Penyair Lautan dan Penyair Daratan

Samudra
Chapter #13

Bab 13: Pertemuan Penyihir

Putri Selesia Certia Yormannkin (art by Samudra)

Alaris turun dari keretanya, dia disambut dengan ramah oleh para pelayan yang sedang menangani pertemuan penyihir ini. Tubuhnya terasa lelah, perjalanan dari kota Koral menuju kota Rayet seperti ini sangat melelahkan bukan karena waktu yang ditempuh, melainkan jalan yang tidak teratur.

“Kerikil sialan,” gumam Alaris dalam senyumnya yang begitu khas kepada para pelayan yang menyambutnya.

“Penyihir Alaris, selamat datang,” sambut seorang pelayan yang mengenakan rompi berwarna merah, sementara yang lain berwarna hitam.

“Orang ini pasti penerima tamu,” gumam Alaris.

“Selamat siang, terimakasih sudah disambut.”

“Tak perlu berterimakasih, penyihir Alaris. Mari, kuantar menuju ruang pertemuan.”

“Hm,” Alaris mengangguk.

Pakaian Alaris tidak terlalu mewah, atau heboh, atau mencolok. Dia hanya mengenakan jubah yang biasa dia pakai untuk membaca di langit-langit Mercusuar, dengan kemeja berwarna merah, rok berwarna hitam, dan tentu saja dia membawa belati, tongkat sihir kecil, dan tas pinggang untuk sekedar dekorasi agar terkesan tidak ‘malas’ saat menghadiri pertemuan ini.

Alaris dituntun menuju ruang utama gedung pertemuan ini, ada banyak sekali orang-orang yang berjalan keluar-masuk dari pintu kecil di samping pintu utama, mereka hanya para pelayan yang sedang bekerja.

Selain para pekerja yang berjalan keluar-masuk, ada beberapa wartawan yang sedang menanyai berbagai macam pertanyaan kepada penyihir-penyihir terkenal yang sudah tua dan rapuh.

Sebagian besar dari mereka menanyakan apa yang sedang dikerjakan oleh penyihir setua mereka, sisanya hanya pertanyaan basa-basi.

“Selamat siang, penyihir Alaris,” kata seorang wartawan yang sedang bersama wartawan lainnya.

“Selamat siang, tuan-tuan,” Alaris mengangkat roknya sedikit tanpa menundukkan kepala.

“Perkenalkan, penyihir Alaris. Nama saya adalah Freharau, ini Erlyan, dan ini Nargi,” katanya memperkenalka diri sambil membungkuk.

“Maaf mengganggu waktumu, penyihir Alaris. Tapi bersediakah penyihir Alaris diwawancarai oleh kami? Tidak lama, sebentar saja.”

Alaris menoleh kepada si penerima tamu, dia kemudian mengangguk sambil melipat kedua tangan di belakang pinggangnya, lalu berdiri tegap sambil menunggu Alaris.

“Baiklah, silakan,” Alaris bersedia.

“Terimakasih, penyihir Alaris. Sebelum kami mulai bertanya, kami ingin tahu terlebih dulu tentang kabar penyihir Alaris yang ditugaskan di bagian selatan,” katanya.

“Oh, pria sopan,” gumam Alaris.

“Ahaha, terimakasih. Aku baik-baik saja, tidak ada persoalan sulit, hanya mengganti kristal Mercusuar, melakukan penelitian, dan olahraga rutin,” jawab Alaris.

“Kami lega setelah mendengar penyihir Alaris baik-baik saja di selatan,” katanya sambil melirik kawannya yang sedang menulis dengan pena yang sudah diberi tinta.

“Apa yang sedang penyihir Alaris teliti di selatan?” tanyanya lagi.

“Tidak banyak, hanya sihir untuk kehidupan sehari-hari, tentang bagaimana cara menghitung, dan cara membagi,” jawab Alaris sambil tersenyum lebar.

“Apa kami boleh tahu secara spesifik?” tanya si pria.

“Sayang sekali.”

“Ah, kalau begitu-“

“Bisa kita akhiri saja? Aku sudah terlalu lelah berdiri, perjalanan dari selatan membuat tubuhku pegal.”

“Ah! Ya, ya, maafkan kami, penyihir Alaris. Kalau begitu, kami undur diri.”

“Baiklah, sampai ketemu lagi.”

Alaris melambaikan tangannya yang kurus kepada para wartawan itu, sambil berjalan masuk dengan dituntun oleh penerima tamu, dia mendapatkan penghormatan dari orang-orang non-penyihir yang datang untuk mengikuti pertemuan.

“Siapa mereka? Kalau dilihat dari penampilan, mereka ini, itu, apa? Aku lupa,” gumam Alaris sambil mengingat-ingat siapa mereka.

Tubuh mereka kebanyakan kekar, mereka mengenakan baju seragam dengan gambar bendera kerajaan Indurgana di bagian depan, dan sayap di bagian belakang. Setiap dari mereka membawa pedang panjang bermata dua di pinggang mereka, Alaris jelas tahu identitas mereka.

Tapi dia lupa, dan semuanya tertulis jelas di wajahnya yang sedang berpikir hingga alisnya bertautan.

