihat permainan yang tengah terjadi di lapangan tersebut. Permainan yang membuatku datang ke sini, dan memang kebanyakan orang datang untuk menonton permainan tersebut.

Bola terlempar kesana kemari. Dari satu pemain ditangkap pemain yang lainnya. Penonton menjerit histeris, terutama para gadis. Mereka berebutan berteriak memberi semangat. Walaupun sebenarnya, hanya satu orang diantara lainnya yang mereka semangati.

"Semangat Fathaaan...!!"

"Fathaaan...!! Awas ada bola!!"

"Aaaaa....dia keren bangettt...!!"

"Kyaa...!!! Semangat Fathaaan...!!!" Vina, gadis yang terkenal naksir berat dengan Fathan, berteriak paling keras, entah apa yang merasuki dirinya hingga membuatnya berteriak sekencang itu.

Teriakan histeris lainnya juga tak kalah semangat untuk ditujukan pada lelaki bintang sekolah yang satu itu. Aku menghembuskan napas malas saat mendengar semua teriakan itu. Entah kenapa, rasanya menjijikan sekali bagiku. Seakan mereka semua mengemis perhatian darinya.

Aku hanya bisa tersenyum simpul melihatnya bermain. Menahan rasa kagum yang membuncah dalam dada. Lebih baik seperti ini dibandingkan dengan kelakuan para gadis genit itu.

Ah, pasti kalian penasaran perihal rutinitas pagi yang tadi kukatakan pada Maysa. Yah, inilah rutinitasku. Berjalan pelan melewati lorong sekolah yang tepat berada di samping lapangan. Menatapnya bermain basket dari kejauhan. Hanya itu. Buang-buang waktu saja, bukan? Jadi kusarankan, sebaiknya kalian jangan melakukan kegilaan seperti yang kulakukan ini.

"Hei!" seseorang menepuk pundakku kencang, membuatku terkejut. Aku spontan menoleh pada seseorang tersebut.

Lelaki itu menunjukkan senyuman khasnya seperti biasa, "Lo sendirian?" tanyanya sambil menyeimbangi langkahku.

Aku mengangguk.

"Kenapa ke sini? Kelas lo bukannya berlawanan arah dari sini?" dia menoleh, menatapku lekat.

Aku terkesiap gugup, lantas menenangkan diri agar terlihat normal, "Uhm, gue…gue tadi lari dari gerombolan di kelas, kak. Mereka rebutan buat pinjem buku PR Fisika punya gue," jawabku, menyebutkan sembarang alasan.

Dia mengangguk-angguk.

"Ah, Kak Leon sendiri kenapa ada di sini?" tanyaku, mencomot sembarang topik pembicaraan. Jangan sampai dia tahu aku ke sini hanya untuk melihat Fathan bermain basket.

Lelaki yang bernama Leon itu melirik ke arah gerombolan yang sedang bermain di lapangan basket. Aku mengernyit, menyadari maksudnya. Pasti hal itu terulang lagi. Dasar ceroboh.

"Fathan lupa ngambil uang saku tadi pagi. Gue mau ke sana, tapi ya…lo tahu sendiri ‘kan dia lagi ngapain. Bisa-bisa, gue diamuk fansnya gara-gara ngeganggu latihan paginya," Kak Leon mendengus kesal.

Aku tertawa.

Lihat selengkapnya