“My memory loves you; it asks about you all the time.”
—Jonathan Carroll
*****
Aku berjalan santai di koridor sekolah. Sangat santai hingga mengabaikan fakta bahwa statusku saat ini adalah tengah kabur. Yah, setidaknya aku tidak sepenuhnya berbohong tentang alasanku tadi pada guru.
“Halo…ada orang?” aku membuka pintu UKS lebar-lebar dan masuk ke dalamnya, lantas menutupnya kembali.
Seorang lelaki yang tengah berjaga di sana, menoleh ke arahku. Dia menatapku malas, “Sakit atau lagi kabur?” tanyanya, enggan meladeniku yang berjalan mendekat pada brankar yang paling dekat dengan pintu.
Aku merebahkan diri ke atas brankar tersebut, “Dua-duanya,” jawabku asal. Toh, aku memang tidak bohong, perutku sedang sakit saat ini.
“Oh,” tanggapnya, seakan hal itu sudah biasa baginya.
Ekor mataku sedikit melirik ke arahnya, “Berubah pikiran, Dev?” tanyaku, masih dalam posisi tiduran dengan kaki menggantung.
“Nggak,” jawabnya singkat.
“Ih, datar banget ngomongnya. Biasanya juga lo lebih bawel dari gue,” komentarku, heran dengan sikapnya yang menanggapi pertanyaanku dengan datar.
Dia hanya bergumam sebagai jawaban. Membuatku ingin sekali memukulnya dengan tongkat kasti supaya ia kembali menjadi normal. Ada apa dengannya hari ini? Apa aku datang saat mood-nya tengah memburuk?
“Lo kenapa, heh?” tanyaku ketus, seraya beranjak duduk.
Dev menggeleng, “Bosen ketemu lo tiap jaga,” jawabnya entah jujur atau hanya sekedar alasan belaka. Aku berusaha menahan tawa. Apa katanya? Bosan bertemu denganku? Hei, dia tidak sedang bercanda ‘kan?
“Kalau dah nggak sakit perut buruan pergi,” tambahnya, tanpa melirik sedikitpun ke arahku.
“Ada yang lagi sakit ya?” tanyaku, kala menyadari ada satu brankar yang tertutupi tirai. Dev menghela napas kesal, mungkin karena aku mengalihkan perkataannya barusan.
Lelaki itu mengangguk, “Lo ganggu banget. Untung orangnya udah tidur,” jawabnya, seraya memasukkan kotak P3K ke dalam lemari kaca.
“Ih, Dev! Lo nggak berubah pikiran sama sekali?” geramku kesal, lantaran percakapan kami menjauh dari topik yang ingin kubicarakan.
Dev menggeleng, “Nggak. Jawaban gue selalu sama,” balasnya singkat.
Aku mendengus kesal. Satu setengah tahun terbuang sia-sia sudah. Hanya karena aku penasaran setengah mati pada perasaan Fathan saat ini padaku.
“Lo nggak kasian sama gue?” tanyaku, sambil melompat turun dari brankar.
“Nggak. Udah gue bilang, tanya sendiri sama Fathan,” lagi-lagi jawaban itu yang terlontar dari mulutnya.
“Gue sadar diri, Dev. Mana mungkin gue tanya kayak gitu,” gerutuku sebal.
Lelaki itu mendekat ke arahku, lantas duduk di atas brankar yang barusan kududuki. Aku mengangkat sebelah alis. Apa dia berubah pikiran? batinku penuh harap dan bersorak riang dalam hati.
“Gue nggak bakal berubah pikiran,” ucapnya jengah, seakan mengetahui jalur pikirku. Sialan banget ni cowok, batinku menggerutu.
“Balik kelas sana. Udah nggak mikir angka lagi ‘kan lo? Heran gue ada orang yang sakit perut gara-gara Fisika,” usirnya menambahkan, sambil mengibas-ngibaskan tangan, menyuruhku untuk keluar dari UKS.
“Dih, emang gitu nyatanya. Lo beneran nggak mau ngasih tau, nih?” tanyaku lagi, mengabaikan perintahnya untuk keluar dari sana. Aku tidak mungkin menyerah begitu saja.
Lagi-lagi aku mendapat sebuah gelengan darinya. Sama seperti pendirian yang ia jaga selama satu setengah tahun ini. Terkadang aku penasaran, apa dia benar-benar serius dalam menjaga rahasia lelaki itu?
“Ish, sialan lo, Than. Susah banget nyari tau informasi elo,” desisku kesal, sambil menutup wajah dengan tangan kananku. Lelaki di hadapanku tertawa geli melihat tingkahku.
Aku meliriknya sedikit dari celah jariku, “Dah normal lagi lo?” sindirku saat melihatnya tertawa, lantas menurunkan tanganku.
Dia tersenyum melihatku yang sedang kesal, “Sampai kapan lo mau nyembunyiin perasaan lo ke Fathan?” tanyanya, menatapku lamat-lamat.
Aku melotot mendengar pertanyaan yang dilontarkannya, “Lo bisa jaga mulut itu nggak sih?! Kalau ada yang denger gimana?” jawabku galak dengan memandang ke arah brankar yang tertutupi tirai. Semoga saja pasien Dev tidak terbangun.
Dev menghela napas pelan, “Lupain dia, Han. Dah hampir 5 tahun lo galauin dia.”
“Gue nggak se-ngenes itu, Dev. Cuma 3 tahun gue galauin dia. 1,5 tahunnya lagi gue sekelas. Ya…otomatis, nggak mungkin lah gue galauin dia lagi, ‘kan tiap hari juga ketemu,” dengusku, seraya menyilangkan tangan, “lagian, lo ‘kan sohibnya Fathan, harusnya lo tau dong dia lagi suka siapa sekarang,” lanjutku cepat dengan jari telunjukku yang menudingnya.
Lagi-lagi sebuah gelengan yang kudapat darinya, “Gue dah janji sama dia buat jaga rahasianya. Kenapa lo nggak tanya Fathan langsung aja? Lebih seru kalau lo denger langsung, tanpa filter,” dia menyeringai lebar.
Aku menghela napas kasar. Kalau begini caranya, sampai aku mati pun tidak mungkin kudapatkan. Padahal aku sudah penasaran setengah mati, ingin tahu bagaimana perasaannya sekarang.
“Dah, ah. Balik sana, gih. Nggak guna lo ke sini. Sana, sana, buruan pergi. Ketahuan guru BK, mampus lo!” ucap Dev menyumpahi, sambil turun dari brankar. Dia mendorongku hingga keluar dari pintu.
“Lo ngusir gue?” tanyaku tak percaya dan dibalas anggukan oleh Dev, “Sialan lo, Dev!” umpatku yang langsung dibalas suara bantingan pintu UKS yang ditutup.
Aku menggeram kesal. Apa-apaan itu? Dia sama sekali tidak menghargai usahaku selama satu setengah tahun untuk mendatanginya. Argh! Kesal sekali!