Alejandra Vernandi Rahjas (Art by Samudra)
Alaris sudah pergi ke kota Rayet, dia pergi dengan kereta kuda yang disewanya khusus untuk hari ini. Sementara Rudolf sedang mengaduk adonan setengah jadinya dengan air kaldu ikan yang direbus sejak pagi tadi.
Sekarang sudah siang, dan air kaldu itu begitu kental, seperti adonan semen untuk membuat dinding bangunan.
Tanpa basa-basi, Rudolf mencampurkan adonannya dengan kaldu tersebut dan menyelesaikan semua pekerjaannya.
Ikan-ikan yang ada di dalam kain kini dikeluarkan setelah setengah hari berada di dalam kuali dan direbus dengan rempah-rempah lain.
Ketika dibuka, daging ikan-ikan itu begitu wangi, sudah matang, dan siap disantap kapanpun. Ini adalah sisa-sisa dari resep rahasia dari roti yang dibuat Rudolf.
Meski terlihat sangat enak, ikan-ikan ini tetap perlu diolah lagi.
Trevor memisahkan ikan-ikan itu dari dedaunan yang tidak diperlukan lagi.
Lalu meletakkan semuanya secara sejajar di atas kayu yang telah dilumuri mentega. Setelah itu, dia memasukkan kayu-kayu itu ke dalam tungku pemanggang.
Tungku ini berada di ruangan lain yang terpisah dengan dapur, karena jika dijadikan satu dengan dapur, pekerja lain akan terganggu dan tidak bisa bekerja dengan baik.
“Froden, Rila, sini bantu.”
“Baik.”
Pekerja yang dipanggil Froden dan Rila itu datang dan membantu Trevor mengangkat kayu-kayu panjang untuk dibawa ke ruang tungku pemanggang.
“Buka tungkunya,” kata Trevor.
Rila membuka tungku dan terlihat ada banyak sekali arang dengan empat kristal api yang diletakkan di setiap sudut. Arang yang ada di dalam tungku ini dibuat dari kayu Dandilan, jika sesuatu dipanggang menggunakan arang dari kayu Dandilan, aromanya akan sangat kuat, cocok untuk selera orang-orang tangguh di kota Koral.
Rudolf yang memesan arang ini dari Lintang, dia meminta Lintang untuk merahasiakan darimana asal arang ini dan bagaimana arang ini dibuat, dengan timbal balik, Rudolf akan terus membeli arang dari Lintang.
Tentu saja Lintang senang karena Rudolf membeli sekarung arang dengan harga 100 ribu Zeni, dan dia selalu membelinya di awal bulan. Sementara Lintang memproduksi produk kayu lainnya, pesanan arang dari Rudolf adalah pesanan yang tidak boleh dilewatkan.
Sementara Trevor memperbaiki posisi kayu di dalam tungku, Froden dan Rila datang membawa kayu lain.
Tungku ini berbentuk persegi panjang, panjangnya sekitar 8 hasta, dan lebarnya 3 hasta. Seperti meja di rumah pada umumnya. Tungku ini didesain dengan cekungan di tiap sisi agar arang yang membara tidak masuk ke dalam makanan yang ada di tengah.
Panas dari tungku ini akan bergerak secara sirkuler, hingga apapun yang diletakkan di dalamnya akan matang secara merata.
“Ah, aku lupa. Tolong ambilkan bumbu di ember yang ada di meja,” kata Trevor.
“Baik,” jawab Rila.
“Froden, kau kembali ke dapur. Terimakasih, ya.”
“Siap, tuan Trevor.”
“Tuan Trevor, ini bumbunya.”
“Terimakasih, Rila. Sekarang kembali ke dapur.”
“Baik.”
Setelah menerima ember berisi bumbu, Trevor mengambil bumbu yang berbentuk cair dari dalam ember dengan gelas. Ada 8 gelas, dia mengambil semua bumbu hingga tidak tersisa dan meletakkan mereka di dalam tungku panggang.
Rudolf pernah bilang bahwa teknik ini akan membuat makanan di dalamnya tidak kering, dan penuh dengan cairan manis yang enak.
Trevor tentu saja tidak percaya waktu itu, namun setelah makanannya matang, dia tidak bisa berhenti makan ikan dan terus mengemis untuk menambah porsi.
Rudolf hanya tertawa sambil berkata; “Apa kubilang?”
Sementara Rudolf dan Trevor sedang mengurus kedai, Dermond dan kawan-kawannya sedang beristirahat sambil menunggu sore tiba. Ada banyak kegiatan yang bisa mereka lakukan selama beristirahat, namun Dermond dan Yutran lebih memilih untuk memancing di pantai.
“Yak!” Yutran melemparkan kailnya sekuat yang dia bisa, senar kuat yang ada di alat pancingnya terbentang sangat jauh.
“Boleh juga,” komentar Dermond.
“Memangnya di sini bisa dapat ikan?” tanya Yutran.
