The Symphonies

Ratu Bidak
Chapter #6

Chapter 5

“It’s so amazing when someone comes to your life and you expect nothing out of it, but suddenly there right in front of you is everything you ever need.”

Unknown

*****

“Lo nggak mau ke kantin?” tanyaku, berbisik pada gadis di sebelahku.

Maysa menggeleng, “Nggak. Gue mau liat cowok baru lo yang kemarin. Nunggu hari Sabtu kelamaan buat gue. Mending gue tanya langsung cowoknya aja,” jawabnya, sambil memainkan ponsel.

Aku mendengus gusar. Sudah 5 menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi, seharusnya sebentar lagi Rian akan datang. Masalahnya, aku tidak ingin Maysa ada di sini. Dia hanya akan membuatku malu dengan terus menanyai Rian banyak hal hingga menjadikannya pusat perhatian.

Aku membuang napas, berusaha terlihat tenang, “Oh. Berarti lo udah tau konsekuensi yang akan lo terima ‘kan?” tanyaku, sembari membuka-buka buku catatan untuk PR yang sengaja kupisah sendiri.

“Hah? Konsekuensi apaan?” dia bertanya balik, menoleh padaku.

“Mungkin…nggak ada bantuan contekan PR lagi?” aku mengedikkan bahu santai, seraya memperlihatkan catatan PR untuk pekan depan, “Nih liat, Senin ada PR ngerangkum Biologi ‘favorit’ lo, terus Rabu-nya ada PR 15 soal Fisika ‘kesayangan’ lo, belum lagi ada—”

“Iya-iya, gue pergi. Bilang aja nggak mau diganggu. Nggak usah ngancem-ngancem segala kali,” potong Maysa cepat, lantas berdiri dengan kesal. Lah lo nggak bakal mau gerak kalau nggak diancem kayak tadi, balasku dalam hati.

“Sabtu itu besok, May. Nunggu 24 jam ribet amat, sih,” komentarku, sembari bertopang dagu.

Maysa tidak mengacuhkanku, dan berjalan menuju pintu kelas, “Woi! Kantin rame nggak?!” tanyanya, mendekat ke arah Zeline, salah satu anak kelasku, yang baru saja dari sana.

Zeline mengangguk, “Rame banget. Mendingan lo nggak usah ke sana deh,” jawabnya, sembari mencomot salah satu cilok tusuk yang tadi dibelinya.

Maysa menggerutu tidak jelas, lalu mendelik tajam ke arahku. Aku hanya mengangkat bahu dan menunjukkan buku catatan PR-ku sebagai balasan. Sedetik kemudian, dia merengut kesal, lalu keluar dari kelas, entah hendak ke mana.

“Yo. Gue di sini.”

Aku terperanjat seketika mendengar sapaan itu. Rian sudah ada di depan mejaku, entah sejak bila. Dasar! Ni cowok mau bikin gue jantungen, apa?! Hobi banget ngagetin orang! batinku, memekik sebal. Parahnya lagi, sempat-sempatnya dia tersenyum jahil setelah mengagetkanku.

“Lo…bisa nggak, jangan tiba-tiba dateng gitu?” aku mengelus dada, mencoba bersabar, “Kaget gue jadinya,” lanjutku, mengeluh.

Rian tertawa, “Emang sengaja. ‘Kan rencananya gue mau kasih surprise buat lo,” timpalnya riang, seraya duduk di kursi Maysa.

“Seneng banget ya jailin gue. Hahh…ya udah, terserah lo,” ujarku, menghela napas.

Lelaki itu menoleh ke arahku. Memandangiku lekat-lekat dengan posisi tangan yang menopang dagu. Aku yang saat itu tengah menandai catatan Kimia dengan stabilo kuning, mulai risih setelah 2 menit berlalu.

“Lo nggak ada kerjaan?” tanyaku, memulai percakapan, sambil terus menandai catatan.

“Ada. Nih, liatin elo,” jawabnya, meringis.

Aku memutar bola mata jengah, “Gelang gue apa kabar?” tanyaku lagi, tanpa menoleh padanya.

“Lo napa nanyain gelang mulu, elah. Kenapa lo nggak nanya-nanya tentang gue aja? Emang lo nggak curiga sama identitas asli gue?” tanyanya balik.

“Emang identitas yang lo kasih itu palsu? Nggak ‘kan? Gue juga nggak mau repot-repot tau semua itu. Nama sama asal sekolah elo udah cukup banget buat gue,” jawabku datar.

Rian terkekeh ringan, “Kelas? Umur? Alamat rumah? Nomor telepon?” tanyanya bertubi-tubi, “Lo nggak penasaran sama apapun?”

Aku menggeleng singkat. Gila ni cowok. Belum pernah gue dideketin cowok nyampe segininya, batinku, sembari terus menatap buku catatan Kimia dengan stabilo kuning yang kuputar-putar di tangan kanan.

“Kalau gue berinisiatif cerita gimana? Lo mau dengerin?” tanyanya lagi.

“Nggak.”

“Hah? Kenapa? Gue tinggal ngomong, dan lo bisa ndengerin sambil terus ngerjain kerjaan lo. Nggak ada yang dirugiin ‘kan?” ujarnya yang entah kenapa terasa memaksa di pendengaranku.

Aku meletakkan stabilo kuning yang ada dalam genggamanku di atas meja. Sebenarnya aku sudah muak mendengar segala ocehannya sedari tadi. Apa boleh buat, ini demi gelang dari seseorang itu. Aku menoleh, menatapnya sedemikian rupa.

“Denger ya. Gue cuma butuh elo untuk nemuin gelang gue. Selain itu, nggak ada yang penting buat gue,” balasku dingin.

Lelaki itu menepuk kepalaku yang terbalut kerudung berwarna coklat pramuka, “Jangan dingin-dingin, Han. Gue jadi merinding denger lo ngomong kayak gitu,” katanya, seraya memasang senyum miring khasnya.

“Berisik.”’

Rian masih tetap tersenyum, “Rian. 17 tahun. 12 IPS 1. SMA Bina Bangsa. Kayaknya 4 hal itu lo harus tau,” ucapnya menjelaskan tanpa kuminta.

“Tunggu…” aku mengernyitkan alis, heran, “elo…kakak kelas? Lebih tua dari gue?” tanyaku tak percaya.

Dia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Gue seneng lo mikirnya kita seumuran. Yah, sebenarnya gue sempet loncat kelas, sih. Mungkin harusnya kita emang seangkatan,” jawabnya.

“Jadi sekarang, gue harus manggil lo kayak gimana? Kak Rian, gitu?” aku mengangkat alis.

Rian malah mengacak-acak kerudungku, gemas, “Ya, nggak apa-apa. Imut juga lo manggil gue kayak gitu. Tapi terserah lo aja. Gue juga suka kalau lo manggil nama gue langsung, nggak pake embel-embel kakak,” ucapnya terang-terangan.

Aku memukul lengan kanannya dengan keras tiba-tiba, “Bisa nggak jangan ngacak-ngacak kerudung gue?! Susah tau benerinnya. Gue juga nggak sudi manggil nama orang yang lebih bocah dari gue pake embel-embel kakak,” sahutku mengomel, membuatnya sontak menyingkirkan tangannya dari atas kepalaku.

Rian mengelus-elus lengannya yang terasa perih, “Lo galak banget untuk ukuran cewek kalem,” komentarnya, sembari mengaduh pelan.

“Gue nggak galak kalau lo nggak ganggu gue.”

“Gue nggak ganggu lo.”

Lihat selengkapnya