The Testament

Venny Lestari
Chapter #2

The Testament

   Sudah 3 hari ini Shan tidak mendatangi kantor. Shan terus menunggu Ayahnya di rumah sakit karena kondisinya sangat tidak stabil, sehingga membuat Shan khawatir. Beberapa agenda di batalkan dan Shan terpaksa bekerja sambil menunggu Ayahnya.

Hari ini Shan memenuhi keinginan Ayahnya untuk mengunjungi kantor hukum milik Om Damara Majusi, pengacara pribadinya. Di sepanjang perjalanan, Shan merenung. Masih lekat diingatannya, saat pertemuan dengan Kallenza Ervino. Shan masih merasa kesal pada pria itu. Pertama, manusia ini pintar bersilat lidah, dia sangat pintar menyerang secara verbal sehingga membuat Shan merasa terintimidasi, kedua manusia ini memang sudah terlahir menjadi manusia egois dan licik, ketiga semua yang Bima katakan tentangnya memang benar, Kallenza Ervino bukan orang sembarangan. Selain licik, dia pun egois, mau menang sendiri dan menyebalkan.

Shan masih menyimpan secarik kertas yang Kallen berikan 3 hari yang lalu. Kertas berisikan kartu namanya dengan tulisan 

"Call me if you change ur mind :)"

Manusia gila mana yang memberikan pesan semanis itu setelah berdebat hebat sebelumnya???? Shan meremas stir mobilnya, kesalnya pada Kallen memang tak akan pernah habis.

     Sesampainya disana, Shan langsung menuju lobby dan duduk di sofa menunggu Om Damara. Tampak seorang pria duduk di hadapannya sedang menunduk membaca majalah sambil menelepon. Sekilas, Shan sepertinya tidak asing melihat pria ini

     "Lo katakan sama Fina, atur ulang jadwal gue di hari itu Ka...okay...okay.." 

Kallen menyimpan majalah yang di bacanya di meja. Kallen merasa ada yang memperhatikannya. Kallen menaikkan pandangannya dan melihat ada seorang wanita sedang mengirimkan tatapan tajam padanya. Oh my God ! Wanita ini lagi?? Kallen menyeringai melihat wajah Shan. Shan terkesiap saat melihat pria yang duduk di hadapannya adalah Kallenza Ervino. Ya Tuhan kenapa harus dia??

     "Ow lucky me ! ternyata saya bisa bertemu anda disini, kebetulan sekali." Kallen berkata datar. Shan merasa sangat sial. Pikirannya sudah sangat kacau memikirkan tentang kesehatan Ayah, sekarang kenapa dirinya harus bertemu pria ini??? Sungguh merusak mood nya. 

     "Bertemu Om Damara?" 

Kallen bertanya santai sambil menatap Shan. Yaks ! Shan ingin muntah melihat tatapan sok akrabnya itu. 

     "Ya, anda tampaknya sangat akrab dengan beliau." Shan menjawab dengan ketus. Dalam hatinya berdoa, semoga dirinya cepat di panggil untuk bertemu Om Damara.

     "Om Damara pengacara keluarga saya. Kalau anda?" 

     "Kurang lebih sama seperti anda." 

     "Wow ! 2 kali kebetulan. Mungkin saja kita jodoh?" Shan mengerlingkan matanya. Malas menanggapi pria tak bermoral semacam Kallen. Kallen menyeringai melihat tingkah Shan. Ketus, arogan namun membuatnya gemas. Tak lama sekertaris Om Damara memanggil Shan. Kallen langsung memprotes.

     "Oh padahal saya datang lebih dulu dari pada anda. Tampaknya orang tua anda lebih di istimewakan." 

     Shan beranjak tak mempedulikan Kallen. Shan sebenarnya sangat tersinggung dengan kata-kata Kallen, namun ini bukan saat yang tepat jika harus mendebat si bodoh itu, geramnya dalam hati.

     "Selamat siang, Om."

