Penyair Lautan dan Penyair Daratan

Samudra
Chapter #1

Bab 1: Penyair Lautan

Sore hari adalah saat-saat yang paling ditunggu setiap hari, saat di mana mereka akan pergi meninggalkan daratan, menggunakan kapal ikan, bersama teman-teman, memancing ikan dengan jala, tombak, senapan, busur, apapun itu, asal bisa membunuh ikan.

Namanya Walzen Nutrak, orangtuanya menamakan Nutrak berdasarkan kisah seorang nelayan legendaris yang menaklukkan Hiu Paus berukuran 38 meter, begitu besar dan kuat, mampu membalikkan kapal seukuran yang dia naiki bersama teman-temannya hanya dalam sekali terjang.

Kapal yang dinaikinya ini berukuran tidak terlalu besar, hanya cukup untuk 4 orang awak kapal, dan satu nahkoda. Ketika mereka menemukan ikan besar, jasa nahkoda dan awak layar akan berperan sangat penting.

Nahkoda yang memiliki intuisi tajam tentang arah mata angin, mampu membaca arah bintang, mampu membaca cuaca dan ombak lautan, adalah nahkoda ideal yang harus ada di setiap kapal ikan. Awak layar juga harus memiliki kualifikasi khusus, tubuh mereka haruslah kuat, kekar, mampu menarik tambang yang mengikat layar dengan dua hingga tiga tarikan besar, mampu mendengarkan instruksi nahkoda dengan benar, dan mengeksekusi perintah dengan tepat.

Semua layar turun untuk menambah kecepatan, sihir yang memperkuat bagian depan kapal, disebut ram, membuat kapal ini membelah lautan lebih cepat dari kapal lainnya. Menggunakan setengah dari semua layar untuk maneuver, agar dapat membelok lebih cepat, menghindari terjangan ikan-ikan ganas di lautan.

Sebenarnya, sihir untuk meniupkan angin pada layar memang ada dan digunakan di kapal lain, namun Walzen Nutrak dan kawan-kawannya, tidak memiliki sihir mahal seperti itu. Sihir untuk memperkuat kapal saja sudah menghabiskan tiga juta Zeni, itu adalah harga jual tiga ekor Two-tailed Whale, atau tiga ekor Paus berekor dua, dan kesempatan untuk bisa memburu mereka di lautan adalah, sekali setiap tahun, saat migrasi.

Walzen Nutrak sedang membersihkan balista yang terpasang masing-masing dua di setiap sisi kapal, dia melumas pegas balista itu dengan minyak dari lemak ikan Karengit, spesies ikan yang panjangnya mencapai 12 meter, menurut rekor tangkapan mereka sejauh ini, namun hanya sebesar pinggang manusia dewasa.

Mereka hanya ular lautan yang tidak berbisa, namun sangat bermanfaat semua bagian tubuhnya.

“Nutrak, sedang melumas?” tanya seorang pria kekar sambil mengikat tambang di sisi kapal.

“Ya, akan gawat kalau kita berburu, tapi balista ini malah koyak pegasnya,” jawab Nutrak.

“Hei! Ada ikan?!” tanya si nahkoda yang sedang memegangi kemudi kapal sambil duduk di sebuah kursi, dia benci saat kakinya keram karena terlalu lama berdiri.

“Tidak ada! Ini juga sudah hampir gelap!” kata seseorang di atas menara kapal.

“Terus bagaimana? Tebar jala saja kah?” tanya seseorang yang sedang mengangkat beberapa tombak yang terikat jadi satu agar mudah saat diambil nanti ketika mereka bertarung.

“Ikan kecil keluar waktu siang! Kita ini pergi sore karena mau cari ikan besar! Kalau tidak ada sampai gelap, hanya ada monster di laut ini!” kata nahkoda kapal dengan suara keras agar semua awak mendengarnya.

“Lebih baik, kita mundur saja dulu hari ini! Tabungan kita masih cukup untuk dua ha-“

“Ada Baringau! Aku melihat Baringau di utara!”

Brak

Nahkoda kapal terpeleset ketika dia berusaha bangkit dari kursinya, dia mendengar kata Baringau dari orang yang berada di menara.

“Baringau?! Ini kan laut Ashir! Kenapa ada di sini?!” teriak nahkoda kapal.

“Mana aku tahu! Yang jelas! Ini tangkapan besar!”

“Mantap!” teriak orang di sisi kanan kapal.

“Ini hari keberuntungan kita!” teriak satunya yang sudah siap dengan senapan harpun miliknya.

“Utara mana?!” teriak nahkoda menanyakan arah Baringau.

“Tiga puluh derajat ke kanan! Jarak 200 hasta! Dia melihat kita!” teriak seseorang di menara pengawas.

“Semua layar turun! Bersiap pertempuran!” teriak nahkoda kapal sambil memutar kemudinya sesuai arahan pengawas menara.

“Aiyo!” teriak semuanya bersamaan.

‘Aiyo’ adalah sebuah kata serapan dari bahasa Ferdin, ‘Aikyoe’, yang berarti ‘siap’, atau mampu menunjukkan kesanggupan dalam menjalankan perintah.

