Penyair Lautan dan Penyair Daratan

Samudra
Chapter #10

Bab 10: Perburuan Siren (2)

Tereshia Ophtar (Art by Samudra)

Rudolf dan kapal Margoria sedang dalam perjalanan kembali menuju kota pelabuhan, Dermond duduk melingkar bersama Yutran, Tereshia, dan Rithe. Sementara Rudolf duduk sendirian di belakang kapal.

Dia memandangi laut yang bergerak seolah menjauhinya.

Ini terasa baik oleh Rudolf, dia jarang mendapatkan jatah liburan seperti ini. Paling tidak, bagi dia yang selalu berpura-pura nyaman dengan kerumunan orang, suasana senyap seperti ini tidak terlalu buruk.

“Bagaimana menurutmu?” tanya Ragnar sambil mengambil tempat duduk di sebelah Corat.

“Tentang apa?” Corat memperbaiki posisi jubahnya, dia merasa agak kedinginan.

Ragnar tidak menjawab, dia melirik ke arah Rudolf. Dia khawatir Rudolf akan mendengar percakapan mereka, jadi paling tidak, dia harus menghindari cara menyebut Rudolf, yang siapa tahu salah.

Mungkin dia akan tersinggung jika dipanggil ‘pelaut’, atau ‘Rudolf’ dengan biasa saja tanpa embel-embel tertentu.

“Aku tidak tahu. Fakta bahwa dia pernah ada di atas kapal Ursus saja sudah sangat luar biasa. Aku tidak bisa berkomentar apapun.”

Corat memakan rotinya yang tadi dihangatkan oleh penyihir kapal, dia menghangatkan roti di dalam tungku kedap udara, bersama dengan beberapa gelas air di dalamnya agar kandungan air di dalam roti tidak berkurang dan terasa kering.

Hingga matahari terbenam, roti-roti itu pada akhirnya selesai dihangatkan, dan tungkunya dimatikan.

Kita tidak ingin dikejar predator laut saat malam, ‘kan?

“Selain merasa kagum, aku juga merasa kasihan.”

Ragnar menoleh, dia tidak paham maksud Corat tentang Rudolf yang kasihan.

“Kenapa?”

“Kru kapalnya dibubarkan, kaptennya meninggal, meski kapalnya dimuseumkan dan tercatat dalam buku sejarah, para kru yang dibubarkan itu tidak mendapatkan penghargaan dari kerajaan.”

“Penghargaan? Bukannya tercatat dalam sejarah dan kapalnya dimuseumkan itu adalah penghargaan bagus?”

“Maksudmu penghargaan kepada Ursus? Bukan penghargaan pada orang Ursus?” tanya Corat.

“Maksudmu?”

“Para kru yang bubar tidak mendapatkan lencana atau gelar, mereka hidup di bawah penyamaran, tidak mendapatkan pekerjaan setinggi penyihir Alaris.”

Corat meminum airnya, lalu melanjutkan.

“Bahkan penyihir dibedakan menjadi ‘penyihir bangsawan’ dan ‘penyihir gelandangan’, menurutmu nelayan bangsawan juga seharusnya ada, ‘kan?”

“Benar juga, tapi kalau ada ‘nelayan gelandangan’, maka kami ini akan mendapatkan perlakuan buruk dari masyarakat.”

“Kalau begitu, bukankah lebih baik kalau hierarki seperti ini dihapuskan saja? Tidak ada ‘penyihir gelandangan’, atau ‘penyihir bangsawan’. Hanya ada penyihir, berlaku sama untuk petani, pedagang, dan nelayan.”

“Aku setuju, tapi orang-orang mungkin tidak akan menerimanya, Corat.”

“Kenapa?”

“Ini seperti mencoba sesuatu yang baru dan terlihat berbahaya, kebanyakan orang akan menolaknya. Ini seperti aku menyuruhmu menangkap ular derik di gurun dengan tangan kosong tanpa sihir, kau pikir akan melakukannya?”

Corat diam, dia tidak menjawab karena dia tahu dia bisa menangkap seekor ular derik di gurun dengan tangan kosong tanpa sihir, dia tidak selemah itu.

Namun dia diam saja agar mood Ragnar tidak rusak.

