Penyair Lautan dan Penyair Daratan

Samudra
Chapter #20

Bab 20: Medan Rien

Hazel Certia Yormannki (art by Samudra)

“Terkutuk, kalian.”

“Maafkan kami, kami sudah berusaha yang terbaik. Sudah kuperingatkan semua orang untuk melompat ke laut dan pergi den-“

“Diamlah, kau keparat.”

“…”

Trevor sedang bersedih, begitu pula para pekerja di kedai Ursa. Karena Rudolf ternyata tidak kembali dari laut bersama Kristin. Di sinilah Kristin, sedang berusaha menjelaskan alasannya dan mengemis maaf dari rasa kasihan yang dimiliki Trevor.

“Kau tahu keberadaan Rudolf sangat penting untukku, ku,” Trevor mengulangi kata ‘ku’ sambil menunjuk dadanya.

“Untuk para pekerja di sini, para pelaut, petani, penyair, penduduk, semuanya. Kau tidak tahu yang dia lakukan sebelum penyihir Alaris memintanya pergi ke laut. Jeannette, siapa yang mengirimkan donasi ke setiap panti asuhan setiap bulan?”

“Ah? Oh, Rudolf mengirimkannya ketika tengah malam,” wanita bernama Jeannette menjawab Trevor, dia yang mengurus salah satu panti asuhan di tengah kota Koral.

“Irsali, siapa yang menyuruhmu memasak ransum untuk para gelandangan setiap hari kamis?” tanya Trevor.

“Rudolf, walau sedikit ikan, tapi banyak sayurannya. Para gelandangan itu masih hidup sampai sekarang,” jawab pria bernama Irsali.

“Kupastikan semua orang di dalam kedai ini pernah merasakan kebaikan hati Rudolf, benar?”

Semua orang mengangguk, Kristin menunduk.

“Kau dengar itu, kapten? Keberadaan Rudolf di kota Koral itu seperti udara. Tanpanya, kita hanya bisa merasa sesak.”

“Maafkan aku, aku sangat bersalah, maafkan aku.”

Kring kring

“Siang! Aku pesan meja un, eh? Ada apa ini?”

Sekawanan petani yang biasa datang siang hari kebingungan ketika melihat kedai Ursa penuh dengan para penduduk dan pelaut yang sedang bersedih karena kehilangan Rudolf.

“Raffold, kedai hari ini tutup. Bisa kau pergi?” Trevor menyuruh Raffold untuk pergi.

“Eh? Ada apa?”

“Akan ada surat kabar besok, sekarang makanlah di kedai lain.”

“Oh, begitukah? Baiklah, kami pergi ke kedai lain.”

Sambil menjawab demikian, Raffold dan petani lain yang bersamanya pergi ke tempat lain tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada Rudolf.

“Melihat bagaimana Rudolf mampu bertarung, seharusnya dia masih hidup di suatu tempat,” kata Rithe.

“Kau sudah tahu tentang Rudolf?” tanya Trevor.

Semuanya mengangguk, namun tidak dengan para kru kapal Kristin. Hanya mereka yang cukup dekat dengan Rudolf dan sudah pernah melihat Rudolf bertarung dengan paus tutul di laut yang tahu tentang sejarah Rudolf bersama dengan Ursus Logitique.

“Kata-katamu ada benarnya, tidak mungkin Rudolf akan tewas begitu saja walaupun lawannya adalah Jurangau di palung Iza. Paling tidak, dia sedang dalam keadaan sekarat saat ini,” kata Trevor.

“Aku setuju denganmu, Rudolf tidak akan tewas semudah itu,” kata Tereshia.

“Aku tidak bisa menulis surat kepada penyihir Alaris tentang kondisi Rudolf saat ini. Walau begitu, kita tetap harus mengirimkan laporan perburuan Siren ini kepadanya. Aku tidak begitu pandai menulis laporan, bisa kau gantikan aku, gadis penyihir?” tanya Trevor.

“Maksudmu aku?” tanya Tereshia, mencoba memastikan.

“Ya, di antara kami semua, hanya kau yang punya pendidikan yang bagus, selain seni bertarung,” jawab Trevor sambil melirik Rithe.

“Akan kuusahakan menuliskan laporan perburuan ini,” kata Tereshia.

“Lalu, soal mencari Rudolf, mungkin sebaiknya kita serahkan kepada-“

“Aku bisa membantu mencari Rudolf,” seseorang memotong kalimat Trevor.

“Corat? Kau yakin? Bagaimana caranya?” Trevor ragu.

