Rudolf Peterson (Art by Samudra)
“Tanpa mengurangi rasa hormatku padamu, penyihir Alaris. Tapi, jawabanku, tetap sama.”
“Kalau begitu, datanglah untuk sekedar meminum teh, Rudolf-nara.”
Rudolf mengangguk, dia menoleh kepada keempat petualang, meminta mereka menjawab permintaannya untuk ikut pergi ke laut.
Dermond melirik Yutran, dia tidak bereaksi apa-apa. Tereshia dan Rithe juga tidak menunjukkan reaksi apapun, itu berarti, jawaban apapun yang akan diberikan Dermond, mereka tidak akan protes.
“Baiklah, tuan Rudolf. Kau diijinkan ikut,” kata Dermond.
“Terimakasih,” Rudolf berdiri dari kursinya, lalu membungkuk.
“Kalau begitu, aku pergi ke bawah dulu.”
“Tentu.”
Rudolf menghilang dari balik pintu, dia menutupnya bersamaan dengan waktu dia keluar, sehingga terlihat kurang sopan di mata Tereshia yang belajar etika sejak kecil.
“Apa yang perlu disiapkan, penyihir Alaris?” tanya Dermond.
“Datanglah ke menara, kapal akan disiapkan saat sore. Sekarang matahari sedang tinggi,” jawab Alaris sambil berdiri dari kursinya lalu berjalan menuju pintu.
“Bunuhi waktu hingga sore, lalu temui Rudolf.”
Keempatnya berdiri, lalu membungkuk, setelah itu Alaris pergi dari ruang tamu ini.
Dari tangga, Alaris jelas mendengar ada kerumunan di bawah. Kerumunan itu tidak terlalu padat dibandingkan tadi. Mereka sedang memperhatikan Corat yang sedang diobati.
“Butuh berapa lama lagi?” tanya Rudolf sambil memperhatikan Spenter yang menyihir Corat dengan sihir pemeliharaan.
“Tidak sebentar, kami kekurangan penyihir,” jawab penyihir nelayan itu.
“Biar kubantu.”
“Penyihir Alaris?”
Alaris mengeluarkan tongkat sihir yang disematkan di pinggangnya, lalu mulai mengumpulkan energi sihir di ujung tongkat sihirnya.
“Corat adalah saksi hidup penyerangan Siren, jika dia mati, kita tidak punya saksi lagi,” katanya sambil mengayunkan tongkat sihirnya dan mulai menyembuhkan Corat yang masih dalam kondisi tidak stabil.
“Lalu berhenti memanggilku ‘penyihir Alaris’, Rudolf-nara. Kau tahu aku lebih suka kau panggil Aquaria.”
Nama belakang Alaris adalah Aquaria, yang berarti ‘air’. Tidak banyak yang tahu tentang nama belakang Alaris karena dia hanya memberitahu orang-orang yang dia sukai saja, termasuk Rudolf.
Hubungan Alaris dengan Rudolf sebenarnya lebih dari sekedar penyihir genit dan pria roti yang cuek. Sejak dulu, Alaris adalah wanita yang tidak mempercayai pria, terlebih lagi pria dari golongan bangsawan.
Menurut Alaris, mereka hanya pandai menipu, memanfaatkan orang lain demi kepentingan sendiri, dia tidak menyukainya. Alaris pernah dikencani seorang pria bangsawan dari ibukota kerajaan, dak tidak berakhir baik karena Alaris pada akhirnya mengetahui bahwa dia akan dijadikan selir ke-12.
Marah, kecewa, dan sedih, Alaris mengajukan diri kepada serikat penyihir untuk mengabdi di kota Coral, sebuah kota pelabuhan di balik pegunungan yang terpencil.
Namun, ketika dia menapakkan kakinya di kota ini, dia langsung terpesona dengan Rudolf Peterson yang menyairkan syair untuknya sebagai seorang pemilik kedai, dan seorang penyair untuk hobi.
Rudolf memberikan roti terbaiknya yang saat itu belum menggunakan ikan laut, namun menggunakan anggrek. Sambil meletakkan nampan, dia membisikkan cinta pada Alaris yang baru saja datang di kota ini.
Lebih spesifiknya, Rudolf membisikkan rayuan untuk menetap dan tidak pergi sampai rotinya habis, atau uangnya habis.
“Aku Alaris, aku penyihir yang akan mengabdi di kota ini,” kata Alaris ketika dia menerima satu lagi piring berisi ikan panggang.
Rudolf membungkuk dalam, dia meraih tangan kanan Alaris dan mencium punggung tangannya, setelah itu dia mengembalikan tangan Alaris di pahanya.
“Selamat datang, wanita yang diberkati. Namaku Rudolf Peterson, datanglah padaku saat kau inginkan berkah ibu alam.”
Detik itu juga, Alaris menginginkan dirinya sebagai mempelai wanita di sebelah Rudolf yang menjadi mempelai prianya.
Namun beberapa minggu setelahnya, Alaris baru sadar kalau mulut Rudolf yang manis itu hanya untuk memikat para pelanggan agar mereka menghabiskan uang mereka di kedai.
Mengetahui hal ini, Alaris tidak marah. Dia bahkan makin menyukai Rudolf melebihi dirinya sendiri.
Dia bahkan memiliki cincin permata untuknya dan Rudolf di menara, dia akan menggunakan cincin itu dan memberikan satunya pada Rudolf ketika dia menerima Alaris.
Sambil mengingat masa lalu, Alaris kini menyelesaikan manteranya pada Corat dan menyerahkan sisa pekerjaannya pada Spenter dan penyihir nelayan satunya.
“Terimakasih, penyihir Alaris. Kami sangat terbantu,” kata Spenter sambil mengayunkan tangannya dan menghentikan rapalan sihirnya.
Penyihir nelayan itu juga menghentikan rapalan manteranya, Corat kini terlihat lebih baik. Hanya memerlukan istirahat yang cukup dan makanan sehat, setelah itu dia akan pulih kembali dalam waktu kurang dari empat hari.
“Tak perlu berterimakasih, aku melakukan tugasku,” jawab Alaris sambil menyematkan kembali tongkat sihirnya, dia melirik Rudolf yang melipat tangannya di dada.
Alaris diam di tempatnya, dia tidak beranjak pergi.
“Um, kau sudah selesai?” tanya Rudolf.
“Hah? Oh, aku sudah selesai,” jawab Alaris.
“Lalu? Kenapa masih di sini?”
‘Aku ini menunggu terimakasihmu tahu!’ gumam Alaris.
“Kalau begitu, aku pergi ke Mercusuar dulu.”
Alaris berjalan menuju pintu keluar, orang-orang menyingkir memberikan jalan untuknya.
“Aquaria.”
Alaris menoleh kepada suara yang memanggilnya barusan.
“Ya?”
“Terimakasih.”
Alaris tersenyum, wajahnya memerah, dia mendapatkan ucapan terimakasih dari Rudolf pertama kali sejak sekian lama…
…sekitar, satu tahun?
“Sudah tugasku, Rudolf-nara,” kata Alaris sambil memegangi rok bagian sampingnya dan membungkuk dengan kaki kiri ke belakang, seperti tuan putri.
Rudolf tidak melihat Alaris yang membungkuk seperti itu, dia memperhatikan Corat yang kini dipapah menuju lantai atas.
‘Sialan,’ gumam Alaris.
‘Dasar bodoh.’