The Symphony of Darkness

Aprillia anjani putri
Chapter #1

[1] Accompanist

Namaku Dalia. Aku menghabiskan bertahun-tahun dalam hidupku untuk mempelajari musik klasik. Kebanyakan orang bahkan tidak perduli tentang seberapa banyak kerja keras yang aku lakukan untuk memainkan musik tersebut. Mungkin karena mereka hanya tidak mengerti tentang musik ini. Dan aku juga paham bahwa sebagian besar orang lebih menikmati lagu-lagu pop masa kini dibandingkan dengan musik klasik yang mereka anggap membosankan, ini bukan berarti aku tidak setuju dengan mereka. Ku akui musik pop memang memiliki irama yang asik dan lebih mudah di pahami namun musik klasik menyimpan sebuah kesan juga perasaan yang lebih mendalam bagiku itulah mengapa aku lebih menyukai musik klasik.

Lalu sekarang aku telah banyak bertemu dengan orang-orang dengan minat yang sama sepertiku. Aku bertemu dengan orang-orang yang tertarik dan lebih bisa menghargai musik yang kumainkan. Aku bertemu dengan mereka setelah masuk kuliah. Tentu saja aku masuk kedalam jurusan seni musik.

Instrumen musik klasik yang kumainkan adalah biola bisa disebut juga "Violin". Aku mulai memainkan instrumen itu ketika aku berumur 8 tahun. Orangtua ku tidak pernah memaksaku untuk memainkan "violin". Ini adalah keinginan murni dari diriku sendiri. Dalam keluargaku sendiri, sebenarnya tidak ada seorang pun yang menjadi musisi. Ayahku adalah seorang Hakim, ibuku adalah seorang pemilik toko roti dan adikku masih di bangku sekolah dasar. Aku beruntung dapat memiliki keluarga seperti mereka. Walaupun mereka tak sepenuh nya mengerti tentang apa yang aku lakukan namun mereka sangat mendukung jalan hidup yang telah kupilih.

Dan juga aku sangat suka membaca novel misteri. Mulai dari aku masih kecil sampai sekarang aku masih sangat sering membaca nya. Ketika aku kecil aku selalu menjadi semangat dan banyak mengoceh menceritakan seluruh isi cerita misteri yang kubaca kepada orang lain. Dulu aku selalu ingin menjadi seorang detektif seperti di dalam salah satu cerita itu atau mungkin terlibat dalam kasus misteri dan membantu memecahkan kasus nya. Itu akan menyenangkan bukan? Atau begitulah yang kupikir. Selalu merasa curiga dan berada di situasi yang berbahaya. Tapi aku tetap menikmati perasaan mendebarkan itu. Iya,aku tahu mungkin itu aneh namun aku rasa sekarang aku bisa menjadi bagian dari kasus misteri yang selama ini kudambakan.

Karena sekarang aku sedang melihat sebuah piano bersimbah darah di hadapan mataku, di sebuah ruangan musik. Persis sama seperti salah satu cerita horor, tapi ini nyata. Kenapa bisa begini? Aku melihat nya lebih dekat dan menyadari bahwa terdapat kilauan cahaya kecil dari celah tuts piano tersebut. Karena aku melihat nya dari dekat tentu saja bau darah itu dapat tercium di hidungku.

"Ugh." Kuapit hidungku dengan kedua jari agar bau itu tak masuk ke hidungku. Tapi aku tetap melanjut kan melihat piano itu dari dekat, rasa penasaran ku lebih besar daripada perasaan lain yang muncul dari diriku. Lalu aku menekan salah satu tuts piano yang bersebelahan dengan celah yang memiliki sedikit kilau tadi.

"Ting." Didalam ruangan yang sunyi ini sura piano itu terdengar sangat jelas dan aku melihat ada potongan kecil silet bersebelahan dengan jariku yang menekan tuts piano ini. Aku sudah tau kalau ada benda tajam disini. Kuambil bilah silet kecil itu dengan hati-hati dan melihat nya dari jarak dekat. Tapi siapa yang menaruh nya disini? Tidak mungkin sebuah silet kecil dapat menempel rapi di sini tanpa seseorang pun yang sengaja menaruh nya. Apalagi ketika tinggal satu minggu lagi sebelum aku tampil, dan piano ini tadi dimainkan oleh pianis yang akan menggiringi penampilanku nanti. Jika luka di tanggan nya tidak sebuh sampai minggu depan mungkin aku harus mencari pianis lain untuk menggantikan dia. Aku mulai curiga bahwa ada seseorang yang ingin mencelakai Adele ataupun diriku.

Tapi apakah kamu tau? Dia menggeserkan tangan nya dari ujung ke ujung di piano ini hari itu. Kamu bisa kan membayangkan separah apa luka di tangan nya itu? Rasa nya aku sampai bergidik ngeri melihat nya.

Dia jadi tidak bisa memainkan piano karena luka yang parah di tangan nya itu. Aku teringat kembali tragedi yang terjadi kemarin. Aku sangat panik, begitu juga dengan dirinya lalu aku segera mengambil tisu dari dalam tasku dan memberikan semua tisuku kepadanya. Darah yang berasal dari luka nya yang begitu dalam, mengalir banyak. Bahkan satu bungkus tisu tampaknya tak cukup. Setelah itu aku hendak mengantar nya ke rumah sakit namun dia bilang "Gak perlu, ini gak apa-apa kok." Lalu dia melilitkan perban dengan rapi pada luka di tangan nya. Dia memang sangat gila, bagaimana bisa dia tetap tenang seolah-olah tidak terjadi apapun.

Karena aku harus mencari pengiring piano yang lain tentu saja ini menjadi saat-saat sulit bagiku, dengan waktu kurang dari seminggu. Apa sempat aku mencari pengganti nya? Namun aku rasa ini jauh lebih sulit bagi Adele. Dia tidak dapat memainkan piano untuk beberapa saat.

Sebenarnya yang lebih membebani pikiranku kali ini adalah karena aku akan tampil "Solo" untuk yang pertama kali nya. Cukup sulit bagi seorang pemain biola agar bisa mendapat kesempatan tampil sendiri karena biasa nya kami tampil secara berkelompok, tampil "Orkestra" nama nya. Kelompok yang terdiri dari banyak pemain biola maupun pemain instrumen yang lain. Jumlah nya kurang lebih 100 orang pemain untuk orkes simfoni sedangkan 30 sampai 40 pemain untuk orkes yang kecil. Selama ini aku hanya tampil dalam sebuah kelompok orkestra dan butuh waktu yang lama dan usaha yang lebih keras bagiku agar bisa mendapat kesempatan tampil "Solo". Apa yang selama ini aku usahakan sudah mulai membuahkan hasil jadi aku tak bisa membiarkan kesempatan bagus ini menjadi kacau karena permainan biolaku yang tak seiring dengan suara piano yang dimainkan oleh pianis lain yang nanti mengantikan Adele.

Lihat selengkapnya