“Oh Triana yang cantik, bermata hitam arang, berkilau bak bintang, sudahkah engkau makan?”
Pertanyaan itu keluar dengan nada merdu dari seorang tukang roti di kedai ini, dia adalah spesialis roti gandum lembut, dengan resep rahasia paling enak di kota pelabuhan ini.
Namanya adalah Rudolf Peterson, seorang cendekiawan roti yang menggunakan lemak ikan Duna Kuning sebagai pengganti mentega, dan telur ikan Lurang Biru sebagai pelembut. Dua benda itu adalah rahasia kelezatan roti buatan Rudolf, itu sebabnya setiap pendatang dari luar kota, pasti akan mampir paling tidak sekali hanya untuk membeli roti, lalu kembali melanjutkan perjalanannya.
“Oh, Rudolf-nara. Suaramu begitu indah, jika engkau tidak bekerja menjadi tukang roti, dengan senang hati aku akan mengajakmu untuk berkeliling dunia, menyairkan kisah legendaris pada mereka yang belum mendengarnya.”
Wanita ini adalah seorang penyair, dia bepergian ke semua tempat yang belum pernah dikunjungi olehnya, menetap selama beberapa hari untuk menyairkan baitnya, lalu pergi lagi setelah menyair dengan suaranya yang luar biasa indah.
“Oh pujangga penyair, begitu tajam pujianmu, menusuk menembus kalbu, tempat aku merindu.”
Rudolf kembali menyair sambil menghidangkan roti yang baru matang dari tungku bakar, dia membungkuk dan menyilahkan Roselia Triana untuk menikmati rotinya yang masih panas.
“Lihatlah dirimu, engkau begitu pandai merayu seorang wanita. Aku penasaran, Rudolf-nara, apa engkau telah mencinta?” tanya Roselia.
Pertanyaan ini tidak perlu dijawab dengan syair dan nada merdu, Rudolf mengerti situasinya, dia hanya menyair untuk menyambut kedatangan Roselia yang kelima kali dalam dua hari ini.
“Bagaimana dengan engkau, Roselia-tara? Apakah engkau menginginkan ragaku?” tanya Rudolf sambil melambai dengan senyuman tipis untuk menyambut tamu yang baru datang di siang hari ini.
“Hahaha, hmm,” Roselia tertawa, lalu menghela nafas sambil menyandar dagunya dengan tangan kanan di atas meja.
“Aku menginginkan ragamu, Rudolf-nara. Bagaimana kalau kutawarkan diriku untuk menembakkan cintaku pada engkau?” kata Roselia dengan suaranya yang merdu.
“Sayang sekali, Roselia-tara. Aku menginginkan wanita yang mengharapkan hatiku, bukan ragaku,” jawab Rudolf dengan senyum penuh kemenangan.
“Hahahaha! Pintar sekali mulut engkau merangkai kata, bahkan tidak terpikirkan olehku.”
“Terimakasih, Roselia-tara. Aku sangat tersanjung.”
Rudolf membungkuk dalam, lalu dia berjalan menuju meja tempatnya menyiapkan adonan yang tinggal dipanggang. Sementara Roselia mulai memakan roti buatan Rudolf yang kini hanya hangat, tidak panas seperti tadi.
“Membunuh waktu dengan Rudolf-tara sangat menyenangkan, aku sangat terhibur,” gumam Roselia sambil membelah rotinya menjadi dua bagian, lalu memakan bagian yang kecil dengan anggun.
“Enak sekali, aku merasakan anggrek Dirmun dan buah Pea, lalu rasa lautan yang asing di lidahku, apa dia menggunakan ikan untuk memanggang roti ini? Hebat sekali.”
Kalian penasaran kenapa mereka menggunakan panggilan ‘-nara’ dan ‘-tara’? Jawabannya sederhana, yaitu karena kedua panggilan itu adalah suatu bentuk penghormatan kepada sesama rakyat yang berbahasa Indurgin, tinggal di Indurgana, memakan hasil laut serta hasil darat Indurgana, dan meminum air serta menghirup udara Indurgana.
Panggilan ‘-tara’ adalah panggilan kepada seorang pria kepada wanita yang dihormatinya, lebih menjurus pada seorang kekasih, namun para pengusaha seperti pemilik kedai ini memerintahkan Rudolf dan pekerja lain di kedai ini untuk memanggil tamu wanita dengan panggilan ‘-tara’, agar mereka luluh dan betah berada di kedai ini. Sebaliknya juga berlaku pada panggilan ‘-nara’ dari wanita kepada pria yang menarik perhatiannya, Roselia memanggil Rudolf dengan panggilan ‘-nara’, sederhana karena dia adalah seorang penyair.
