Penyair Lautan dan Penyair Daratan

Samudra
Chapter #21

Bab 21: 6 tahun kemudian

Sudah enam tahun, kerajaan Indurgana berada dalam perang intens tanpa henti. Enam tahun pula, Trevor tanpa henti-hentinya beralih pekerjaan dari tukang roti menjadi pelaut, hanya untuk mencari Rudolf yang tidak jelas kematiannya, kondisinya saat ini, apakah dia dimakan ikan buas, ataukah dia hidup sendirian di suatu tempat, entahlah.

Berbeda dengan Trevor, Alaris berada di masa-masa genting dalam hidupnya. Dia telah menjalankan 43 misi pembunuhan berencana dan penyergapan petinggi kerajaan. Semua 43 misi itu, sukses dilakukan olehnya, bersama dengan unit elit yang dibuat oleh Hazel. Dia kelelahan batinnya, berteriaklah dia ketika tidur, membuat kawan-kawan di unit yang sama terbangun karena teriakannya, ternyata hanya mimpi buruk dari kejadian yang telah lalu.

Wajah-wajah yang dibunuhnya selalu menghantuinya, mengancam untuk menyeretnya ke dasar neraka, memberikan ramalan palsu, dan semua ini membuat Alaris semakin sakit pikirannya. Walau begitu, dia tetap bertahan.

Demi menjadi ratu, demi mendapatkan hati Rudolf yang dicintainya.

Putri Hazel mendapatkan tunangan yang diinginkannya, seorang gadis cerdas yang penakut, gadis cerdas yang pemalu, gadis cerdas yang lemah lembut kepada semua orang. Seorang Hazel yang membelakanginya, membuat semua orang yang awalnya menginjak-injak harga diri keluarga Dewella, kini menjadi takut dengan putri pertama keluarga Dewella, yaitu Katarina Dewella.

Seperti yang diinginkan putri Hazel, Katarina Dewella adalah seorang lesbian, dan aib ini terbongkar 3 tahun lalu. Membuatnya dimaki-maki oleh keluarganya sendiri, diinjak-injak oleh keluarga bangsawan lain, dipermalukan oleh masyarakat, dan tidak dihormati pelayan. Namun, semenjak kedatangannya di istana disambut dengan romantis oleh Hazel, kini dia menerima dirinya yang seorang lesbian, dan semua orang yang menginjak-injaknya kini tidak berani berpendapat.

Jelas sekali mereka takut, karena Hazel telah menerbitkan undang-undang yang melegalkan pernikahan sesama jenis di kerajaan. Gereja Amrith telah dipaksa untuk setuju, dengan menggunakan dewa Oriron yang menikahi dewa Ratani sebagai dalih, keduanya adalah laki-laki, jadi Hazel pikir ini kesempatan yang baik untuknya agar menjadikan Katarina sebagai ratu, dan dirinya sebagai raja.

Rencana Hazel di lautan juga berjalan dengan baik, waktu itu, kejadiannya tersebar hingga ke ujung negeri. Kejadian yang mana membuat para tentara Rigen kabur tanpa perlawanan, meski kabur, mereka tetap mati di tangan Hazel karena mereka terkepung.

Kerajaan Rigen kehilangan 3:10 pasukannya di Sogrid, ini bukan angka yang kecil.

Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk Hazel melanjutkan rencananya mengepung seluruh kerajaan Rigen, persiapannya hanya tinggal sedikit, mungkin purnama yang akan datang semua persiapan akan selesai.

Seperti purnama, waktu terus berputar. Penelitian Alaris mengenai waktu tidak berjalan karena dia pergi perang, beradu sihir dan pedang, seperti Rudolf dengan seekor Siren 6 tahun yang lalu.

Siang dan malam berlalu, Rudolf terus mendapatkan kasih sayang dari Ocelia, yang kini menjadi kekasihnya selama hidup di pulau.

Setiap pagi, Ocelia membangunkan Rudolf dengan ceria dan bersemangat, lalu menyeret Rudolf untuk sarapan, setelah itu pergi ke kebun. Rudolf menjadi tahu caranya merawat kebun, cara mengembang-biakkan benih, dan lainnya. Setelah itu, dia akan pergi menombak ikan di sungai yang terasa tak asing baginya.

