Kapal Fregat Lunari (art by Samudra)
Matahari telah menurunkan ketinggiannya, tanda bahwa tengah hari telah usai, kini waktu sedang menuju senja, lalu malam, lalu subuh, begitu seterusnya sejak manusia eksis di bumi yang penuh dengan misteri ini.
Misteri tentang waktu, tentang rasa, cipta, karsa, meski orang-orang tidak tahu apa itu karsa, namun mereka tahu tentang sebuah ‘keinginan’, itu disebut karsa oleh orang kuno, yang kini tidak lagi tahu apa artinya karena tenggelam oleh jaman.
Sebagian kecil misteri terkuak, satu demi satu terungkap dan menampakkan jati dirinya. Mereka hanya secuil dari tak terhingga, seperti buih di lautan, seperti pasir di pantai, seperti bintang di langit. Kau pernah menghitung mereka?
Mengesampingan misteri tak terhingga lainnya, kini Rudolf hanya ingin mengetahui kebenaran di balik sebuah misteri yang baru saja datang menghampirinya.
“Kenapa Alaris mengirim surat padaku?”
Jawabannya sebenarnya jelas, Alaris merindukannya, dia ingin berpamitan untuk pergi ke medan perang selama beberapa bulan, dan dengan kekosongan pengurus Mercusuar di kota Koral, juga kekosongan posisi penyihir bangsawan, penyihir lain akan datang untuk mengurus Mercusuar dan juga mengabdi sesuai dengan perintah raja.
“Bisa tolong letakkan saja di kotak surat itu? Pekerjaanku selesai sebentar lagi.”
“Di sini saja? Baiklah.”
Kusir yang disuruh mengirimkan surat pada Rudolf itu menuruti permintaan Alaris untuk mengantar surat dengan biaya, kini dia memasukkannya di kotak surat.
“Kalau begitu, aku permisi dulu,” katanya.
“Hati-hatilah,” jawab Rudolf.
Kusir itu pergi, Rudolf kembali melayani tamu.
Kring
“Permisi, tuan Rudolf.”
Dermond masuk bersama dengan kawan-kawannya, mereka menggunakan peralatan lengkap.
“Oh? Silakan masuk.”
“Penyihir Alaris tidak ada di Mercusuar, apa beliau sedang pergi ke suatu tempat?” Dermond bertanya sambil berjalan masuk, Tereshia dan Rithe terlihat sedang berusaha tidak memandang Rudolf.
“Oh, dia mungkin sedang pergi. Kalian pergilah ke gudang Mercusuar, aku akan pergi ke sana nanti.”
“Begitukah? Baiklah. Oh, aku pesan sekantung roti dan daging ikan.”
Dermond mengeluarkan uang sejumlah 60.000 Zeni, Rudolf menerima uang itu dan mengembalikan 4.000 Zeni.
“Hei, kudengar Rithe membuat kekacauan?” tanya Rudolf.
“A-a-a-a-a, aku, aku tidak-“
“Hahaha, gosip beredar seperti kentut, cepat sekali, ya?” komentar Yutran.
“Hihihi,” Tereshia menahan tawa.
“Jadi, yang kudengar, kau mengalahkan seorang pria besar seperti Dermond, lalu bertemu Alejandra?”
“Yap, memang seperti itu kejadiannya,” jawab Dermond.
“Bukan seperti itu! Huh!” Rithe cemberut.
“Hah? Memang apa yang salah? Kau mengalahkannya, ‘kan?” tanya Yutran.
“T-tapi kalian mengatakannya seolah aku yang jahat,” jawab Rithe.
“Memang bagaimana kejadian sebenarnya?” tanya Tereshia.
“A-aku dituduh mencuri dompet, ta-tapi ini milikku, dia menuduhku mencuri dompet darinya, lalu kami bertengkar,” kata Rithe.
Kepribadian Rithe di kedai Rudolf dan di kedai tempat dia ‘berpesta’ benar-benar terbalik, waktu di sana, dia seperti macan yang mengaum, sementara di sini, dia seperti kucing rumahan.
Pekerja keluar dari dalam, dia membawa sekantung roti dan daging pesanan Dermond.
“Lalu bagaimana menurutmu?” tanya Rudolf.
“Tentang kota ini?”
“Tentang Alejandra.”
“Um, bagaimana aku mengatakannya? Hmm,” Rithe terlihat sedang berpikir keras, dia memegangi dagunya seperti kebanyakan orang.
