“Kakak bakal kangen adek nggak?”
Suara Gisel mendadak muncul. Beradu dengan kunyahan renyah sereal yang seakan berlangsung tanpa jeda.
Ujung jari kakinya saat itu sedang tertekuk ke bawah. Terlihat seperti ingin mencengkeram lantai marmer yang dinginnya terasa menusuk hingga ke tulang. Wajahnya yang tersembunyi oleh helaian rambut tanpa kucir juga masih menunduk menghadap muka mangkuk. Belum nampak akan bergerak sedikitpun. Meski kehadiran Gisel di dalam sana dapat dikatakan sudah cukup lama.
“Kalau aku, sih, udah bisa bayangin pasti kangen banget.”
Gisella Putri masih empat tahun. Umur yang terlalu muda untuk bisa menangkap berbagai hal yang sedang terjadi di antara mereka berdua, Mama, dan Papa Ibrahim.
Namun adik tirinya itu jelas menyadari akan perubahan sikapnya yang mendadak belakangan ini. Tidak ada lagi sesi bermain bersama di teras belakang. Dan ia cenderung diam serta menarik diri dari semua orang. Hal itu lantas menjadikan Gisel merasa bersalah sehingga berpikir tidak boleh banyak bicara saat berada dekat dengan kakaknya.
“Nggak. Soalnya kamu bukan adek aku.”
“Kok gitu. Mama kita kan sama. Berarti aku adeknya kakak, tahu.”