Semua awak tertidur dengan pulas karena kelelahan, perjalanan masih agak lama, mungkin mereka akan sampai ketika langit nyaris terang tanpa matahari. Maksudku, waktu subuh. Selama itu, adalah saat-saat paling menenangkan bagi Corat yang kini sedang merapal mantera untuk fortifikasi udara.
“Kalau udara difortifikasi, serangan asam dari Gurita Cincin itu pasti tidak akan mempan,” gumam Corat sambil terus berkonsentrasi.
Tangan Corat mengayun lembut, tongkat sihir kecilnya meliuk-liuk di udara seperti penari yang sedang mengikuti irama syair di kedai. Ke atas, meliuk lembut ke kanan, berputar ke kiri, lalu dengan seksi, dia menghentakkan tongkat sihirnya dan mengeluarkan sihir fortifikasi di udara di depannya.
Thump
Pernah melihat api? Maksudku, bagian paling atas api? Ketika kau melihat sedikit lebih ke atas daripada api merah itu, kau akan melihat udara seakan-akan digerakkan oleh api, menurut konsep kalian, aku percaya kalian menyebutnya pemuaian udara.
Ketika kalian melihat Corat menyihir udara di depannya, udaranya juga terlihat bergoyang sedikit, lalu selesai, sesederhana itu.
Berbeda dengan mata manusia non-penyihirmu, di mata Corat, udara itu kini berkilauan dengan cahaya berwarna ungu, di tepi batas fortifikasi itu, ada cahaya berwarna merah yang menyebar seperti terbakar.
Itu adalah residu sihir.
“Sihir yang hebat.”
Corat menoleh ke belakang, dia tidak melihat siapapun berbicara. Tidak ada wanita di atas kapal ini, hanya ada pria kekar yang sanggup memburu ikan laut.
“Tunjukkan sekali lagi padaku, lalu akan kusyairkan padamu bait terindah.”
“Tunjukkan dirimu, orang asing. Aku tidak mengira akan menemui seseorang di tengah lautan.”
Corat mencoba berpikir kritis dan tetap sadar dengan keadaannya.
“Kau bisa melihat sihir?” tanya Corat.
“Sejelas dan sejernih air mata.”
Glek
Corat menelan ludahnya, suara yang menggaung ke segala tempat itu membuatnya terpesona, sekaligus merinding. Instingnya berkata bahwa suara wanita itu berbahaya, namun hatinya yang terpesona memiliki intrik yang berbeda dengan instingnya.
“Kalau begitu, aku akan merapal mantera fortifikasi lainnya.”
“Akan kuperhatikan dengan senang hati.”
Corat mengeluarkan energi sihir dari tangan kirinya, lalu mengambil energi sihir itu dengan tongkat sihir kecilnya dan mulai merapal.
Tidak jelas bagaimana rapalan mantera itu dilafalkan, Corat hanya mengingat manteranya dari buku sihir di rumahnya yang tidak pernah dibawa keluar. Agak sulit membaca aksara sihir itu, karena pelafalannya ditulis berbeda dengan tulisannya.
‘Gehultan wein wilth’ yang artinya ‘dewa dewi kelimpahan rahmat’, dilafalkan secara lisan dengan ‘geiwuhan hin hilth’ yang menyulitkan semua orang yang belajar sihir.
Corat melafalkan manteranya dengan hati-hati, dia masih berada di bait ke-16 dari 34 bait, sehingga dia masih membutuhkan waktu agak lama untuk menyelesaikan manteranya.
Ujung tongkat sihir Corat menari-nari seperti awal tadi, dia mengayunkan tongkatnya secara spesifik, untuk menunjuk titik-titik penting sihir fortifikasi ini dilakukan.
“Sihir yang indah, tuan nelayan.”
Konsentrasi Corat pecah, suara wanita itu indah sekali.
Duar
Ledakan besar membuat suara yang cukup besar di geladak kapal. Corat terlempar hingga menabrak pagar di tepi kapal, kepalanya terbentur keras.
“Ada apa?!”
“Serangan predator?”
“Semua ke geladak!”
Orang-orang panik, mereka mengira sedang diserang oleh predator malam di tengah lautan, sehingga mereka harus segera bersiap untuk bertempur.
“Corat! Kau tak apa?!” tanya kapten yang baru keluar dari dek bawah.
“Kita diserang?!” tanya kepala kelasi.
“Corat! Sadarlah! Corat!” teriak kapten.
Corat masih bernafas, dia masih hidup, kapten menghela nafas lega.
“Cek sayap kapal, lalu ikan di belakang. Berhati-hatilah.”
“Aiyo,” jawab semua orang dengan suara yang pelan, namun tegang.
“Balista cek sayap kanan, menara naiklah, aku dan meriam akan cek kiri.”
Semuanya mengangguk setuju dengan instruksi dari kepala kelasi.
Si pengawas menara naik ke atas, dia mencoba mengamati sekitar dengan penglihatannya yang tajam. Tidak ada keanehan apapun.
Regu balista yang berjalan dengan hati-hati ke sayap kanan juga tidak menemukan apapun, sama halnya dengan regu meriam di sisi kiri kapal.
Namun ketegangan tidak hilang begitu saja.
Lebih baik melawan ikan predator ganas yang terlihat secara fisik daripada melawan rasa takut yang tidak ada wujudnya, situasi ini memberikan tekanan pada setiap awak, membuat mereka takut dengan apa yang akan terjadi berikutnya.
“Hei.”
“Sst.”
Pria itu meletakkan jarinya di mulut agar temannya tidak melanjutkan percakapan.
“Bukan, lihat ke belakang.”
Dia menoleh setelah diberi tahu, kepala kelasi mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat apakah ada sesuatu di sisi kanan kapal.
Pria ini mengangkat kedua tangannya dan menyilangkan keduanya, membentuk huruf ‘x’, yang berarti tidak ada.
“Tidak ada apapun di sini, di kiri kapal juga tidak ada.”
Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita memainkan nadanya yang indah, lembut, membuat semua awak kapal heran.