“Seperti itulah, orang-orang akan lebih memilik tetap di situasi sekarang. Tidak ada konflik, tidak ada perang, dan akan terus berlanjut di masa depan nanti.”

Corat mengangguk.

“Yang jelas, kita nikmati saja dulu yang kita punya sekarang,” Ragnar melanjutkan kalimatnya.

Corat mengangguk. Di saat yang sama, namun di tempat berbeda, Dermond sedang berdiskusi tentang apa yang akan terjadi berikutnya saat perjalanan pulang.

“Mungkin kita akan bertemu Siren yang jadi tujuan kita, di perjalanan pulang ini,” kata Dermond.

“Aku masih skeptic tentang itu, meski penyihir Alaris bilang kalau Siren itu nyata, kita bahkan tidak pernah melihatnya,” jawab Dermond.

“Kita sudah bicara tentang ini, Yutran. Kalau kau tidak pernah melihat sesuatu, maka orang lain pernah. Saksinya ada di sana, dia memakai jubah tebal dan sedang kedinginan,” kata Dermond sambil menunjuk Corat dengan dagunya.

Tereshia sedang meminum anggrek hangatnya perlahan sambil menikmati perjalanan ini, Rithe juga sama, bedanya, dia kedinginan. Tereshia mengenakan pakai dalam yang cukup tebal, jadi dia tidak kedinginan.

Meski siang tadi dia merasa sangat panas.

“Aku penasaran tentang serangan mereka, kata penyihir Alaris, mereka melakukan sihir distorsi dan kapal kita berhenti,” kata Tereshia.

“Itu benar. Sesuai laporan dari Corat. Tentang bagaimana mereka melakukannya, itu yang tidak diketahui,” jawab Dermond.

“Huaahmm, dingin. Kita tidak nyalakan api?” tanya Rithe.

“Aturan setiap kapal nelayan, Rithe. Tidak menyalakan api ketika malam,” kata Yutran sambil mengambil sepotong roti lagi.

“Kau kedinginan, Rithe?”

“Masih tanya lagi, Tereshia?”

Tereshia menyeringai, Rithe cemberut.

“Tunggulah sebentar,” kata Tereshia sambil mengumpulkan energi sihir di tangan kirinya.

Ragnar menyadari sesuatu, ada yang aneh di udara, tapi dia tidak bisa melihatnya.

“Ada apa?” tanya Corat.

“Udaranya terasa aneh, atau cuma perasaanku?”

“Oh, anak itu sedang mengumpulkan energi sihir. Mungkin ingin menghangatkan diri dan kawan-kawannya,” Corat menunjuk Tereshia.

“Hah?” Ragnar kaget.

Duk duk duk

Ragnar memukul lantai kayu, dia berusaha memanggil Tereshia tanpa menggunakan suara keras.

Resonansi yang terlalu berisik akan mengganggu lautan, dan akan membuatnya marah.

Begitulah yang diyakini Ragnar dan semua awak kapal Margoria.

Tereshia tidak menyadari bahwa dia sedang dipanggil oleh Ragnar dengan ketukan lantai kayu, Ragnar kemudian berdiri dan mendekati Tereshia.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Ragnar.

“Ah? Kapten? Kami hanya ingin menghangatkan diri,” jawab Tereshia tanpa merasa bersalah.

“Hentikan, akan kuambilkan mantel untuk kalian. Jangan memakai sihir di malam seperti ini,” kata Ragnar.

“Kenapa?”

“Laut itu sangat dalam, kita tidak tahu apa yang ada di bawah kita. Jika sampai ada yang menyadari bahwa seseorang sedang menggunakan sihir di atas kapal, yang terjadi berikutnya adalah hal buruk.”

Ragnar menjelaskan pada Tereshia dan ketiga kawannya, mereka mengerti.

“Hei, ambilkan mantel. Berikan pada para petualang ini.”

Salah satu awak yang sedang mengunyah roti menoleh, Ragnar berbicara padanya.

“Glek, baiklah,” jawabnya setelah menelan roti.

Si awak pergi, lalu kembali dengan dua mantel dan beberapa selimut.

“Hanya dua mantel?” tanya Ragnar.

“Hanya ini yang tersisa. Tapi kita masih punya banyak selimut.”

“Ya sudah, berikan saja pada mereka.”

Lihat selengkapnya