Manusia adalah makhluk hidup yang menjunjung tinggi status sosial. Berbeda dengan makhluk ciptaan tuhan lainnya, manusia cenderung menghormati orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi dan dikira akan menguntungkan mereka.
Tak ada istilah empati. Hukum alam terus bergerak, mereka yang lemah akan musnah ditelan oleh alam dengan sendirinya. Predator ada dimana-mana, dan makhluk lemah seperti wanita akan mencari perlindungan dari mereka yang jauh lebih kuat.
Itu juga yang selalu diterapkan oleh Altheda dalam menjalani hidup. Hormati yang harus dihormati, utamakan mereka yang berilmu, dan amankan dirimu sendiri dengan berlindung disisi yang kuat, jika kamu tidak cukup kuat.
Munafik jika Altheda mengatakan bahwa persahabatannya dengan Alva merupakan karena perasaan empati dan kesenangan belaka. Alva-- sahabatnya sekaligus pelindungnya yang bisa dia hormati dengan cara berteman. Persahabatan mereka bertimbal balik, sama-sama meraup keuntungan sebanyak mungkin.
Alva yang merupakan anak orang kaya dan berada, sedangkan Altheda memiliki otak cerdas dan berilmu tinggi. Memiliki pemikiran rasional dan tidak pernah gegabah dalam mengambil keputusan. Itulah yang menyatukan mereka berdua dalam lingkaran yang bernama persahabatan.
Bahkan dengan teman-temannya di SCaRY. Altheda dengan terang-terangan mengatakan jika hubungan mereka hanya sebatas saling menguntungkan. Meskipun demikian, sikapnya pada mereka tidak menunjukkan tanda-tanda jika hubungan mereka hanya terikat dengan hubungan timbal balik yang berbayar kan keuntungan semata.
"Haa... ." Altheda kembali menghela nafas berat. Entah ini kali keberapa dirinya melakukan hal itu. Ia sangat merasa lelah. Kenapa sepertinya takdir sangat senang bersenang-senang dengan mempermainkan hidupnya. Bagaikan sebuah lelucon, Altheda terkekeh geli mengingat jiwanya yang baru saja berpindah ke dalam raga seorang gadis yang bernama Azalea Caleste--Putri dari seorang wali kota yang bernama Winston Corner di Kota Chen.
"Itu sangat memalukan," gerutu Altheda dengan kedua tangannya menopang dagu yang bersandar di pembatas jendela.
Pikirannya kembali menerawang kejadian tiga hari yang lalu. Dimana dirinya harus berteriak histeris karena kaget dengan wajahnya yang berubah. Serta bentuk tubuhnya yang langsing sempurna menjadi sedikit sintal dan berisi.
"Agh ... Apa ini? Apa yang- ? Oh ... Astaga ...! Arghh ... Ini bukan wajah gue." Teriak Altheda frustasi. Bagaimana bisa dirinya berganti wajah hanya dalam hitungan hari, selain itu wajah ini terlihat alami tanpa bekas operasi sama sekali. Satu-satunya yang mengganggu hanya makeup tebal yang hampir merubah semua bentuk wajah aslinya.
Brak ... Altheda melonjak kaget. Ia menolehkan kepalanya melihat intensitas yang sedang berdiri tegap didepannya. Pemuda yang baru saja diusirnya sebelum memasuki kamar mandi, melihatnya dengan tatapan datar dan dingin, wajahnya menunjukkan kesan malas dan tidak peduli akan apa yang terjadi pada Altheda di dalam kamar mandi.
"Apa-apaan lo? Keluar!" bentak Altheda geram.
Apa-apaan ini, kenapa pria ini sangat tidak tahu malu! Batinnya.
"Lo ngusir gue lagi?" beonya tak percaya.
"Menurut lo! Gak sopan memasuki toilet dengan paksa ketika seorang wanita ada di dalamnya, bocah. Jika lo gak mau keluar, gue yang keluar." Altheda menghentakkan kakinya. Berjalan dengan cepat, dan dengan sengaja menyenggol bahu anak remaja yang ada dihadapannya sedikit kasar.