Alaris Aquaria with her hair tied by Rudolf at Lilya Perungu (art by Samudra)
“Kurir Dirsan, bawa pesan ini ke serikat di setiap kota; merekrut seluruh regu laut yang memiliki kapal fregat untuk bertempur di lautan melawan Rigen, dan merekrut seluruh penyihir nelayan yang ingin bertempur. Bayarannya 20 keping emas untuk setiap regu laut yang memenuhi kualifikasi, dan 10 keping emas untuk penyihir nelayan yang memenuhi kualifikasi. Kualifikasinya, ada di gulungan itu,” kata Hazel sambil menunjuk gulungan dengan pita biru.
“Segera, tuan putri. Aku akan pergi sekarang juga,” katanya sambil berjalan keluar.
“Berhati-hatilah, kau tidak ingin disergap. Bawa beberapa pengawal dengan bendera Indurgana denganmu!” perintahnya.
“Siap!”
“Yang mulia, tindakanmu benar-benar nekat, bagaimana bila kita dibantai setelah Rien ditembus?” tanya Marsikal Zodan.
“Jika kita kalah, ya kalah. Namun jika menang, kita bisa langsung menekan mereka agar tidak menyerbu negara kita.”
“Tapi, yang muli-“
Brak
Hazel menghantamkan kepala Marsikal Zodan ke meja, membuatnya merasa pusing setelahnya.
“Aku senang dengan pendapat saat diskusi, tapi aku benci dengan pemaksaan pendapat.”
“Maafkan aku, yang mulia.”
“Seperti yang sudah kujelaskan tadi,” Hazel mengambil pena dan mencelupkannya ke dalam tinta.
“Kita akan menyerang dari laut menggunakan semua kapal fregat yang kita temukan, lalu memborbardir medan Rapo, namun sebuah meriam tidak akan bisa menjangkau seluruh medan Rapo. Yang berarti, kita membutuhkan umpan pasukan untuk ditempatkan di dekat pantai.”
“Berada di pantai? Itu akan membatasi pergerakan mereka, membuat mereka tidak punya pilihan lain selain maju, berenang dengan zirah hanya akan membuat seseorang tenggelam,” kata Marsikal Yerma.
“Itu yang akan membuat mereka menjadi pasukan umpan yang sempurna. Kita akan memancing mereka hingga sampai ke dekat pantai, dengan itu, meriam dari kapal bisa menyerang mereka setelah diperkuat dengan sihir,” kata Hazel.
“Memperkuat meriam dengan sihir?”
“Kau ragu, Marsikal Zodan? Para pelaut selalu membawa penyihir bersama mereka ketika melaut, namun kita, Kesatria, Ranger, dan Valkyrie, mengabaikan sihir karena lamanya perapalan mantra.”
“Lalu, yang mulia. Setelah kita menyerang mereka dengan meriam, apa yang akan kita lakukan?” tanya Marsikal Harna.
“Kita akan mundur, membuat mereka berpikir kita hanya akan menyerang Rapo. Setelah itu, aku akan mengandalkan Kesatria dan Valkrye untuk bertarung mempertahankan garis pertahanan. Lalu armada lautnya, …”
Hazel tersenyum sinis.
“… berlayar menuju ujung kerajaan Rigen, dengan seluruh Ranger dan penyihir elit, lalu menyerbu Rigen dari dua arah.”
Semua Marsikal melongo, mereka tidak pernah memikirkan rencana ini sebelumnya.
“Tapi, kapal fregat dengan seluruh muatan itu, akan lambat. Tidak mungkin kita bisa mencapai ujung kerajaan Rigen dalam waktu singkat, yang mulia,” kata Marsikal Urta.
“Bisa, makanya aku merekrut penyihir nelayan untuk menyihir kapal fregat agar melaju secepat angin di lautan.”
“Mereka akan ketahuan, yang mulia,” kata Marsikal Yerma.
“Tidak, karena mereka akan berangkat saat malam, dengan sihir kabut.”
Para Marsikal tidak bisa melawan strategi Hazel, dia terlalu mutlak untuk ditentang, mereka hanya bisa pasrah dan menuruti kemauan putri Hazel yang memiliki surat perwakilan resmi dari ayahnya, raja Firnatui.
Hazel mengangkat tangannya, lalu menjatuhkan tangannya seperti memberikan komando kepada pasukan berkuda, sambil berkata;
“Laksanakan misi.”
“Segera, yang mulia.”
