Penyair Lautan dan Penyair Daratan

Samudra
Chapter #15

Bab 15: Kedua Medan Darah (2)

Kristin Dekrosis (art by Samudra)

Alaris sedang berada di gedung serikat, dia secara resmi telah ditempatkan di pasukan perintis yang akan pergi ke utara dalam 2 hari lagi melalui jalur dagang Rayet-Priyana. Rencananya, dia akan pergi bersama pasukan perintis lain yang saat ini sedang direkrut melalui sekolah-sekolah dan asosiasi lain.

Di kota Rayet, ada sekolah khusus penyihir di bawah naungan adipati Yuhana Damian. Lulusannya adalah para penyihir yang tersebar di seluruh kerajaan. Sebagian besar dari mereka pergi melaut, ada dari mereka yang malah pergi ke ladang atau menjadi petualang. Sisanya menjadi prajurit kerajaan.

Mereka adalah penyihir standar yang bisa kalian temukan di manapun, hanya saja, mereka lebih ahli dan bukan ‘gelandangan’.

Sekolah itu bernama Torgan, dan saat ini, Alaris sedang menyeleksi para relawan dari perguruan tersebut yang ingin pergi ke medan perang.

“Siapa namamu? Dari mana asalmu?” tanya Alaris dari balik meja.

“Durman Freharau, aku dari desa Grish,” jawabnya.

“Pria, umur 19 tahun, dan bahkan belum mampu mengidentifikasi lingkaran sihir tingkat 3, yang mana semua penyihir mampu melakukannya walau butuh waktu agak lama.”

Alaris meminum anggrek dari cangkirnya, seorang ajudan pria di belakangnya terlihat sinis memandangi pemuda di depan Alaris.

“Katakan padaku, Freharau. Sudahkah kau baca selebaran rekrutmen yang kami pasang di tiap dinding di kota?” tanyanya.

“Su-sudah,” jawabnya gemetar.

“’Perang sadis, gaji kecil, berkorbanlah demi kedamaian Indurgana dan demi kehormatanmu, para rakyat yang mulia’, apa aku salah?”

“T-tidak, semuanya benar,” jawabnya setelah mendengar isi selebaran yang diulang oleh Alaris.

“Kalau begitu, Freharau. Ceritakan padaku tentang bagaimana kau akan mampu bertahan hidup saat perang di utara? Kau sebenarnya bisa memilih ditempatkan di lini belakang, tapi kenapa di formulirmu, kau malah memilih pasukan perintis?”

“A-aku, aku ingin berkorban demi kerajaan dan daerah a-“

Brak

Pemuda itu terkejut saat Alaris membanting tangannya di meja.

“Kau sedang bercanda. Kau tidak akan bisa membela kerajaan jika kau mati bahkan tidak sampai sehari kau diberangkatkan. Kualifikasimu tidak memenuhi, kapasitasmu tidak memadai, dan dengan ini kau tidak akan diterima di pasukan perintis manapun.”

“Ta-tapi?! Aku, aku mohon, biarkan aku pe-“

“Tidak akan, aku yakin kerajaan masih membutuhkanmu untuk hidup dengan benar dan berkontribusi selagi kau bisa. Maka dari itu, jika kau mau, kau bisa ditempatkan di pasukan penyihir medis, lini belakang.”

“M-medis? Di lini belakang?”

“Paling tidak, kau tidak akan mati tanpa berkontribusi demi negara. Bagaimana?”

Pemuda itu terlihat senang, dia masih bisa pergi ke medan tempur walaupun ditempatkan di lini belakang sebagai penyihir medis.

“Baiklah, aku terima,” katanya.

“Ini suratmu, keluar lalu panggil yang berikutnya.”

“Baik.”

Dia menerima surat dari Alaris, lalu keluar ruangan dengan wajah yang puas.

“Itu tadi yang terakhir?” tanya ajudan di belakang Alaris.

“Ya, semua berkasnya akan dilanjutkan oleh penyihir Jeniva, ini sudah waktunya aku untuk beristirahat,” jawab Alaris.

“Oh, benar juga. Perekrutan menurut jadwal akan dimulai setelah matahari terbenam oleh penyihir Jeniva.”

“Kalau begitu, aku pergi dulu,” kata Alaris sambil berjalan menuju pintu keluar.

“Baik, penyihir Alaris.”

Alaris berbelok ke kanan dari pintu keluar, dia menuruni tangga selagi para penyihir lain sedang mewawancarai para relawan di ruangan yang lain. Dari tangga tersebut, dia bisa melihat semua orang di lantai pertama gedung serikat ini.

Banyak dari mereka sudah siap dengan peralatan lengkap sesuai dengan standar prajurit kerajaan, mereka berniat mengambil hati para atasan supaya mereka terlihat bisa diandalkan.

Zirah pelat, pelindung pundak dengan nama mereka terukir di sana, pelindung kaki, dan pelindung punggung dengan lambang kerajaan yang dicat dengan darah Ivoryus, seekor monster yang darahnya sangat kental dan lengket, cocok untuk lem, cat, atau keperluan lain seperti segel surat.

