Penyair Lautan dan Penyair Daratan

Samudra
Chapter #23

Bab 23: Akhir dan Awal

Persiapan Corat selesai, dia hanya perlu menunggu waktu untuk menggunakan sihirnya.

“Kalian lihat dua Siren itu? Yang melawan Orsche,” tanya Corat.

“Ya,” jawab keduanya.

“Tak perlu kena, tembak,” katanya memberi komando.

“Yup,” jawab keduanya.

Dring

Dring

Suara pegasnya sangat nyaring, mereka bisa ketahuan jika menembak terus seperti ini. Namun sepertinya Corat tidak peduli.

Sasaran yang diincar keduanya adalah dua Siren yang sedang melawan Orsche yang sedang cedera dan kelelahan, darahnya keluar dari bekas cakaran di pundak dan punggungnya, namun Tereshia berhasil menyembuhkannya berkali-kali dan menutup lukanya walau bekas lukanya akan tetap ada.

Kedua Siren itu merasakan ada anak panah yang melesat menuju arah kaki mereka, mereka kaget karena fokus mereka pada awalnya adalah melawan Orsche, sehingga keduanya kehilangan keseimbangan.

“Keparaat!” Rudolf menerjang kaki mereka, satu kena dan jatuh, satunya lagi bertahan dan tetap berdiri.

Rudolf walau gagal menerjang dua, dia tetap bisa fokus. Dia saat ini sedang mencekik Siren yang sedang jatuh, lalu menusuk tenggorokannya melalui mulutnya yang terbuka.

Lebih mudah, karena tidak ditutupi sisik.

Meski begitu, walau dengan pengalihan dari anak panah dari dalam hutan, mereka tetap lincah dan lentur, sulit untuk dijatuhkan. Seperti memegang belut, licin.

“Aaah!” Bursha menendang lutut Siren yang masih berdiri itu, tendangannya sangat keras.

Krak

Lututnya patah.

“Khihieek!” erangnya.

“Rithe!” teriak Rudolf yang sedang sibuk melawan Siren yang sedang memberontak, menolak untuk mati.

“Aiyo!”

Prang

Pedang Rithe patah, bilahnya hancur berantakan, menyisakan bilah sepanjang telapak tangan manusia dewasa.

“Sialan!” teriak Rithe.

“Khaaaak!” Siren itu berhasil bangun, Rithe dan Bursha yang menindihnya terjatuh.

Rudolf tak bisa membantu, dia sibuk berusaha membunuh Siren di depannya. Sehingga, Orsche mengambil inisiatif. Dia melompat ke punggung Siren tersebut dan menjegal kakinya.

Bruk

“Kha-hak!” erangnya ketika jatuh.

Orsche mengangkat dagu Siren tersebut, lalu memutarnya dengan kencang.

Krak

Lehernya patah, sebuah kematian singkat yang butuh banyak tenaga. Dia terjengkang ke belakang, lalu mengambil nafas yang terputus-putus, dia kelelahan.

Energi sihir dari dalam hutan melesat kencang, namun tidak mengenai Orsche, sihir dari Tereshia itu mengenai Britte, seorang kru Lunari yang sedang cedera.

“Kau bisa bertarung?” tanya Rudolf.

“Ma-masih,” jawab Orsche.

“Kau lihat strategi tadi?” tanyanya lagi.

“Ya-h,” jawabnya terputus-putus.

“Bagi jadi dua kelompok. Beri Rithe belati atau apapun, Bursha dan Orsche ikut Rithe,” katanya.

“Kapten sendiri?”

“Aku akan dibantu, sekarang pergi!” teriak Rudolf sambil berlari menuju arah kru lainnya yang sedang dikeroyok.

Malam mereka dihabiskan dengan saling beradu pedang, beradu pukul, saling tumpang tindih dengan beringas, saling mematahkan tulang, saling membunuh, namun kubu Rudolf kini berada di atas angin karena strategi penyergapan gerilyanya yang ternyata sangat ampuh untuk digunakan melawan para Siren ini.

Hingga akhirnya hanya tersisa satu Siren yang masih hidup, dia kini sedang dikepung oleh semua orang yang ada di tepi sungai. Di belakang Siren itu adalah hutan, sehingga, jika dia ingin kabur ke sungai, dia harus menerobos para tentara ini terlebih dahulu.

“Nugna yun arti, amanu yutmen, fir un afasi unsi gahil,” katanya dengan suara yang khas seekor Siren, seperti monster, namun terdengar feminim.

“Kalian tahu artinya?” tanya Rudolf.

“Tidak,” jawab semuanya serempak.

“Kau tahu artinya, kapten?” tanya Kristin.