Baringau, seekor spesies ikan yang hidup di lautan dingin tempat semua predator berada. Alasan kenpa salah satu Baringau ini berada di air hangat laut Serinda, adalah mungkin karena dia dikejar oleh predator dan mencoba untuk kabur, namun malah berakhir tersesat di lautan antah berantah yang tidak dikenali olehnya.

Bentuknya seperti seekor Salamander, hewan manis nan lucu yang menjadi hewan hias di beberapa akuarium para bangsawan, namun memiliki sisik yang berkilau seperti cermin memantulkan cahaya lilin, sirip yang lebar mirip seperti layar, dan tentu saja, daging serta lemak yang sangat enak.

Itulah mengapa para nelayan ini begitu antusias ketika mendapati Baringau ada di depan mata mereka.

Sisiknya yang berkilau dapat diolah menjadi berbagai macam perhiasan untuk para wanita cantik, dagingnya begitu empuk dan lezat ketika dimasak dengan bumbu apapun, lemaknya dapat dijadikan parfum mulut, atau hanya sekedar untuk memasak dan menerangi rumah yang gelap, tulangnya dapat dijemur lalu ditumbuk untuk dijadikan tepung, bahkan isi ususnya yang penuh dengan ikan kecil makanannya dapat menyuburkan sepetak sawah.

Benar-benar ikan yang penuh manfaat, seekor Baringau mampu dijual seharga satu juta Zeni, jumlah yang cukup untuk menghidupi enam keluarga selama sebulan penuh.

“82 hasta!” teriak pengawas menara.

“Tarik layar kanan! Semua pindah ke kiri!” teriak nahkoda.

“Aiyo!”

Dibantu oleh Nutrak, keduanya menarik tali dengan sekuat tenaga, secepat mungkin, hingga ketika mereka dan dua orang lain selesai mengerjakan perintah nahkoda.

“40 hasta!” teriak pengawas menara.

“Masih belum!” teriak nahkoda sambil memutar kemudi kapal ke kiri, agar berat kapal seimbang dengan angin dan melaju lurus meski dengan tanpa layar di sebelah kanan kapal.

“Uuuggh! Berat!” keluhnya sambil menahan beban kemudi yang memaksa agar berputar ke kanan.

“20 Hasta!”

“Semua ke kiri! Siap bertempur!” teriak nahkoda sambil membanting kemudinya ke kanan, membuat kapal berbelok dengan cepat.

“Aiyo! Balista siap!”

“Aiyo!”

Hanya sejengkal, telat sedetik saja, kapal akan menabrak Baringau dan membuat semuanya terjatuh, sehingga pertempuran akan mengalami penurunan efisiensi.

Ujung kapal mampu menghindari kepala Baringau yang berusaha melindungi diri dengan menyerang, pengawas menara langsung turun menggunakan tali dari menara pengawas, mengambil senapan harpun, lalu berlari ke sisi kiri kapal.

“Seraang!” teriak kepala kelasi, Vedur Tatruk.

Suara pegas saling bersahutan, melontarkan tombak dan harpun, semuanya diarahkan ke kepala Baringau yang melintas di sisi kiri kapal.

“Ngaaauung!” suara erangan Baringau terdengar begitu berat dan besar, cocok sekali dengan tubuhnya yang sepanjang 12 meter.

“Tarik layar kiri! Turun layar kanan!”

“Aiyo!” jawab dua orang yang bertugas untuk mengurus layar kapal, mereka akan menggunakan senjata hanya ketika diperlukan.

“Isi ulang!” teriak kepala kelasi sambil menarik pegas.

“Aiyo!” teriak Nutrak sambil meletakkan tombak untuk isi ulang.

Balista sebelah juga melakukan hal yang sama, ketika kedua balista selesai diisi ulang, mereka bersiap menunggu momen berikutnya datang.

“Turun semua layar!” teriak nahkoda sambil memutar kemudi dan berusaha meluruskan arah kapal.

“Aiyo!”

Semua layar turun, kecepatan bertambah secara signifikan, tubuh Baringau tidak bisa mengikuti kecepatan kapal ikan ini, sehingga momen berikutnya mudah dicari.

“Tarik layar kiri!” teriak nahkoda sambil memutar kemudi, bermaksud memberikan sisi kiri kapal sedekat mungkin pada kepala Baringau.

“Tembak!” teriak kepala kelasi.

Suara pegas kembali bersahutan, setelah menembakkan balista, mereka menembakkan senapan harpun. Semuanya menancap dengan sempurna di kepala Baringau, dan ini semua berkat akurasi para penembak yang sangat tinggi, Walzen Nutrak dan Marni Zerten, meski begitu, kepala kelasi juga tidak kalah, akurasinya menyamai kedua orang ini di atas lautan, dan sudah berpengalaman lebih dari empat tahun di laut Serinda.

“Pindah sisi kanan!” teriak kepala kelasi sambil menarik pegas balista dan meninggalkannya begitu saja agar lebih mudah diisi tombak berikutnya.

“Tarik kanan! Turun kiri!” teriak nahkoda kapal, bermaksud untuk menikung ke kanan setelah tikungan tajam ke kiri.

Baringau ini kebingungan dengan pola serangan kapal ikan yang dinahkodai kapten Virtua Naglis.

“Tembak!” teriak kepala kelasi.

Suara pegas terdengar sempurna kali ini, mungkin karena Nutrak melumasinya sebelum pertempuran.

Lihat selengkapnya