Hanya kalimat dan bait yang indah saja yang boleh keluar dari mulut seorang penyair seperti Roselia, yang kini mengunyah potongan terakhir rotinya, lalu meminum secangkir anggrek Ritan dengan botolnya di meja.
“Rudolf-nara, ini luar biasa. Ini kali kelima aku mengunyah roti seenak ini dan masih terasa, bahkan setelah aku meminum anggrek Ritan.”
Rudolf menoleh, dia sedang mengaduk sesuatu di gelas kecil yang nantinya akan dituangkan di sebuah barel.
“Benarkah? Aku tersanjung, Roselia-tara.”
“Katakan padaku, bagaimana cara engkau membuatnya.”
Rudolf dengan santai menuangkan isi gelas itu di barel kecil di sebelahnya, lalu menutup barel itu dan menggesernya supaya lebih ke tengah, agar tidak jatuh.
“Roselia-tara, aku tidak yakin. Bahkan lautan memiliki rahasianya.”
“Aah, rahasia lelaki?”
“Sebut saja begitu.”
“Kalau begitu aku tidak bisa melakukan apapun, ingin bagaimana lagi?” Roselia pasrah dengan jawaban Rudolf yang selalu sama.
Setiap kali pelanggan, tamu, dan petualang yang mampir ke kedai ini untuk beristirahat, lalu memakan roti buatan Rudolf, “Bagaimana caranya kau membuat roti seenak ini? Apa kau ini penyihir dapur?” adalah dua pertanyaan paling sering ditanyakan, dan jawaban Rudolf selalu sama.
“Bahkan laut memiliki rahasianya.”
Lalu orang yang bertanya akan menyerah dan tidak akan pernah lagi menanyakan resep roti milik Rudolf. Yang mereka tahu, Rudolf tidak memasukkan benda aneh dan berbahaya di dalam roti buatannya.
Bel berbunyi nyaring dari arah pintu masuk, ada beberapa orang pria paruh baya berjalan masuk, keringat mereka terlihat berkilauan, tanda bahwa mereka sudah bekerja keras untuk hari ini.
“Selamat datang para pria perkasa dari ladang yang diberkati dewi Amerit~ inginkan makanan~ atau hanya sekedar menyirami tenggorokan dengan anggrek~?” tanya Rudolf sambil memainkan nadanya.
“Hahaha, seperti biasa Rudolf. Kau selalu menyambut kami yang kelelahan, terimakasih.”
Pria yang terlihat seperti pemimpin kawanan berisi empat orang ini menjawab Rudolf yang sedang menyair dengan bait yang menanyakan pesanannya, unik memang, tidak heran orang-orang betah di Kedai Sariya ini.
“Ambilkan aku roti, Rudolf. Dengan sayuran dan ikan Hangir bakar.”
“Aku sama.”
“Aku juga sama.”
“Kalau begitu, Rudolf. Empat porsi roti dan empat porsi Hangir bakar. Lalu minumannya air jernih saja.”
“Kalau begitu, tuan Raffold. Silakan duduk di mana saja, akan kuambilkan makanan untuk kalian.
“Ya, tolong ya.”
Orang yang dipanggil Raffold itu adalah seorang petani yang mengerjakan ladang di sebelah timur kota pelabuhan ini, jaraknya tidak jauh, mungkin hanya sekitar beberapa saat dengan jalan kaki. Ketiga orang pengikutnya ini juga petani dari ladang yang sama, alasan mereka mendatangi kota pelabuhan ini adalah untuk menjual hasil panen mereka dan membeli kotoran ikan, lalu makanan dan melakukan beberapa hal remeh lainnya seperti jalan-jalan menghirup udara pantai dengan aroma garam yang khas.
Alasan kenapa para pria tidak memanggil pria lain dengan panggilan ‘-nara’ adalah karena itu memalukan. Hanya wanita kepada pria dan sebaliknya yang melakukan hal itu.
Kecuali jika kau seorang pecinta sesama jenis, aku tidak melarangmu.
“Oh ya, Cerik. Kau sudah menutup irigasi kan?” tanya Raffold.
“Sudah, aku melakukannya dengan Spenter.”
“Iya, kami melakukannya setelah kau masuk ke gubuk dan membereskan perkakas.”
“Oh, bagus kalau begitu. Jika ladang kita terlalu banyak air, semua bibit yang kita tanam hari ini bisa busuk dan kita akan kelaparan untuk beberapa bulan.”
“Ayolah, Raffold. Kau tahu kami bekerja bersamamu lebih dari enam tahun, hal seperti ini sudah tidak perlu lagi kau khawatirkan,” kata Cerik.
“Hahaha, benar juga,” jawab Raffold.