Rudolf bites the Siren while his feet stucked in roots (art by Samudra)
Rudolf duduk di pasir, walau kondisi pasirnya kotor dengan kerikil kecil dan sampah alami; daun, rumput laut, dia tetap memilih duduk di pasir daripada di karang yang tajam.
Di kondisi seperti ini, dia masih mendengar suara-suara Alaris.
“Bagaimana kondisimu?” tanya Alaris dalam kepalanya.
Cara penyampaian suara seperti ini tidak asing, dia pernah mengalaminya.
“Aku baik-baik saja, kau ada di mana?” tanya Rudolf, mencoba mencari tahu bagaimana suara Alaris bisa ada dalam kepalanya.
“Aku ada di Lilya Perungu,” jawabnya.
“Oh, pantas saja aku bisa mendengar suaramu di kepalaku. Bagaimana penginapan yang kusarankan?”
“Ajaib, Rudolf-nara. Aku berada di hamparan rumput dengan ranjang dan dirimu di sampingku,” jawab Alaris.
“Bisa kau jelaskan kenapa Lilya Perungu seperti ini?” tanya Alaris.
“Penginapan itu adalah akar, Aquaria. Milik dewi Haith, yang akan mendengar semua, …”
“Keluh kesahmu,” jawab Rudolf sambil membuka tangannya dan memunculkan botol anggrek.
“Tapi, Rudolf-nara. Ini terlalu, apa ya? Terlalu.”
“Luar biasa?” Rudolf membantu memilihkan kata sambil menuangkan anggrek ke dalam gelas.
“Ya, luar biasa. Aku jadi berpikir, kenapa orang-orang di kota tidak menginap di Lilya Perungu?” tanya Alaris sambil meminum anggreknya.
“Lilya Perungu hanya, …”
“Memilih manusia yang baik hatinya, bersih niatnya, dan suci hidupnya. Jika tidak, maka seseorang yang baik, bersih, dan suci harus merekomendasikan orang itu. Hal ini berlaku pada orang kotor dan berdosa yang ingin bertobat,” jawab Rudolf sambil menghirup udara beraroma asin di pinggir pantai.
“Apa itu berarti kau adalah orang suci, Rudolf-nara?”
“Mana mungkin. Aku tahu Lilya Perungu dari seorang pendeta di gereja Amrith. Aku tidak sebaik yang kau pikirkan, Aquaria.”
“Lalu aku?”
“Aku yakin seekor kucing memberikanmu kunci setelah kau mengatakan sesuatu tentang dari mana kau tahu Lilya Perungu,” kata Rudolf.
“Ah, kau benar. Tapi, apa semua orang akan mendapatkan hal yang sama? Ketika mereka masuk ke dalam Lilya Perungu?” tanya Alaris melalui kepalanya.
“Tidak, itu mengapa tidak banyak orang tahu tentangnya. Ketika kau masuk, kau mendapatkan kamar dengan hamparan rumput luas. Waktu itu, aku mendapatkan lautan tengah malam yang cerah, penuh bintang, dan bulan purnama,” jawab Rudolf sambil mengingat masa lalu.
“Kalau begitu, kau berada di pantai?”
“Aku berada di atas air. Aku bisa berjalan di atasnya, dan ada seseorang yang telah meninggalkanku hadir di sampingku.”
Alaris mulai cemburu, sepertinya adalah seorang wanita, jadi dia tanya kepada Rudolf yang ada di depannya ini.
“Jadi, apa dia seseorang yang kau cintai?” tanya Alaris.
“Tidak, aku mengaguminya. Dia telah tiada,” jawab Rudolf.
Rasa cemburu Alaris berganti dengan rasa bersalah.
“Maafkan aku, aku tidak tahu,” katanya.
“Tidak, …”
“Masalah, Aquaria,” jawab Rudolf dari pinggir pantai.
Saat ini adalah malam, Rudolf tidak tahu tempatnya berada secara spesifik. Namun dia hanya bisa menunggu lebih malam untuk melihat bintang dan melihat lokasinya ada di mana, supaya dia bisa kembali.
“Tidurlah, Aquaria. Mintalah aku yang ada di sana untuk menceritakanmu kisah sebelum tidur, aku akan menunggu bintang malam, lalu pergi dari sini,” kata Rudolf sambil berdiri.