“Ya, dia bilang, ‘Pukul aku dari belakang dan ikat aku dengan kencang,’ begitu,” kata Rudolf.

Duak

Dua orang pemanah, mereka adalah pasangan Jutrak dan Harnil, kru Lunari yang dulunya seorang penculik. Mereka menggunakan taktik jegal dan ikat, yaitu sebuah taktik di mana Jutrak akan menjegal Siren dari belakang, bersamaan dengan Harnil yang mengikat leher si Siren dari belakang lalu menjatuhkan diri.

“Hmph!”

Teknik ini terbukti ampuh.

“Kakinya juga, lalu ikat dia di pohon, dan tutup mulutnya. Kita belum selesai di sungai ini,” perintah Rudolf.

“Aiyo,” jawab semua kru.

“Ocelia! Di mana kau?!” teriak Rudolf.

Ocelia mengeluarkan kepalanya dari dalam air, menunjukkan matanya yang melirik tajam.

“Ah, di situ kau rupanya. Kemarilah, kau tahu, kami punya seekor Siren yang masih hidup. Pastinya kau tidak ingin mulutku memerintahkan wanita cantik ini untuk menusuk Siren itu dan memanggangnya seperti seekor ikan, ‘kan?” Rudolf mencoba memancing Ocelia.

Ocelia keluar dari sungai, dia berjalan menuju tepi sungai. Posisi ini kurang menguntungkan bagi Rudolf sebagai pihak penyerang, karena Ocelia bisa saja kabur ke sungai. Namun di sisi lain, posisinya bagus untuk bertahan, karena di belakang mereka ada hutan, dan akan sangat mudah untuk bertarung di dalam hutan melawan makhluk air.

“Itu juga kalau Ocelia sama seperti Siren lainnya yang tidak biasa menggunakan kaki manusia,” gumam Rudolf.

“Tentu, bunuh saja dia. Aku tidak peduli,” katanya sambil memainkan jemarinya.

“Tanganmu sudah sembuh? Butuh berapa lama sampai tanganmu tumbuh kembali?” tanya Rudolf.

“Lama, selama kamu di ranjang kita,” jawab Ocelia.

“Persetan dengan ranjang, aku mengutuk semua telur yang terbuahi olehku, mereka tidak akan bisa bertahan hidup lama di lautan,” kata Rudolf.

“Hahaha, terlambat. Kami ini bisa bertahan hidup tanpa manusia. Kami memakan segalanya, tumbuhan, hewan, bahkan manusia,” kata Ocelia.

“Lalu kenapa kau tidak memakanku?” tanya Rudolf.

“Aku membutuhkanmu untuk membuahi telurku,” kata Ocelia.

“Aku ini ratu, aku adalah induk, dan tidak ada yang bisa membuahiku, selain manusia jantan,” katanya lagi.

“Itu berarti, jika kita menangkap Siren dan mengembang-biakkannya di rumah bordil, kita bisa memakan kalian dan mengurangi jumlah masyarakat kelaparan dengan daging bayi Siren?” Rudolf memancing amarah Ocelia.

Ocelia menggigit lidahnya, dia terpancing.

“Hahahaha, dia benar. Harga pelacur kan mahal, kalau kita membangun rumah bordil berisi Siren dan memakan anaknya, jumlah para pelacur akan berkurang dan martabat wanita kerajaan akan meningkat, ya, kan?” Dermond menambahi.

“Hahahaha,” semua orang tertawa.

“Kapten, sepertinya kau harus buat resep roti baru, menggunakan daging Siren, hahaha,” kata Kristin.

“Hahaha, benar juga, aku penasaran daging Siren rasanya seperti apa,” jawab Rudolf.

“Kamu! Kalian para manusia! Begitu bejat dan kejam kalian! Merencakan hal bejat seperti ini di depanku?! Seorang ratu Siren?!”

“Mahkotanya tenggelam di laut?” tanya Rithe.

“Pfft,” semua orang menahan tawa.

Rudolf tersenyum menahan tawa.

“Kalian bahkan sanggup tertawa setelah berkata seperti itu! Rasakan amarahku! Amarah seluruh lautan!”

Semua orang kini siaga, mereka memegang senjata masing-masing dan waspada.

Ocelia berubah bentuk, sisiknya yang tadinya hanya menutupi tubuhnya dengan lapisan tipis, kini menebal dan muncul duri-duri tajam. Cakarnya tumbuh makin panjang, matanya bercahaya keemasan, dan dari dalam zirahnya, keluar air panas.

“Ini bahaya,” gumam Rudolf.

“Ini bahaya,” kata Kristin.

“Sialan, jangan ulangi pikiranku,” kata Rudolf.

“Haha, aku akan mati,” kata Rithe.

Lihat selengkapnya