Penyair Lautan dan Penyair Daratan

Samudra
Chapter #6

Bab 6: Penyihir Nelayan dan Penyihir Menara (2)

“Menyihir katamu?” tanya Alaris sambil mengambil peta yang lebih rinci.

“Benar, aku sedang mencoba mantera fortifikasi milikku. Aku sukses melakukan yang pertama, namun gagal untuk yang kedua.”

“Kenapa bisa gagal? Sihir fortifikasi untuk penyihir nelayan tidak serumit itu.”

“Aku merapal sihir fortifikasi yang diperuntukkan untuk petarung, aku membuat tameng udara sebesar ini.”

Corat melebarkan tangannya selebar pundaknya, Alaris mengangguk-angguk mendengar penjelasan Corat.

“Kalau begitu, sihir yang kau rapalkan itu memang rumit,” kata Alaris.

“Lalu kenapa gagal saat kau merapal yang kedua?”

Corat menundukkan pandangannya, dia seakan menghindari pertanyaan Alaris.

“Ada apa?” tanya Cordel.

“Mungkin kau tak akan percaya, penyihir Alaris. Tapi aku gagal karena mendengar syair dari seorang wanita.”

Alaris menoleh ke Cordel, Cordel mengangkat kedua alisnya dengan wajah yang seakan berkata bahwa Corat tidak mengalami gangguan jiwa, meski Alaris tahu bahwa cerita Corat itu benar, dia hanya memastikan dari Cordel.

“Seorang wanita yang menyair di lautan?” tanya Alaris.

“Ya,” Corat semakin dalam menundukkan kepalanya.

“Bagaimana suaranya?”

“Indah, dan menyedihkan.”

“Menyedihkan?”

“Itu, penyihir Alaris. Seperti, hmm, seperti orang berduka?”

“Ah,” Alaris mengangguk paham, dia berjalan menjauhi Corat dan Cordel, lalu duduk di kursi panjang.

Cordel mengikuti Alaris dan duduk di kursi yang berlawanan, sementara Corat masih berada di depan peta lautan Nashiria.

Aku lupa cerita pada kalian, samudra Nashiria, atau The Great Nashirian Ocean, adalah samudra luas dengan ribuan misteri di dalamnya. Samudra Nashiria di wilayah Indurgana tidak termasuk laut Haulan, Geral, Tenir, dan laut lain dengan monster di dalamnya. Lagipula, negara lain seperti Cyndur dan Hathena juga punya wilayah mereka sendiri.

Para nelayan tahu diri agar tidak melaut di laut negara orang, agar tidak memicu konflik, apalagi sampai berujung pada perang.

Mereka sudah muak dan bosan dengan perang.

Kembali ke Corat yang kini berjalan menuju kursi panjang, Alaris sudah menyiapkan anggrek selagi dia melamun di depan peta.

“Katakan padaku, Corat. Apa kamu menyukai kisah mitologi?” tanya Alaris sambil mengumpulkan energi sihir di tongkat kecilnya, lalu menyentak tongkatnya hingga sebuah buku jatuh dari rak buku di langit-langit.

“Cerita mitologi?”

“Ya, tentang penyair wanita di lautan.”

***

Dia mengeringkan sebuah piring logam dengan kain kering berdaya serap tinggi, kedainya yang biasanya ramai dengan para pelaut, petani, dan pedagang, semua orang, kini suram dan senyap.

Tidak ada lagi penyair yang menari-nari di atas meja sambil diiringi oleh kawan-kawan seperjalanannya, tidak ada lagi para pelaut kelelahan yang mencari lelah di kedai, menari bersama para penyair dengan segelas besar anggrek beralkohol di tangannya, tidak ada lagi wanita cantik yang menari dengan anggun di atas meja bersama para penyair.

Tidak, tidak ada lagi.

Hanya ada Rudolf yang mengeringkan gelas, beberapa pelaut yang sedang menunggu temannya, beberapa petani yang sedang istirahat, dan beberapa penempa besi yang juga sedang istirahat.

Roselia sudah pergi sejak kemarin, dia menuju kota berikutnya untuk menyair dan mencari uang.

“Haah, sepi rasanya,” gumam Rudolf sambil meletakkan gelas yang sudah dikeringkannya.