“Memangnya kau tidak lihat banyak pria lain yang memancing seperti kita di sana?” Dermond balik bertanya sambil menunjuk dengan dagunya.
“Aku tahu, aku tahu. Aku bisa lihat mereka. Yang kutanyakan, memangnya bisa dapat ikan?”
“Mana aku tahu, aku belum dapat ikan.”
Keduanya menghela nafas.
“Tapi paling tidak kau sudah pasang umpannya, kan?” tanya Yutran.
“Oh, tentu saja. Ikan tidak datang tanpa umpan.”
“Umpan apa?”
“Ulat Jangkar.”
“Oh! Kudengar ulat itu bagus untuk umpan memancing di laut.”
“Bagaimana denganmu, Yutran?”
“Aku juga sama, pakai ulat Jangkar. Ulat ini banyak di sekitar sini, jadi kupakai saja.”
Dermond merasakan ada yang menarik kailnya, sepertinya umpannya dimakan.
“Tunggu sebentar, Yutran. Ada yang menarik umpanku.”
Dermond berdiri, dia bersiap menarik kailnya. Yutran melihat ujung alat pancing Dermond bergerak-gerak karena senarnya ditarik oleh ikan. Meski perlahan, ini sudah pasti dimakan oleh si ikan.
“Tarik, Dermond! Itu umpanmu dimakan!”
“Tidak, tunggu sebentar lagi. Menariknya sekarang hanya aka-“
Senar Dermond ditarik dengan kuat, ujung alat pancingnya melengkung ke depan.
“Yak!”
Dermond menarik senarnya sekuat tenaga, dia menggulung senar dan menarik ikan yang kini telah menggigit kailnya.
Kail Dermond sudah sangat dekat, air jernih di pantai membuat ikan yang menggigit kail Dermond terlihat jelas. Ikan itu berukuran seperti lengan manusia dewasa, pantas saja Dermond merasa kailnya agak berat.
“Hebat, Dermond! Bagaimana bisa?” Yutran kagum.
Dermond mengambil ikan Kakatua yang kini tidak bisa bergerak karena tidak ada air.
“Kau harus tahu bedanya ikan memakan umpan dan ikan memakan kail, Yutran,” kata Dermond sambil melepaskan kailnya dari ikan tersebut.
“Apa bedanya?”
“Umpan dimakan itu berarti ikan sedang ingin tahu apa umpannya bisa dimakan. Ketika dia memakan kail, dia akan kesakitan, lalu kailnya akan ditarik sekuat tenaga oleh si ikan. Jadi?”
“Jadi, kita hanya harus menarik kailnya ketika kailnya ditarik?”
“Yap. Nah, itu sepertinya ada yang memakan umpanmu,” Dermond menunjuk ujung alat pancing Yutran.
“Bagaimana kau bisa tahu? Air laut kan membuat kailnya terus bergoyang,” kata Yutran sambil mengamati ujung alat pancingnya.
“Walaupun tidak dimakan ikan, ujungnya tetap akan-“
“Woah!”
Alat pancing Yutran ditarik oleh ikan, kini dia sedang berusaha menarik senarnya dan membawa ikan itu menuju darat tempat dia berdiri.
“A-aku dapat satu,” kata Yutran sambil menunjukkan ikan yang sama seperti milik Dermond.
“Kenapa bisa?”
Dermond tertawa kecil.
“Ini laut, Yutran. Bukan kolam. Airnya seperti di sungai, bergerak dan terus bergerak. Ujung alat pancingmu jadi bergerak kemana-mana.”
“Tapi kau bisa tahu umpannya dimakan atau tidak, itu hebat, Dermond.”
Yutran melepaskan kail pancingnya sambil melemparkan ikan yang ditangkapnya ke belakang, bersama dengan ikan milik Dermond. Mereka tidak akan kabur, jadi dibiarkan saja mati kehabisan air di pasir.
“Entahlah, hanya firasat. Memancing adalah hobiku.”
“Heeh, baiklah. Kalau begitu aku mau lempar lagi.”
“Aku juga.”
Sementara keduanya sedang asyik memancing di pantai, Tereshia berada di perpustakaan kota. Perpustakaan ini tidak terlalu besar, atau kecil. Ukurannya mirip seperti gudang, dan terlihat cukup terawat. Banyak anak-anak remaja yang keluar-masuk perpustakaan ini, entah apa yang mereka lakukan.
Tereshia tidak peduli.
Yang dia pedulikan adalah, semua buku-buku yang ada di sini, hampir semua yang membahas tentang sihir, ditulis oleh Alaris.
“Sialan, selain cantik, dia juga menulis buku sihir ini?” gumam Tereshia.
“Ini baru, aku belum pernah membacanya. ‘Qualtz; Implementasi Sihir Gelombang Dalam Pengguaan Peralatan Medis’, lalu ada buku lain ‘Tranq Sebagai Serum Anti-Sihir’, bahkan metode-metode ini belum sampai di perpustakaan kerajaan.”
“Memang dia sepintar itu?”