Tak asing, seperti pernah melihatnya. Entah kapan, mungkin hanya dalam mimpi.

“Ocelia, aku membawa ikan,” kata Rudolf ketika selesai menombak ikan.

“Waah! Banyak sekali! Kita akan menghabiskannya malam ini?” tanya Ocelia sambil melompat-lompat kecil.

Rudolf menepuk kepala Ocelia dan mengelusnya pelan, setelah itu menyingkap poni Ocelia, dan mencium keningnya.

Wajah Ocelia memerah, Rudolf tersenyum.

“Iiih! Tunggu nanti malam! Aku lagi kerja,” katanya sambil menurunkan tangan Rudolf dengan dua tangan.

“Tapi sudah waktunya makan siang,” lanjutnya sambil melahap tangan Rudolf.

“Hei! Tanganku bukan makanan!”

“Nyam nyam nyam,” ludah Ocelia membasahi tangan Rudolf.

Rudolf kegelian.

“Kita tidak menunggu sampai malam, kita lakukan sekarang,” Rudolf meletakkan ikannya, lalu mengangkat Ocelia.

“Hah?! A-aku mau ke kebun!”

“Kita lakukan di kebun.”

“Aah! Jangan! Jan-hm!”

Lalu mereka bereproduksi di kebun.

Mereka melakukan ini selama 1 tahun, cinta dalam hati Rudolf tumbuh selama 5 tahun lamanya, rasa itu berkembang semakin pesat ketika dia cedera berat karena sedang mengejar buaya di muara, dia ingin memakan daging buaya karena bosan dengan ikan, namun pergulatan mereka berakhir dengan kemenangan Rudolf.

Buaya bertarung dengan memutar tubuh mereka ketika berhasil menggigit. Hal yang dilakukan selanjutnya ketika tergigit adalah, bergerak sesuai arah buaya itu berputar. Hal ini membuat Rudolf hanya mengalami patah tulang tangan.

Rudolf memegangi pinggang Ocelia dengan hentakan lembut, dan hal ini membuat Rudolf semakin melupakan tentang apa yang ada di luar pulau. Tentang Alaris, tentang Kristin, tentang Roselia, Trevor, dan tanah kelahirannya yang tandus, Indurgana.

Cinta tumbuh tidak karena terbiasa, pepatah dari tanah di ujung dunia itu tidak sepenuhnya benar.

Terbukti oleh Rudolf dan Ocelia, keduanya tidak mencintai karena terbiasa. Ocelia mencintai Rudolf kali pertama dia menyentuh kulit Rudolf dan mengganti obat-obatannya. Rudolf mencaintai Ocelia pertama kali ketika dia sadar dari cederanya, hanya saja dia belum menyadari rasanya pada Ocelia adalah cinta.

“Rudolf, bagaimana kalau kita menikah?” tanya Ocelia 1 tahun yang lalu.

“Menikah?” Rudolf mengangkat kepalanya, mereka sedang makan malam saat itu.

“Iya, kita akan menikah. Hutan akan menjadi saksi kita, lalu kita tidak akan hidup sendirian karena aku akan punya anak dari pernikahan kita,” kata Ocelia sambil memainkan jemarinya, dia terlihat malu.

“Aku, aku tidak tahu.”

Wajah Rudolf memerah, Ocelia juga sama.

“Ci-cincin dari kawat tidak masalah, atau dari akar pohon, aku bisa menggunakan sihir pemeliharaan pada mereka, agar mereka tidak, tidak mati,” katanya dengan suara gemetaran.

Rudolf tidak bisa menjawab.

“A-aku, aku mencintaimu, Rudolf.”

“Aku,” Rudolf menghentikan jawabannya, dia melihat wajah Ocelia yang penuh harap.

“A-aku, mau,” jawabnya.

“Benarkah?!” tanya Ocelia dengan suara keras, wajahnya sumringah mendengar Rudolf.

“Hm,” Rudolf mengangguk.

“Be-besok! Besok pagi-pagi sekali, aku, lalu kamu, kita akan menikah! Benar ya!” Ocelia berkata demikian sambil berjalan mundur ke kamarnya.

“Hm,” Rudolf kembali mengangguk.