     "Hai Shan, selamat siang. Silahkan duduk"

     "Terimakasih, Om."

     "Bagaimana keadaan Ayah kamu?"

     "Masih sama Om, belum ada kemajuan yang berarti"

     "Om selalu mendoakan Ayah kamu, semoga dia cepat sehat kembali, Om rindu bermain golf dengan dia." Shan tersenyum. Ya, Shan pun rindu pada Ayahnya. Sangat rindu. Ayah tempatnya berkeluh kesah, kini hanya terbaring lemah dengan alat penunjang kehidupannya. Hati Shan berdesir mengingat ini.

     "Kamu pasti tahu, tujuan Om ingin bertemu dengan kamu adalah untuk membacakan testament dari Pak Pranata."

     "Shan tidak mau Om membacakan testament Ayah sementara Ayah masih ...ada." Shan bergumam pelan. Seketika mata Shan berkaca-kaca.

     "Shan, Om hanya membacakan bukan berarti Ayah akan meninggalkan kamu, tapi satu bulan yang lalu, Ayah kamu mengingatkan Om untuk membacakan surat ini."

Om Damara mencoba memberi pengertian pada Shan. Shan akhirnya menyerah. Om Damara meraih berkas yang ada di samping kanannya dan mulai membacakan satu persatu hak Shan atas kepemilikan harta benda Ayahnya. Shan memilih diam dan mendengarkan apa yang di katakan oleh Om Damara.

     Perlahan air mata Shan berjatuhan mendengar wasiat dari Ayahnya. Itu semua tidak penting bagi Shan karena itu semua tidak bisa ditukar dengan nyawa Ayahnya. Jika Ayah pergi, lalu Shan dengan siapa? Teriak Shan dalam hati. Dada Shan sesak, terlalu cepat jika Ayah meninggalkannya sekarang. Shan ingin Ayah selalu ada untuknya. 

     "Om tahu ini berat Shan, mungkin kondisinya tidak tepat karena sekarang Ayah kamu sedang terbaring koma. Tapi kamu harus kuat menghadapi ini Shan." Om Damara berkata pelan sambil menawarkan tissue pada Shan. Shan meraih tissue dan mengusap air matanya, berusaha tersenyum pada Om Damara.

     "It's okay, Om." 

Shan mengangguk. Om Damara lalu tersenyum pada Shan, salut pada ketegaran hatinya.

     "Ada satu wasiat yang akan Om sampaikan, Om akan memanggil seseorang. Dia juga akan menerima wasiat ini."

Om Damara meraih intercom dan meminta sekertarisnya memanggil seseorang. Shan melebarkan matanya. Apa Ayahnya memiliki anak selain dirinya? Tapi siapa? Setahu Shan, Ayah tidak pernah menikah lagi setelah Bunda meninggal. Apa sebenarnya Ayah menikah namun tidak memberitahu Shan???

     Tak lama seorang dengan jas formal masuk ke dalam ruangan Om Damara. Shan terkesiap melihat Kallen. Kallen tampak menghentikan langkahnya di depan pintu saat melihat Shan menghapus air matanya. 

     Pria itu lagi??? Ada hubungan apa Ayah dengan dia? Siapa sebenarnya dia?? Apa pria ini adalah kakak tirinya? Atau dia...Oh Tuhan kenapa dia??? Teriak Shan dalam hati.

     "Sorry, saya tadi di minta masuk." 

Kallen memandang Shan yang sibuk menghapus air matanya. Oh wanita ini bisa menangis juga rupanya, Kallen terkekeh dalam hati. 

     "Hai, silakan masuk Kallen."

Shan langsung memandang Om Damara. Kallen tampak ragu untuk masuk dan duduk di samping Shan.

     Berbagai macam asumsi berkelebatan di benak Kallen. Apa wanita ini ada hubungan dengan wasiat terakhir Papa? Jika iya, wanita ini siapa??? Dan apa hubungan Papa dengan wanita ini dan Pranata Group??? 

