Silvana mengambil celengan bergambar Frozen yang ia simpan, tepatnya ia pendam, di dalam lemari. Ia membongkar celengan itu dengan menggunakan gunting besar. Celengan itu hanya terbuat dari kardus tebal, jadi tidak sulit membukanya. Setelah terbuka setengah, ia menuang isi celengan itu hingga kosong ke atas tempat tidur, tersebarlah uang recehan mulai dari dua ribu rupiah hingga dua puluhan ribu rupiah. Sebenarnya uang tabungan itu hendak ia gunakan untuk membeli kamera. Tapi tak apalah, saat ini ia juga butuh liburan, dan open trip itu membuat kebutuhan itu kian terasa mendesak. Toh kamera ponselnya masih cukup bagus untuk mengambil gambar.
Uang itu sudah terkumpul dua juta tiga ratus ribu rupiah. Ia masih punya waktu dua bulan untuk menabung sekitar satu juta dua ratus ribu rupiah ditambah uang saku. Pulau Bening, I’m coming!!! Pikir Silvana sambil senyum-senyum merapikan uangnya.
“Aku mau ikut open trip seminggu, Bu,” Silvana meminta ijin ibunya siang itu. Besok ia berencana mendaftar.
“Ke mana? Lama banget seminggu?” tanya Ibu Silvana tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel di genggamannya.
“Pulau Bening.” Sama seperti Silvana, Ibu Silvana juga tidak tahu-menahu tentang Pulau Bening, bahkan belum pernah mendengarnya. Silvana menjelaskan secara singkat tentang letak pulau itu, ditambah spot menarik apa saja yang ada di sana, dan fasilitas yang ditawarkan oleh penyelenggara open trip.
Ibu Silvana meletakkan ponselnya dan terdiam menimbang-nimbang. Dari raut wajahnya, tampaknya Ibu Silvana agak keberatan mengijinkan putrinya untuk pergi. “Bayarnya berapa, Sil?”
“Tiga juta lima ratus. Aku udah ada tabungan sih buat ikut,” kata Silvana cepat-cepat.
Lagi-lagi Ibu Silvana terdiam dengan ekspresi keberatan. “Tapi kok Ibu kayak nggak sreg ya kamu ikut jalan-jalan ke Pulau Bening?” gumam Ibu Silvana.
“Nggak sreg kenapa?” Perasaan tidak suka mulai muncul di benak Silvana. Namun ia berusaha menahannya.
“Nggak tahu. Pulau itu kayak jauh banget. Kalau mau jalan-jalan yang dekat aja.”
Dengan sabar, Silvana mencoba menjelaskan. “Ibu, Silvana kan udah gede, udah bisa jaga diri. Nggak apa-apa lah jalan jauh. Nanti juga perginya ramai-ramai.”
“Iya, Ibu tahu. Tapi kamu nyeberang laut. Apa nggak takut ombaknya gede?”
Silvana tersenyum. “Ini bulan Agustus, Bu. Musim panas. Insyaallah aman.”
Namun penjelasan itu seolah tak cukup. “Lagian apa nggak kemahalan tiga setengah juta buat jalan-jalan aja? Kan bisa dipakai buat kebutuhan lain.”
Kali ini alasan Ibu Silvana agak membuat Silvana kesal. Kenapa Ibu Silvana melarang Silvana liburan hanya karena biayanya mahal? Bukankah itu sudah jadi hak Silvana? Dia yang bekerja mencari uang, tidak pernah meminta sepeserpun uang untuk biaya kuliah ataupun uang jajan, dan tabungannya adalah hasil keringatnya sendiri. Dan lagi, Silvana bukan anak yang pelit. Ia selalu memberi sebagian besar gajinya kepada ibunya. Meski tidak besar, setidaknya uang itu bisa digunakan untuk tambah-tambah kebutuhan sehari-hari. Silvana tidak pernah egois menghabiskan sendiri uang hasil kerjanya. Ia bahkan selalu menolak kalau Fajar mengajaknya ikut naik gunung atau pergi keluar kota bersama anggota MAPALA.
“Bu, tolong lah, ijinin Silvana liburan. Selama ini kan Silvana nggak pernah ke mana-mana dan nggak pernah ngapa-ngapain selain kuliah sama kerja. Sekali-kali Silvana juga pengen jalan-jalan,” bujuknya setengah mengeluh.
“Iya, Ibu ngerti. Tapi kok kayaknya feeling Ibu nggak sreg ijinin kamu pergi.”
Silvana menghela napas cukup panjang menahan diri supaya tidak marah-marah. Meski saat ini ia kesal setengah mati karena ibunya tidak mengijinkan, beliau tetaplah orang tua Silvana dan Silvana tidak mau jadi anak durhaka yang membentak-bentak ibunya. Akhirnya Silvana tidak punya pilihan lain selain mengeluarkan jurus pamungkas.
“Yah, Silvana udah terlanjur daftar, udah bayar juga. Kalau Silvana nggak ikut uangnya hangus, nggak bisa kembali.” Kalau udah begini, nggak mungkin kan Ibu mau ngelarang lagi, batin Silvana sambil tersenyum dalam hati.