“Penyihir Alaris, ada masalah?” tanya si penerima tamu.

“Ah, aku lupa orang-orang ini siapa,” jawab Alaris dengan jujur.

“Oh, mereka Valkrye. Yang paling elit dari yang elit di seluruh kota Rayet.”

“Ah! Itu dia. Valkrye. Memang sedang ada apa mereka berkumpul di sini bersama penyihir?” tanya Alaris sambil terus berjalan.

“Sebaiknya pertanyaan itu disimpan sampai nanti, penyihir Alaris. Aku yakin penyihir Alaris tahu bahwa mendengar lelucon sebelum lelucon dilontarkan, maka lelucon itu tidak akan lucu,” jawab si penerima tamu dengan percaya diri.

“Ahahaha, kau benar. Darimana kau punya keberanian untuk bicara seperti itu padaku?” tanya Alaris.

“Penyihir Alaris, dengan segala hormat, kami para penerima tahu jelas tahu siapa yang akan datang, jadi tidak mengherankan apabila pekerjaan kami sebagus ini.”

“Ahaha, percaya diri sekali.”

“Terimakasih.”

Keduanya berbelok ke kiri, koridor ini menuju ke pinggir aula, dan adalah pintu untuk para tamu. Pintu utama yang ada di tengah-tengah koridor khusus untuk raja, ratu, menteri, dan pejabat kerajaan lainnya.

“Terimakasih.”

“Sudah menjadi pekerjaan kami.”

Penerima tamu itu pergi, meninggalkan Alaris sendirian di tengah-tengah kerumunan orang-orang yang tidak dia kenali. Eh, sebenarnya ada beberapa orang yang dia kenal di ruangan ini, walaupun tidak akrab dan hanya mengetahui mereka dari buku-buku yang dia baca.

“Sudah berapa lama aku di sini?” gumam Alaris dalam hati.

“Jika mengikuti instingku, matahari sudah seperempat hari ketika aku pergi. Lalu saat ini sudah tengah hari lebih sedikit. Kalau kubagi, mungkin ini sudah setengah dari sehari?”

Seorang pelayan berjalan berkeliling membawa nampan, dia menawari Alaris segelas minuman.

“Silakan, penyihir,” katanya.

“Oh, maafkan aku,” Alaris kaget, dia mengambil segelas kecil anggrek dingin.

“Terimakasih.”

“Katakan bila ingin lagi, penyihir.”

Dia pergi, Alaris kembali berpikir setelah meminum anggrek dinginnya sedikit.

“Jika ‘besok’ itu terjadi ketika matahari terbit, dan sebuah hari berakhir sebelum tidur, lalu tengah hari adalah matahari yang tepat berada di tengah. Maka, dalam sehari ada satu siang, dan satu malam.”

Alaris memikirkan prinsip pembagian waktu yang sudah diketahui orang-orang kebanyakan. Mereka tahu bahwa sebuah hari akan berakhir saat mereka tidur, dan sebuah hari dimulai ketika mereka bangun.

Namun, kebanyakan orang tidak memperhatikan tentang ‘tengah hari’, ‘setengah hari’, ‘terbit’, ‘terbenam’, dan lainnya.

“Kalau matahari dijadikan pedoman waktu saat siang, maka bagaimana dengan malam? Lain dengan matahari yang terbit dan terbenam, bulan selalu berada tepat di atas belakangan ini. posisinya acak.”

“Bagaimana ini?”

Alaris berhenti berpikir, dia bukan tidak ingin memberi beban pada otaknya yang cemerlang, namun dia tidak bisa memikirkannya saat ini.

Karena orang-orang sedang bertepuk tangan, mereka menyambut pintu tengah yang terbuka. Maksudku, bukan pintunya, tapi orang yang berjalan masuk melalui pintu itu.

“Sambutlah, ratu kerajaan Indurgana, ratu Ilyana Certia Yormannki,” kata seseorang yang berada di tengah-tengah panggung besar.

Karpet merah yang sedari tadi tidak diinjak itu kini sedang dipijaki berulang-ulang oleh sang ratu, pengawalnya, pangeran, dan para menteri.

Orang-orang bertepuk tangan dengan kehadiran mereka di ruangan ini, meski tanpa raja dan putri yang mendampingi mereka, tidak ada masalah yang serius. Orang-orang percaya bahwa raja sedang mengurusi pekerjaan lain, demikian pula dengan sang putri.

“Selamat siang,” kata sang ratu sambil terus melambaikan tangannya dengan penuh senyum yang normal.

Begitu juga dengan sang putri, beliau terus melambai hingga beliau dan ibunya tiba di panggung.

Semua tepuk tangan terhenti ketika ratu mengangkat tangan kanannya setinggi pinggang dari bawah, dia sedang meminta perhatian semua orang yang ada di aula ini.

“Wahai rakyatku, dengan diriku berada di sini tanpa raja kalian yang sedang berada di utara, aku akan menyampaikan berita penting yang akan langsung kukatakan saat ini juga.”

Sang ratu menurunkan tangannya, orang-orang tidak bereaksi apapun selain menegang dengan rasa khawatir. Entah itu berita baik atau buruk, keduanya pasti akan berimbas pada rakyat, termasuk mereka.

Lihat selengkapnya