“Anginnya kencang!” teriak Alaris yang duduk di kursi di sebelah kanan Rudolf yang sedang berdiri.
“Jelas! Ini kan pagi-pagi! Lagipula, kenapa kau ingin berlayar sepagi ini?” tanya Rudolf yang sedang mengemudi.
“Melihat matahari terbit, tentunya! Aku tidak pernah bisa melihat matahari terbit sejak aku jadi ratu!” teriak Alaris.
“Aku tahu! Tapi kenapa kita berteriak?!” tanya Rudolf.
“Anginnya kencang!” teriak Alaris.
“Kau ini ratu! Perintahkan penyihir untuk mendistorsi anginnya!” teriak Rudolf.
“Kau kan raja! Lakukan sendiri!” balas Alaris.
“Um, yang mulia, haruskah para penyihir mendistorsi anginnya?” tanya kepala pelayan.
“Lakukan!” teriak keduanya.
“Ba-baiklah. Kalian, distorsi anginnya.”
“Baik,” jawab keempat penyihir kapal.
Rudolf memutar kemudinya ke kanan, lalu meluruskan kemudinya ke arah selatan, agar bisa melihat matahari terbit dari timur.
“Aquaria, ayo ke atas,” kata Rudolf sambil menyodorkan tangannya.
“Ayo!” jawab Alaris antusias.
Keduanya turun dari dek kemudi kapal, lalu berjalan menuju katrol yang terpasang di atas menara pengawas, katrol ini terikat dengan tali di geladak, dan ada pemberatnya. Sehingga, jika Alaris naik ke punggung Rudolf, dan Rudolf memotong talinya, keduanya akan terangkat menuju menara pengawas yang didesain khusus untuk raja dan ratu.
“Yaaa! Hahaha!” Alaris berteriak kegirangan ketika Rudolf membawanya ke atas.
“Jangan berteriak di telingaku! Auh,” Rudolf menyentuh telinganya.
“Ah, maafkan aku. Aku terlalu antusias tadi,” kata Alaris sambil menyentuh telinga Rudolf, memastikan bahwa dia baik-baik saja.
Plak