“Baiklah, aku akan menunggumu kembali. Jangan sampai kau kembali dengan tangan menyilang di dadamu, atau hanya pakaianmu yang kembali,” kata Alaris.
Tangan menyilang di dada adalah tanda bahwa seseorang telah meninggal dan akan dimakamkan jika tidak dikremasi.
“Tenanglah, aku akan kembali ke rumahku,” jawab Rudolf.
“Yang ada di dekat kedai?”
“Itu hanya tempat tidur, rumahku ya kedai Ursa. Mampirlah ketika, …”
“Aku kembali,” kata Rudolf dengan senyum lebarnya kepada Alaris.
Alaris tersenyum, dia merasa agak tenang.
“Terimakasih,” jawabnya, lalu berbaring.
Rudolf mencium dahi Alaris sekali lagi, menungguinya hingga tertidur, sama halnya dengan Alaris, menatap wajah orang yang dicintainya hingga tertidur lelap, nyenyak dalam kamar Lilya Perungu.
Berbeda dengan Rudolf yang kini berjalan menuju hutan, dia harus tahu lingkungan di sekitarnya, dan mengantisipasi apa saja yang akan terjadi nantinya. Untuk saat ini, dia akan mencari sesuatu yang paling dasar untuk bertahan hidup; sumber air.
Mata air, sungai, kolam, danau, terserah. Yang jelas, bukan air asin.
Lagipula, tidak ada jaminan bahwa tidak ada hewan buas di hutan ini, jadi Rudolf berusaha mengantisipasinya dengan mengeluarkan pedangnya, dan menyusuri hutan.
Sambil berjalan, dia berusaha mengingat-ingat bagaimana dia bisa selamat dari Lunari. Seharusnya dia mati saat itu, namun pikiran negatif di pikirannya terus bermunculan.
“Apa yang lain selamat? Dermond? Corat? Yutran dan yang lain? Apa Kristin masih hidup? Yah, dia kapten Lunari, akan sulit untuk membunuhnya,” pikir Rudolf sambil terus berjalan.
“Lalu bagaimana aku bisa sampai sini?” tanyanya dalam hati.
Rudolf terus mengingat-ingat tentang kejadian yang membuatnya terdampar di tempat yang tidak dia ketahui ini, sambil terus berjalan, hingga menemukan sungai.
Rudolf mendekati sungai itu, lalu mencelupkan tangannya dan mencoba rasa airnya.
“Payau,” gumamnya dalam hati.
Jika payau, Rudolf harus pergi ke arah yang berlawanan dengan arus air, agar airnya tidak lagi terasa asin dan lebih mudah diolah. Air Payau mengandung sedikit garam, tidak akan bagus untuk agrikultur.
Rudolf terus berjalan, dia juga mengamati pepohonan yang ada di sekitarnya. Benar-benar sebuah lingkungan di mana pepohonannya sangat teratur. Maksudnya teratur, adalah semua pohon tumbuh dengan tidak terlalu lebat, tidak terlalu jarang, sangat pas.
Hal ini membuat hutan tidak gelap walaupun malam, sinar yang jatuh dari rembulan membuat Rudolf tidak kesulitan berjalan walau tanpa obor. Dan di jalan yang dia tapaki, tumbuh rumput.
Tumbuhnya rumput di dalam hutan sangat penting, hal ini akan mencegah longsor dan memperkuat tanah, juga dapat menjaga jumlah air tanah. Jika pepohonan tumbuh lebat, sinar matahari tidak akan masuk dengan sempurna, membuat rumput sulit tumbuh.
Dan hal ini berurusan dengan campur tangan manusia bijaksana.
Rudolf berhenti berjalan, dia mencapai sebuah titik di mana dia harus mencicipi air sungainya. Dan ternyata airnya masih sedikit payau, agak samar, namun tetap payau. Rudolf memutuskan untuk berjalan lebih jauh.
Sudah agak lama dia berjalan, dia tidak tahu pasti berapa lama, namun firasatnya berkata bahwa waktu yang dia habiskan dari pantai ke sini adalah 3 pesanan ikan bakar yang sedang dimasak.
Selama itu pula, Rudolf menyadari sesuatu yang aneh dengan sungainya. Arusnya semakin tenang, bahkan suara percikan airnya nyaris tidak terdengar.
Penasaran dengan hal ini, Rudolf mendekati sungai untuk memeriksanya. Dan yang temukan sangat tidak terduga.
Cahaya datang dari dalam air.