“Time decides who you meet in life, your heart decides who you want in your life, and your behaviour decides who stays in your life.”
—Ziad K. Abdelnour
*****
Bel pulang sudah berdentang sedari tadi. Setelah berusaha menenangkan detak jantung, akhirnya aku memberanikan diri kembali ke kelas hanya untuk mengambil tas dan menghindar dari ocehan Maysa. Namun sepertinya, takdir tidak berkehendak demikian.
“Dari mana aja lo?” Maysa berkacak pinggang, menghalangiku untuk masuk ke dalam kelas.
Aku menghela napas pelan, mencoba mengendalikan kesabaran semaksimal mungkin. Apalagi yang ada di hadapanku ini adalah seorang Maysa yang ahli dalam berkelahi, terutama dengan lelaki.
“Ya…ke toilet. ‘Kan gue dah izin sama Bu Mela tadi. Lo lupa, heh?” aku berseru sebal, “Buruan minggir. Gue capek banget, May. Mau langsung pulang,” tambahku dengan bersungut-sungut.
Maysa masih belum beranjak dari tempatnya berdiri, “Jangan bohong sama gue, ya. Jelas-jelas tadi—”
“Lo minggir sekarang atau gue nggak akan pernah pinjemin contekan PR lagi,” potongku cepat dengan nada mengancam. Gadis itu menggeleng-geleng enggan. Aku menatapnya tajam dan mengodenya untuk segera pergi dari sana.
Maysa mengerucutkan bibirnya, “Lo kenapa hobi banget ngancem orang lain, sih? Nggak seru tau. Eh, hari ini pulang bareng gue, yuk,” ajaknya dengan kembali memasang senyum riang miliknya. Dia agak menyingkir dari pintu kelas, membiarkanku melenggang masuk ke dalam.
Aku menggeleng tanpa berbalik menghadapnya, “’Kan dulu gue udah pernah bilang, gue nggak mau ngerepotin orang lain, apalagi elo. Lagian rumah gue itu deket banget. Kasian lo-nya juga, harus putar balik. Rumah kita ‘kan nggak searah, May,” ucapku menolak ajakannya, seraya merapikan barang-barangku yang berserakan di atas meja.
“Lo itu ya…ih, bikin gemes tau nggak! Bahaya cewek jaman sekarang jalan sendirian, apalagi lo ‘kan belum tau modelan anak Bina Bangsa kayak apa,” omelnya, membalas perkataanku.
Tanganku tetap bergerak lincah, memasukkan semua barangku ke dalam tas. Aku tak memedulikan omelan Maysa sedikitpun. Mengenai murid di SMA Bina Bangsa, aku belum pernah bertemu mereka sekalipun, walau jaraknya lumayan dekat dengan sekolahku.
“Astaga, May. Dah berapa kali gue bilang, mereka nggak mungkin nongol di area komplek perumahan gue. Udah hampir 1,5 tahun gue perhatiin, dan mereka hampir nggak pernah nongkrong di sana,” aku menyampirkan tas ransel di pundak dan menaikkan kursi ke atas meja.
“Kalaupun ada…hm…kayaknya gue pernah deh, ketemu anak culun yang pake seragam Bina Bangsa. Kelihatannya dia nggak berbahaya buat gue,” lanjutku asal, teringat seorang anak lelaki berkacamata dengan seragam Bina Bangsa yang tidak sengaja kulihat saat pulang sekolah, mungkin sekitar…1 tahun yang lalu?
Maysa memberengut kesal, “Capek ngomong sama lo. Nggak bakal ada ujungnya nyampe akhir. Ya udah, terserah lo aja. Gue pulang duluan ya,” ketusnya, seraya pergi meninggalkanku sendiri di dalam kelas.
Aku menghembuskan napas pelan. Dasar Maysa, apa dia nggak capek nawarin gue pulang bareng terus? Gue juga udah gede kali, batinku, sembari mengusap wajah kasar dan ikut keluar dari dalam kelas.
Seperti pada hari-hari biasa, aku selalu pulang sendiri dengan jalan kaki. Dulu sempat beberapa kali Maysa menawariku untuk pulang bersama. Namun aku selalu menolaknya mentah-mentah, karena mengetahui bahwa rumah kami berlawanan arah. Lagipula, aku tidak suka mendengar omelan mama jika tahu aku merepotkan orang lain.
Aku menyusuri pinggir jalan dengan santai lalu berbelok, melewati sebuah gang kecil. Jalan ini baru kutemukan beberapa hari lalu. Lumayan untuk mempersingkat perjalanan.
Aku tersentak seketika. Sejak kapan gang kecil ini dipenuhi anak SMA? Aku menepis firasat tidak menyenangkan yang baru saja menghampiri, dan bersikap santai seolah-olah ini bukan halangan bagiku.
“Nyante amat jalannya, mbak.”
Langkahku terhenti. Di hadapanku terdapat beberapa lelaki bertampang sangar menghadang jalanku. Hm…SMA Bina Bangsa? Berarti sekolah tetangga. Tumben banget nongkrong di sini, pikirku setelah melihat seragam yang mereka kenakan.
Hah. Bagaimana bisa hari ini aku mengalami kesialan beruntun?
Aku memandang mereka semua dengan tatapan datar, “Jaman sekarang anak berandalan masih laku, ya?” komentarku, sambil memiringkan kepala, menatap penuh tanya.
“Nggak usah banyak bacot lo!” geram salah satu dari mereka.
Alisku terangkat, “Maaf ya mas-mas semuanya, saya cuma mau numpang lewat. Bisa tolong minggir dikit nggak? Soalnya kalian banyak banget dan ngehalangin jalan saya,” pintaku sesopan mungkin, mengabaikan tatapan mengerikan yang mereka lemparkan padaku.
Kerumunan mereka tersibak, menampilkan sesosok lelaki yang kuduga bos dari perkumpulan tersebut. Gue cuma mau lewat, ribet amat elah, batinku kesal.
“Nyali lo besar juga,” timpal seseorang yang tadi kuduga bos mereka. Dia menyeringai kecil. Kutebak setelah ini dia akan memintaku untuk mengeluarkan dompet milikku. “Siniin dompet lo,” lanjutnya, seraya menyodorkan tangan. Kok bener, sih? heranku, membatin.
Percuma saja aku terus bertingkah seperti gadis baik. Aku menyilangkan tangan di depan dada, “Maaf ya. Dompet gue kosong. Cuma ada receh. Lo mau?” balasku menantang. Sama aja kayak ngemis nih orang, cemoohku dalam hati.
Lelaki itu menatapku penuh selidik, “Mana dompet lo? Tunjukin,” perintahnya dengan tegas.
Astaga. Aku benar-benar tidak tahan dengan kelakuan mereka semua. Tanganku gatal ingin segera meninju perut seseorang atau mungkin memiting semua lengan mereka. Hm, kayaknya objek di depan lumayan buat jadi kelinci percobaan gue, batinku lagi.
Aku mendengus, “Terserah deh,” tanganku merogoh bagian samping tas ransel dan mengeluarkan dompet berwarna putih tulang dari sana. Lantas aku mengoperkan benda itu padanya, “Itu dompet gue. Puas? Isinya cuma receh, dah gue bilang tadi,” gerutuku sebal.
Untung tadi pagi dompet gue yang uangnya banyak ketinggalan di kamar, batinku, mengucap syukur banyak-banyak.