“Aku ingat dengan jelas, ada sekawanan ubur-ubur sedang bermigrasi ke tenggara, mereka sedang mencari perairan dingin. Itu berarti selain tenggara, semua perairan adalah perairan hangat. Paling tidak, di daerah selain timur, tenggara, dan selatan.”

Semua orang mendengarkan penjelasan Corat dengan seksama, mungkin saja dengan ini mereka bisa menemukan Rudolf kembali.

“Angin bergerak menuju tempat dingin, itu sebabnya kita berlayar sore hari, dan itu juga sebabnya kita harus mencari Rudolf di perairan tenggara,” lanjutnya.

“Bagus, kita sudah memperkecil wilayah pencarian, setelah ini, kita bisa langsung pergi,” kata Trevor.

“Tidak, kita tidak bisa pergi sekarang. Kita harus tahu garis arah perginya Rudolf. Karena jika tidak, kita akan butuh waktu selamanya untuk mencari Rudolf,” kata Trevor.

“Lautan itu luas,” lanjutnya.

“Dia benar, tapi kita tidak tahu ke arah mana perginya Rudolf,” kata Dermond.

“Kapalmu karam di mana?” tanya Trevor kepada Kristin yang masih berlutut.

“Um, aku tidak ingat. Seingatku, setelah kabur dari Lunari, kami bertemu dengan sekawanan paus tutul, itu berarti, …”

“Laut Barna, jika kapal karam kalian berada di palung Iza, itu berarti perbatasan laut Barna dengan laut Iza, di sebelah barat daya dari sini,” kata Trevor melanjutkan kalimat Kristin yang terhenti karena kebingungan.

“Laut Barna, di sebelah tenggara, itu berarti laut Nartisa,” kata Corat.

“Itu berarti, lurus dari laut Barna ke tenggara, lalu laut Nartisa, hingga laut Gungmar. Tapi, laut Gungmar kan sudah wilayah kerajaan Dirgasylve. Ada yang pernah pergi ke laut Gungmar?” tanya Trevor.

Semua orang diam.

“Seingatku, waktu aku kecil, aku pernah melintasi laut Nartisa bersama ayahku,” kata kepala kelasi.

“Oh? Kau tahu? Apakah hanya air yang ada di sana?” tanya Trevor.

“Ada, hm, sepertinya beberapa pulau kecil. Seperti pulau Tugir di timur laut,” jawabnya.

“Itu dia, kita akan mencari hingga ke pulau di Nartisa. Kristin, segera layarkan, ah,” Trevor menghentikan kalimatnya, dia lupa bahwa Lunari kini tidak ada lagi, hanya ada puing yang tersisa darinya, walaupun tidak berbentuk fisik, puing-puing Lunari ada di dalam hati mereka yang mencintainya.

“Aku tidak lagi punya kapal, Trevor,” kata Kristin.

“Kau benar, maafkan aku.”

“Hm,” Kristin menggeleng.

“Aku yang tidak bisa menjaga Rudolf dan membuatnya tewas tanpa ada yang tahu. Tidak seperti kru kapalku yang tewas, paling tidak, ada yang melihat mereka meleleh karena asam Jurangau,” kata Kristin menjelaskan.

“Kau benar, kematian seseorang tanpa ada yang melihatnya, tanpa mayat, tanpa bekas, seperti menghilang.”

“Ya, itu adalah yang terburuk.”

Suasana hening kembali menyelimuti seluruh isi kedai Ursa, kebanyakan dari mereka berpikir keras bagaimana caranya agar bisa melakukan misi pencarian Rudolf, hidup atau mati. Sebagian hanya ingin pulang dan tidur, namun tidak bisa karena pimpinan mereka sedang duduk berlutut di bawah kaki Trevor, supervisi Ursa, sekaligus mantan anggota Ursus Logitique, divisi meriam.

“Bagaimana kalau menyewa kapal fregat ke serikat?” tanya Yutran.

“Terlalu mahal, biayanya paling murah itu sekitar 8 juta Zeni, setara menjual daging 4 ekor Baringau,” tepis kepala kelasi.

“Kita tidak punya banyak pilihan, kapal serikat bisa kita pertimbangkan. Untuk sekarang, kita pikirkan jalan lain yang lebih mudah kita dapatkan,” kata Trevor.

“Aku setuju,” kata Rithe.

Yang lain mengangguk.

“Ini misi pencarian, kan?” tanya Tereshia.

“Ya,” jawab Trevor singkat.

Lihat selengkapnya