Alaris terbangun dari tidurnya, dia masih berada di dalam Lilya Perungu, namun suasananya telah berganti. Seolah dewi Haith mendengar keinginannya untuk dibangunkan sebelum matahari terbit, namun cahayanya sudah mulai terlihat.
Ketika tidur, Alaris berada di hamparan rumput luas dengan angin lembut di sore hari, namun kini dia berada di tepi pantai dengan matahari terik. Pantas saja dia terbangun karena tidak nyaman.
Walau begitu, dia berterimakasih karena telah dibangunkan.
“Rudolf-nara? Apa kau masih di sana?” tanya Alaris sambil turun dari ranjangnya, dia masih mengenakan pakaian dalam yang kemarin.
“Aku di sini, Aquaria. Mencariku?” Rudolf muncul dari belakang, dia memeluk pinggang Alaris dengan lembut, dia mampu merasakan nafas Rudolf melalui tengkuknya.
Geli.
“Hm, aku sudah harus pergi,” Alaris berbalik, dia menatap wajah Rudolf yang cerah, sama seperti kemarin.
“Apa kau menemukan tempat tinggal? Atau membuatnya?” tanya Alaris sambil menghampiri pakaiannya yang digantung di ranting pohon dekat pantai.
Rudolf mendahului Alaris, dia mengambil pakaiannya dan mengangkat kedua tangan Alaris.
“Aku bertemu dengan orang baik, sepertinya penghuni pulau itu. Kau tak perlu khawatir,” katanya sambil memasangkan pakaian Alaris melalui tangan yang diangkat barusan.
“Hm,” Alaris mengangguk.
“Syukurlah kalau kau menemukan tempat berteduh untuk beberapa lama, aku akan pergi ke utara pagi ini, bersama dengan barang-barang yang dibawakan kurir ke gedung serikat.”
“Kau yakin tidak ingin mundur?” tanya Rudolf.
“Tidak, kau khawatirkan aku?” tanya Alaris.
“Hm,” Rudolf tidak menjawab, lebih tepatnya tidak tahu.
“Apa tujuanmu ikut berperang di sana?” tanya Rudolf.
“Untuk mendapatkan tahtaku, lalu menyatakan cinta sekali lagi padamu,” jawab Alaris dengan percaya diri.
“Kau yakin, Aquaria?” tanya Rudolf.
“Tentu saja, kau tidak akan bisa menolakku ketika kudapatkan tahtaku,” jawab Alaris.
“Pernahkah kau bertanya padaku, tentang wanita seperti apa yang kucintai?” tanya Rudolf.
Deg
“Benar juga, aku tidak pernah bertanya tentang preferensi wanita yang diinginkannya,” gumam Alaris.
“Belum?”
“Hm.”
Alaris menjawab hanya dengan gelengan, dia benar-benar belum bertanya wanita seperti apa yang disukai Rudolf.
“Aku, sebenarnya menyukai sifat seorang wanita yang, keibuan.”
“Keibuan?”
“Aku tidak punya ibu, kau tahu? Ayahku tewas di mulut monster laut, dan aku diasuh oleh pamanku hingga aku remaja, lalu mengikuti jejaknya sebagai pelaut, di atas Ursus Logitique,” kata Rudolf sambil menarik tali di punggung Alaris, lalu mengikat simpul sederhana agar tidak lepas.
“Ursus Logitique? Mengapa kau tidak cerita padaku tentang itu, Rudolf-nara?” Alaris berbalik, dia menunjukkan wajah yang sedih, ingin menangis, namun tertahan.
“Karena dia tidak ingin memberitahukannya padamu, setidaknya untuk sekarang,” jawab Rudolf sambil mengangkat bahunya.
“Lalu kenapa kau ceritakan hal ini padaku?”
“Karena Rudolf, saat ini, dia sedang tertidur. Jadi, aku bisa menceritakan hal ini padamu, selagi kau masih di sini.”
“Hmph, kalau begitu, wanita seperti apa yang kau sukai?”
“Yang sederhana.”
“Yang sederhana?”
“Ya, tidak berlebihan, tidak keterlaluan, tidak mewah, tidak miskin, hanya sederhana. Duduklah sebentar, kau terlihat kaku dengan itu,” Rudolf memunculkan kursi dari tangannya, dia menyuruh Alaris untuk duduk.
“Hm, baiklah,” Alaris mengangguk, dia duduk di kursi yang dimaksud Rudolf.
Rudolf mengeluarkan sisir, lalu mulai menyisir rambut Alaris.
“Rambutmu mulai memanjang, jika tidak diikat, ini bisa membuatmu mudah terbunuh di medan perang,” kata Rudolf.