Alaris melewati semua orang yang ada di dalam gedung serikat ini, rencananya, dia akan pergi ke sebuah penginapan. Di kota Rayet, kau bisa menemukan puluhan penginapan dengan bermacam-macam harga, mulai dari yang termurah, hingga yang termahal.

Yang paling murah, adalah rumah bordil. Harganya hanya 700 Zeni untuk semalam, namun karena suara yang berisik saat malam, banyak orang tidak merekomendasikan rumah bordil untuk menginap.

Karena hal itu, Alaris memutuskan pergi ke penginapan Lilya Perungu. Penginapan itu ada di ujung jalan ini, dan Rudolf merekomendasikannya sekali waktu ketika dia berada di kedainya.

Kurang lebih satu atau dua tahun lalu, ketika malam hari, saat Alaris sedang senggang di kedai Rudolf.

“Kau tahu? Aku menginap di tempat yang amat buruk beberapa hari lalu,” kata Alaris yang sedang duduk di kursi tinggi dekat meja Rudolf.

“Kota mana?” tanya Rudolf sambil mengeringkan gelas dengan kain.

“Kota Rayet, ugh, mengingatnya saja membuatku trauma.”

“Apa yang terjadi?” Rudolf tersenyum pada tamu yang baru masuk, mereka hendak menemui teman-teman yang sudah datang duluan di ujung meja.

“Kasurnya keras, kamarnya sempit, banyak serangga di langit-langitnya, dan selimut yang membuatku gatal-gatal. Mereka bahkan membiarkan ruangannya dingin. Aku tidak bisa tidur semalaman.”

“Yang kau maksud di kota Rayet itu, apakah penginapan Rosewood?”

“Ah, benar. Bagaimana kau bisa tahu?”

“Aku terpelajar.”

“Hmm? Tumben. Biasanya, kau akan memasang wajah percaya diri sambil berkata, ‘Bahkan laut punya rahasianya sendiri,’ begitu,” kata Alaris sambil meniru wajah Rudolf ketika dia mengatakan hal itu.

“Hahaha, aku akan melakukannya sekali waktu,” jawab Rudolf.

“Lagipula, kalau kau ingin menginap di Rayet, pergilah ke penginapan favoritku,” lanjutnya sambil meletakkan gelas kesekian yang dia keringkan.

“Ada di mana?” tanyanya.

“Seingatku, penginapan itu ada di jalan Rotanmay, nomor 32. Kalau kau tidak tahu jalan itu, tanya saja lokasi penginapan Lilya Perungu.”

“Lilya Perungu? Aku baru dengar ada nama penginapan seperti itu di Rayet,” Alaris mengernyitkan dahinya.

“Memang tidak terkenal, tapi mereka sangat baik. Kamarnya tidak luas, tapi cukup. Para pengurusnya ramah, kondisinya bersih, lebih dari itu, kau harus membayar lebih untuk makananmu.”

“Hmm,” Alaris manggut-manggut.

“Seperti kamar biasa penduduk kota ini?” tanyanya.

“Entahlah, itu kamar yang normal untukku. Aku belum pernah melihat kamar orang lain di kota ini.”

“Aha? Kukira kau seorang perayu handal yang bisa menyelinap masuk ke kamar setiap wanita, Rudolf-nara,” kata Alaris sambil mengembangkan senyum jahilnya.

“Hentikan, aku tidak akan menyelinap dan memperkosa siapapun.”

“Ahahaha!”

“Bayar tagihanmu, lalu tidurlah di Mercusuar.”

Setelah sedikit menggoda Rudolf, dia pergi ke Mercusuar, lalu tidur seperti yang disuruh oleh Rudolf.

“Lilya Perungu, kalau menurut ingatanku tentang hari itu, dia ada di dekat sini,” gumam Alaris sambil terus berjalan.

Ada beberapa pasang mata yang memandangi Alaris dengan liar, Alaris menghiraukan mereka dan kini, dia sedang berada di depan penginapan Lily Garda.

“Lily Garda?” tanyanya dalam hati.

“Atau aku salah alamat?”

Alaris menoleh ke kiri dan kanan, tidak ada orang yang bisa ditanyai kecuali mereka yang sepertinya sibuk dengan urusan masing-masing tanpa memedulikan Alaris yang kebingungan. Satu-satunya yang bisa dia lakukan untuk saat ini adalah, bertanya.

Tapi kepada siapa?

Alaris melihat seorang pria yang tampaknya sudah tinggal lama dan sedang duduk di pinggir jalan sambil merokok santai, dia sedang memegangi botol alkohol di tangan kirinya, dan penampilannya sangat berantakan.

Kau ingat tentang bagaimana pengemis berpenampilan? Ya, pria ini tampak persis seperti itu.

“Permisi, apa kau pernah dengar penginapan Lilya Perungu?” tanya Alaris tanpa memedulikan penampilan pria tersebut.

Pria itu mengangkat kepalanya, wajahnya yang penuh bekas luka dan sedikit darah dari luka baru membuatnya tampak seperti kriminal yang harus segera ditahan.

Lihat selengkapnya