     "Apa kabar Kall? Lama juga Om tidak bertemu kamu. Sepertinya Mr. CEO terlalu sibuk hingga jarang hadir bermain golf." Om Damara mengulurkan tangannya, terlihat mencoba mencairkan suasana yang cukup menegangkan ini. Kallen mengembangkan senyumnya sambil menjabat tangan Om Damara.

     "Baik Om. Ya begitulah Om. Saya selalu lelah jika pulang kantor hingga tak ada energi lagi untuk bermain golf."

     "Masih muda harus bersemangat, jangan kalah dengan yang tua."

Shan terkejut mendengar pembicaraan mereka. Golf? Apa pria gila ini teman Ayah bermain golf? Apa mereka dekat? Ya Tuhan ada apa lagi ini??? Shan masih bingung dan mencoba mencerna. 

     Om Damara tampak meraih dokumen lain di sisi kanannya. Kallen tampak canggung, wajahnya sangat kaku dan dingin.

     "Baik Shan perkenalkan ini Kallen, Kallen ini Shan."

     "Kami sudah saling kenal Om." 

Kallen menyambar. Mereka sama-sama enggan untuk bersalaman. Kallen melirik Shan yang duduk di sampingnya. Kallen agak terganggu melihat Shan yang begitu muram dan matanya yang sembab seperti sedang menghadapi kesedihan yang mendalam. Ada apa dengan dia?? 

     "Oh bagus jika kalian sudah saling mengenal satu sama lain. Baik Shan, Om akan berikan informasi tentang Kallen pada kamu. Jadi, Papa Kallen meninggal 2 tahun yang lalu. Papa Kallen pun sama hal nya dengan Ayah kamu, beliau menuliskan testament untuk Kallen."

     "Sebentar Om, apa penting menceritakan ini pada orang yang tidak mengenal keluarga saya? Saya pikir ini terlalu privasi." Kallen memotong Om Damara dan membuat Shan geram. 

     "Tenang sebentar Kall."

Om Damara menahan Kallen untuk tidak memotongnya. Kallen tampak tidak sabaran dan hal ini membuat Shan kesal !!! 

     "Dan Kallen, Ayah Shan meminta saya membacakan surat wasiat pada Shan hari ini. Seperti sebuah kebetulan, kemarin kamu menghubungi Om untuk mengetahui poin terakhir wasiat Papa kamu yang baru boleh disampaikan ketika kamu berusia 33 tahun."

Kallen mengangguk, skenario berkelebatan di benak Shan. Om Damara, jangan katakan kalau dia adalah kakak tiri aku atau aku adalah anak angkat Ayah dan dia adalah kakak kandung aku atau bahkan sebaliknya. Shan berdoa di dalam hati.

     Om Damara meraih sebuah amplop dan memperlihatkan pada Kallen dan Shan sebelum amplop itu di buka. Amplop itu di tandatangani oleh Pranata Raditya yaitu Ayah Shan dan Anggara Putra Wilaga yaitu Papa Kallen. Om Damara mulai membacakan isi surat tersebut.    

     "Tidak terasa waktu bergulir cepat sehingga saat kalian mengetahui ini mungkin kami sudah tidak ada di dunia ini lagi. Kami telah lama menjalin persahabatan sejak duduk di bangku SMA, bahkan kami tinggal bersama saat kami kuliah di London. Setelah menamatkan kuliah, kami mencoba mendirikan perusahaan. Kami selalu saling membantu satu sama lain, saling menyuntikkan dana ketika krisis menerpa perusahaan kami.

     Shan meneteskan air matanya, menangis dalam diam saat mendengar ini. Sementara Kallen memejamkan matanya bingung. Kejutan apa ini Papa ! Kallen berteriak dalam hati. Om Damara melanjutkan membaca surat itu.   

     "Permintaan kami tak banyak, kami hanya ingin kalian sebagai anak kami dapat menjaga hubungan baik, jangan sampai ada pertikaian atau persaingan yang membuat kalian saling menjatuhkan."

Lihat selengkapnya