“Menawan?”
“Serius? Itu komentarmu setelah melihatnya secara langsung?” Yutran tidak percaya.
“Kudengar dia mematahkan hidung orang itu dengan memukulinya menggunakan silang pedang. Lalu dia menjatuhkan hukuman dengan memotong kedua tangannya hingga pundak, padahal menurut undang-undang, hukuman bagi pencuri hanya sekitar 2 hingga 8 tahun penjara,” kata Dermond.
“Tapi dia memutuskan berbagai hal seenaknya, seperti dia yang punya hukum,” lanjutnya.
“Meski begitu, kota ini sangat aman karena dia. Pemotongan tangan biasanya dilakukan secara publik, jadi orang-orang akan tahu apa yang sedang mereka hadapi jika melanggar aturan,” kata Rudolf.
“Lagipula, adipati Yuhana menyetujui cara kasar Alejandra. Jadi kami tidak bisa berbuat apapun selain mematuhinya,” lanjutnya.
“Kalau begitu, kami senang bisa mampir untuk bertugas di kota aman ini,” jawab Dermond, lainnya mengangguk.
“Ini kantung roti dan dagingmu.”
“Terimakasih.”
Dermond dan kawan-kawannya berjaan keluar, Rithe dan Tereshia melambai sebelum menghilang dari balik pintu.
“Rudolf, sepertinya sudah selesai,” kata Trevor, dia baru keluar dari dalam dapur.
“Benarkah? Kalau begitu, aku pergi duluan.”
“Berhati-hatilah, kau tidak tahu apa yang menunggu di lautan.”
“Terimakasih.”
Rudolf meninggalkan meja depan, dia pergi ke dapur untuk mencuci tangan, lalu pergi ke depan untuk mengambil surat dari Alaris.
Setelah itu dia pergi.
“Tuan Rudolf pergi melaut?” tanya salah satu tamu.
“Iya, kau tidak bersiap? Mana kawan-kawanmu?” tanya Trevor.
“Oh, kami tidak melaut hari ini, menurut jadwal, kami akan melaut baru lusa.”
Sementara mereka bercakap-cakap, Rudolf sudah tiba di Mercusuar, dia mendengar suara Dermond dari gudang di sebelah, jadi dia tinggalkan gudang lalu masuk begitu saja ke Mercusuar.
“Aku datang,” kata Rudolf memberi salam.
“Oh, aku lupa. Dia tidak sedang di sini,” gumamnya.
Rudolf duduk di meja kerja Alaris yang penuh dengan tumpukan buku, lalu mengambil pisau kecil khusus untuk membuka kop surat agar tidak berantakan. Setelah membuka kop suratnya, kini Rudolf bisa membaca isi suratnya.
Jika kau sedang membaca surat ini, mungkin kau sedang berada di atas kursi dengan pemotong kop surat, hahaha, aku bisa membayangkannya.
Mulai hari ini, aku akan meninggalkan Mercusuar. Aku akan pergi ke utara untuk menangani beberapa ancaman negara sesuai perintah ratu, dan mungkin aku akan ditempatkan di pasukan perintis bersama para Valkrye.
Aku akan sangat merindukanmu, bahkan jika kau mungkin tidak. Tak mengapa, kau mengingatku saja aku sudah sangat senang.
Aku mungkin tidak akan kembali selama beberapa bulan, atau mungkin beberapa tahun. Ada pula kemungkinan aku akan gugur ketika berhadapan dengan mereka.
Sejujurnya, aku takut.
Aku takut kehilanganmu, aku takut kehilangan diriku, aku takut semuanya akan menghilang dalam sekejap mata, mungkin ketika aku sedang merapal, aku akan dimatikan duluan oleh orang yang lebih ahli dariku.
Tapi jangan khawatir, aku akan kembali, aku akan menemuimu dan mencurahkan segalanya dariku padamu.
Aku tahu kau tidak akan menyambutku seperti biasa, aku tahu kau hanya akan bersikap dingin seperti musim dingin, tapi aku tetap akan datang padamu hingga kau menyambutku dengan dingin yang hangat, khasmu.
Mungkin jika aku jadi ratu, kau akan mempertimbangkan cintaku padamu?
Tulislah surat untukku, aku akan berada di utara, tepatnya di medan Fhrein. Surat itu akan sampai mungkin selama seminggu kemudian.
Aku akan menunggu diriku di Mercusuar bersamamu, juga suratmu yang akan datang nantinya.