“A person that truly loves you will never let you go, no matter how hard the situation is.”
—Unknown
*****
Mataku membelalak terkejut begitu melihat lelaki yang semalam menyelamatkanku ada di depan gerbang sekolah, sedang menatap fokus layar ponsel dengan gaya sok cool. Apa yang dia lakukan di sana? Memangnya dia tidak sekolah?
Hah, sudahlah, untuk apa aku pedulikan.
Aku berjalan santai melewatinya, seperti tidak ada apa-apa. Namun, sebelum aku sempat memasuki gerbang, sebuah tangan lebih dulu menahan lenganku. Membuatku tersentak seketika dan menghentikan langkah.
“Ngapain lo di sini?” tanyaku dingin tanpa menoleh padanya.
Rian terkekeh, “Nungguin lo,” jawabnya jujur.
Serius? Kenapa dia jujur sekali untuk seseorang yang baru kukenal? Ini baru pertemuan kedua kami, dan dia tidak terlihat canggung sedikitpun berada di dekatku.
“Kenapa? Gelang gue udah ketemu?” tanyaku lagi to the point, karena memang yang menurutku penting hanyalah benda itu. Aku tidak punya urusan lain dengannya, selain gelangku yang menghilang.
Dia terdiam sebentar, lantas menggeleng, “Belum gue cari,” jawabnya santai, sembari menuntunku untuk menyingkir dari depan gerbang.
Raut wajahku berubah menjadi kesal. Aku mati-matian menahan emosi untuk tidak menendang ataupun meninjunya, sebab di sekitar kami masih ada banyak murid yang berlalu-lalang. Sebagai gantinya, aku menghempaskan tangannya yang memegangi lenganku dengan kasar.
Rian tersenyum, berusaha menenangkan amarahku yang mendadak terasa meluap-luap, “Iya-iya, nanti gue cari. Lo nggak usah khawatir. Gelangnya nggak bakal hilang kok,” katanya, seraya menepuk kepalaku pelan.
Aku menatap datar ke arahnya, “Terus, lo ngapain di sini kalau bukan urusan gelang?” pungkasku cepat. Gara-gara dirinya, aku bahkan rela melewatkan rutinitas pagiku untuk menonton Fathan berlatih.
Tangannya menyingkir dari atas kepalaku, dan ia menatapku lekat dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Aku balas menatapnya bingung.
“Kayaknya…” Rian terdiam sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya, “gue tertarik sama lo.”
Napasku tertahan. Dia bercanda? Kami baru bertemu untuk pertama kalinya semalam, dan itupun tidak disengaja. Mana mungkin dia langsung tertarik padaku yang menunjukkan temperamen buruk di hadapannya sejak pertemuan pertama. Apa dia sudah gila?
Aku tertawa hambar, “Ha. Ha. Ha. Lo…sehat ‘kan? Atau mungkin…pagi ini lo salah makan?” tanyaku, memastikan bahwa aku tadi salah dengar.
Dia mengangguk, “Iya. Gue sehat, dan gue nggak salah makan,” jawabnya tenang, seakan tidak menyadari bahwa itu sarkasme untuknya.
“Jadi…lo lagi bercanda? Hih, nggak lucu tau,” lanjutku, mengibaskan tangan ke arahnya.
“Nggak, gue nggak bercanda,” sahutnya serius, membuatku terdiam seketika, “dan gue mau tanya sesuatu sama lo,” lanjutnya, mengalihkan ucapanku.
“Apa?” aku benar-benar ingin mengakhiri pembicaraan ini sekarang juga.
Lelaki itu mengusap tengkuknya gugup, “Lo…lagi suka orang nggak?” tanyanya dengan menunjukkan aura yang penuh kejujuran.
“Nggak,” sangkalku refleks.
Astaga. Kebiasaanku dalam mengelak percakapan mengenai perasaanku pada seseorang terbawa, bahkan hingga saat ini. Apa seharusnya aku berkata jujur saja? Tapi mana mungkin aku berbicara mengenai hal itu pada orang asing. Aku mengumpat diriku sendiri dalam hati.
Rian menghela napas lega, “Bagus deh, karena mungkin gue suka sama lo detik ini,” ungkapnya, seraya tersenyum padaku.
Cowok gila! batinku, menjerit spontan.
*****
Bel istirahat sudah berdentang sedari 3 menit yang lalu. Dibandingkan pergi ke kantin, aku lebih memilih merebahkan kepala di atas meja. Berbeda dengan Maysa yang langsung berlari ke sana tanpa pikir panjang begitu bel istirahat berbunyi.
Memikirkan perkataan Rian tadi pagi membuatku tidak bisa fokus pada pelajaran hari ini. Aneh memang. Padahal biasanya aku selalu tidak mau ambil pusing dengan siapapun yang memiliki perasaan padaku.
“That was so sudden,” gerutuku lirih, hampir tidak terdengar.
Rasanya aku ingin tidur saja. Melupakan semua ucapan Rian yang terdengar sangat tidak masuk akal. Kenapa seseorang seperti dia bisa-bisanya masuk ke dalam kehidupanku?
“Hana! Lo dicariin orang, tuh!” seru Adena, salah satu teman sekelasku yang baru saja masuk dengan menenteng sekresek jajanan dari kantin.
Untuk mendongakkan kepala saja, rasanya malas sekali. Walau sebenarnya ada secuil rasa penasaran yang menyergap diriku. Siapa yang mau menghabiskan jeda waktu istirahat yang hanya 15 menit untuk menemuiku?
Kepalaku mendongak ogah-ogahan, “Siapa?” tanyaku malas.
Gadis itu mengangkat bahu, “Nggak tau. Kayaknya bukan dari sekolah kita, deh. Dia bilang namanya Rian. Eh?” dia mengerutkan kening, menyadari sesuatu, “Oh my gosh. Jangan-jangan…dia cowok lo?” terkanya penasaran.
Aku mendelik tajam padanya, “Bukan. Lo nggak usah mikir aneh-aneh. Dia cuma kebetulan punya urusan yang penting sama gue. Suruh dia masuk aja,” pintaku untuk mengalihkan perhatiannya. Gawat jika dia bertanya tentang Rian lebih lanjut. Bisa-bisa aku malah berakhir dengan menghancurkan harga diriku sendiri.
Adena mengangguk, mengiyakan. Dia pasti mengerti maksudku agar tidak menanyakan apapun tentangnya. Yang paling penting saat ini adalah, aku harus memikirkan bagaimana caranya untuk mengusir lelaki itu cepat-cepat sebelum Maysa kembali.
Perhatianku teralih pada seseorang yang mengekor di belakang Adena. Itu Rian. Memandangku lekat dengan menampakkan senyum jailnya yang tersungging manis. Aku terpana untuk sepersekian detik. Harus kuakui, walaupun tampilannya agak mirip seperti anak berandalan, namun image-nya sebagai anak baik-baik juga tidak hilang.
Duh, ngapain dia ke sini, sih? Gue belum mau ketemu dia, rutukku dalam hati.
“Yo! Han!” sapanya berbasa-basi dari kejauhan.
Aku mendecih, malas meladeni, “Mau apa lo?” tanyaku tanpa basa-basi, sesaat setelah Rian berdiri di samping mejaku dan Maysa yang berada di pojok belakang dekat jendela.
“Ketemu elo, lah. Gue duduk di sini, ya,” pintanya, seraya menunjuk kursi milik Maysa. Aku mengangguk cepat. Melihatnya di sini malah membuatku memikirkan kembali perkataannya tadi pagi. Padahal aku ingin melupakannya sejenak.