“A-awas kamu kalau sampai bata-“

Bruk

“Ocelia!”

Rudolf bangun, lalu meraih Ocelia yang jatuh karena menabrak dinding.

“Berhati-hatilah,” kata Rudolf.

“Hehe, ma-maaf. Aku terlalu senang. Kamu?”

“Sama.”

Pernikahan mereka berlangsung sederhana, hanya cincin dari kawat, Rudolf membuatnya hanya dalam semalam. Mereka mengucapkan janji suci di depan hutan, di sebrang sungai, dengan keras.

“Mulai detik ini! Aku! Rudolf Peterson! Akan menikahi Ocelia! Menemaninya dalam suka atau duka! Sehat atau sakit! Hingga maut memisahkan!” teriaknya hingga semua otot di lehernya terlihat.

“A-aku juga! Ocelia Aethelles! Menerima Rudolf Peterson sebagai suami! Untuk menemaniku dalam suka atau duka! Sakit atau sehat! Hingga dipisahkan maut!” teriaknya, walau tidak sekeras Rudolf.

Keduanya saling bertatapan, Ocelia memejamkan matanya, Rudolf juga sama, mereka berciuman dengan sangat lembut. Tidak memainkan lidah, tidak memainkan liur, hanya menempelkan bibir, sambil berpelukan, dengan Ocelia meneteskan air mata, dan dengan Rudolf yang ternyata hanya merasakan perasaan normal.

Biasa, begitu pikir Rudolf.

“Haah, haah, haah, aku, aku bisa, seharian, haah, melakukan ini,” Rudolf terengah-engah.

“Ih, kamu bisa agresif juga. Jangan karena kita hanya hidup berdua di sini,” kata Ocelia sambil merapikan roknya, dia masih merasa aneh, masih terasa hangat dan nyaman.

Ocelia berbalik, lalu membantu membersihkan Rudolf, setelah itu merapikan celananya.

Rudolf tersenyum melihat istrinya sangat terampil merawatnya selama ini, begitu ceria, begitu hangat, periang, tak henti-hentinya dia mendengarkan cerita Ocelia yang tidak ada habisnya. Semua terasa baru baginya.

“Lusa akan panen, kita masuk dulu yuk. Aku akan membuatkan kamu makan,” kata Ocelia sambil membawa ember berisi ikan yang ditinggalkan Rudolf.

“Sedang apa kamu?” tanya Ocelia.

Rudolf tersadar, dia seperti berada di tempat asing beberapa saat lalu. Ocelia menyadarinya, dia menghampiri Rudolf, lalu mengeluarkan energi sihir dari tangannya.

“Ayo ikut, kita makan,” kata Ocelia sambil mengeluarkan energi sihir dan mengayunkan tangannya di kening Rudolf.

“Ah,” Rudolf tersadar.

“Iya, aku ke sana,” jawabnya setelah melihat Ocelia mengayunkan tangannya beberapa kali.

“Apa itu barusan? Aku seperti melihat malam,” gumam Rudolf.

“Ini bahaya, sudah dekat dengan bulan mati. Aku harus dekat dengan Rudolf sesering mungkin,” gumam Ocelia sambil terus berjalan ke dapur.

Di dapur ini, ada banyak perkakas dan peralatan yang dibuat oleh Rudolf selama 6 tahun terakhir. Ada sepasang sendok, beberapa macam pisau, sebuah panci segala fungsi, dan sepasang mangkuk. Hanya mereka berdua yang hidup di pulau ini, jadi tidak masalah hanya dengan peralatan yang sangat minim.

Sore pun tiba, biasanya, Rudolf pergi ke laut untuk liburan dari kesibukannya bekerja di kedai Ursa, menyerahkan segala urusannya pada Trevor dengan dalih ikut bersama Corat dan Dermond untuk membantu misi mereka.

Kebiasaan itu tidak lagi ada, kini, Rudolf merawat tanaman di kebun. Beberapa sayuran sudah waktunya panen, sisanya menunggu dipanen di musim yang akan datang.

“Ikan tadi masih ada?” tanya Rudolf.

“Mhmm,” Ocelia mengangguk sambil menyirami tanaman.

Lihat selengkapnya