“Masak? Tapi kelihatannya akan sepi sampai beberapa hari ke depan.”

Cring cring

Suara bel berbunyi, tanda ada pengunjung baru di kedai ini. Rudolf refleks menoleh ke arah pintu masuk dan mendapati empat orang dengan peralatan lengkap.

Seorang pria tampan bertubuh ramping dengan baju zirah yang dijalin, pelat perak di kedua pundaknya, baju dengan lambang serikat petualang, dan di punggungnya tersemat dua tombak berwarna perak.

Pria yang satu lagi bertubuh kekar dan besar, dia memakai zirah yang sama seperti pria tombak, namun dia membawa perisai dan pedang di punggungnya.

Di belakang mereka ada dua orang wanita, mereka mengenakan zirah yang sama dengan kedua pria di depan mereka.

Satu dari kedua wanita itu membawa tas pinggang yang cukup untuk diisi beberapa buku, dan di pinggangnya disematkan tongkat sihir kecil. Wanita di sebelahnya membawa busur tanpa anak panah.

Pemandangan yang jarang bagi Rudolf dan orang-orang di kedai.

“Selamat datang, para petualang. Ada yang bisa kubantu?” tanya Rudolf dari balik meja.

“Hm,” jawab pria kekar dengan anggukan.

“Kami mencari penyihir Alaris, dia menawarkan tugas ini di serikat petualang.”

Pria kekar itu memberikan gulungan berisi misi yang akan mereka lakukan hari ini, misi perburuan Siren yang tempo waktu direncanakan Alaris.

“Perburuan Siren?” gumam Rudolf.

“Di mana beliau?” tanya pria kekar itu.

“Oh, maafkan aku,” kata Rudolf sambil menggulung kertas itu dan mengembalikannya pada si pria kekar.

“Penyihir Alaris tinggal di Mercusuar. Bagaimana kalau kalian duduk saja dulu di kedai sementara orangku memanggilkan beliau?”

Pria kekar itu menatap pria tombak dan kedua wanita di belakangnya, seperti meminta persetujuan. Mereka semua mengangguk pada pria kekar.

“Baiklah, kami tunggu di sini. Kau punya anggrek?”

“Yang terbaik di kota ini, silakan duduk.”

Rudolf melirik salah satu pegawai di kedai, pegawai yang diliriknya membalas lirik, Rudolf mengangkat dagunya seakan menyuruh dia untuk pergi, dan dia menuruti Rudolf untuk pergi ke Mercusuar.

Rudolf mengambil empat gelas, dia menempatkan empat gelas itu di atas nampan. Setelah itu dia mengambil ember kecil dan diisi dengan dua botol anggrek Duna, lalu dia membawakannya kepada empat petualang ini.

“Dari kota mana, kalian para petualang?” tanya Rudolf sambil meletakkan nampannya.

“Kami dari kota Gandir, tidak jauh dari kota Ratur,” jawab pria tombak.

“Hm? Di sana ada gedung serikat?” tanya Rudolf sambil menuangkan anggrek di gelas wanita busur.

“Tentu saja ada. Kota Gandir termasuk kota besar di kerajaan ini,” jawab pria tombak.

“Terimakasih,” kata wanita busur ketika Rudolf menuangkan anggrek di gelasnya.

“Maaf kalau terkesan ikut campur, tapi ini Siren?” tanya Rudolf sambil melirik gulungan misi di saku pria kekar.

Rudolf menuangkan anggrek di gelas wanita dengan tongkat sihir.

“Kami sebenarnya juga tidak terlalu paham dengan Siren ini, karena hanya tahu dari buku cerita dan penyair di beberapa kedai,” jawab pria kekar sambil melirik wanita busur yang curi-curi pandang kepada Rudolf.

“Tapi kalian percaya? Melihat kalian datang jauh dari kota Gandir ke sini hanya untuk berburu makhluk yang keberadaannya saja, hm,”

“Abstrak?” tanya wanita dengan tongkat sihir, dia mencoba mencarikan kata untuk Rudolf.

“Ya, abstrak. Terimakasih, nona?”

“Panggil aku Terishia, tuan?”

Lihat selengkapnya