Silvana baru bisa melunasi biaya open trip-nya seminggu sebelum keberangkatan. Sebenarnya ia sudah terlambat dua hari dan beberapa kali dihubungi oleh penyelenggara open trip untuk segera melunasinya. Pembayarannya tertunda karena menunggu tanggal gajian. Sama seperti dirinya, Fajar juga terlambat membayar open trip. Aneh, lagi-lagi, padahal Fajar bisa saja minta uang pada ayahnya untuk melunasi pembayaran open trip. Ketika Silvana bertanya, Fajar hanya bilang ia ingin menemani Silvana supaya cewek itu tidak sendirian terlambat melunasi open trip.
Open trip Pulau Bening yang dinanti-nantikan tinggal seminggu lagi. Selama seminggu itu, Silvana tidak bisa berhenti memikirkannya dengan perasaan senang. Selama ini ia belum pernah jalan-jalan sampai keluar Pulau Jawa. Pasti menyenangkan sekali rasanya jalan-jalan naik kapal menuju suatu tempat yang berbeda. Ia bahkan sudah membeli topi pantai, tas kecil, dan sunglasses.
Dua hari sebelum keberangkatan. Silvana janjian dengan Tyas hendak membeli makanan dan camilan yang akan mereka bawa sebagai perbekalan. Mereka hendak membelinya di supermarket dekat rumah Tyas yang terkenal murah itu. Ujian semester sudah usai tiga hari yang lalu dan libur panjang telah tiba. Silvana dan Tyas janjian pagi menjelang siang supaya Silvana bisa ke kedai kopi tanpa terlambat.
Di supermarket, Silvana membeli beberapa bungkus chiki, kacang atom kesukaannya, biskuit, mie seduh, serta peralatan mandi kecil-kecil. Sedangkan Tyas memborong cukup banyak hingga keranjang belanjaan tidak cukup dan ia pun akhirnya memakai troli.
“Lo beli jajanan sebanyak itu mau lo bawa semua?” tanya Silvana saat mereka antri di kasir.
“Ya enggak. Sebagian gue tinggal di rumah buat adik gue.” Tyas punya satu adik perempuan yang baru masuk kuliah tahun ini, di salah satu perguruan tinggi di Jakarta Barat. Tyas bersyukur tidak perlu satu kampus dengan adiknya.
Silvana mengangguk-angguk. Diam-diam ia memikirkan bagaimana rasanya punya adik. Tyas selalu bercerita adiknya menyebalkan, tapi kadang mereka seperti sahabat. Berbagi makanan, berbagi make-up, bahkan berbagi pakaian dan sepatu. Tidak seperti dirinya, anak tunggal yang selalu kesepian bersama Ibu yang hampir selalu membawa awan mendung ke atas kepalanya.
“Lo berangkat bareng gue aja ya. Gue jemput di depan gang. Gue nanti naik taksi,” kata Tyas.
Lagi-lagi obrolan tentang open trip itu seketika mencerahkan hati Silvana yang mulai bergelayut mendung. “Oke. Jalan jam berapa lo?”
“Hmm… Gue kayaknya berangkat jam setengah enam. Keburu lah sampai pelabuhan sebelum jam sembilan,” kata Tyas. Kapal menuju Pulau Bening berangkat pukul sembilan pagi. "Makan dulu yuk. Lapar nih gue."
"Ayo."
Mereka pun melangkah ke sebuah restoran roti bakar yang tak jauh dari supermarket. Masih ada waktu beberapa jam sebelum Silvana berangkat kerja. Untunglah sekarang sudah libur kuliah, jadi mereka bisa mengobrol sepuas hati sambil menikmati lezatnya roti bakar dan segelas capuccino.
***
Tyas mengabari Silvana bahwa ia sudah jalan dari rumah. Silvana berpamitan kepada ibu dan bibinya, dan berangkat. Ia berdiri di depan gang dengan membawa ransel besar dan tas kecil tempat menyimpan harta benda seperti dompet, handphone, ATM (meski Silvana tidak yakin akankah benda itu berguna, karena ia tidak tahu adakah mesin ATM di pulau terpencil itu), serta sunglasses.
Dalam benaknya, terbetik rasa bersalah saat melangkahkan kaki dari rumah. Rasa bersalah karena telah berbohong, pergi tanpa restu ibunya, dan rasa bersalah karena sering memendam rasa kesal terhadap beliau. Juga rasa bersalah karena Silvana sadar, dirinya ikut open trip karena 'balas dendam'. Tapi toh sekarang ia sudah melangkah keluar dari rumah, dan uangnya akan hangus jika ia tidak jadi pergi. Dan lagi, 'balas dendam' yang dilakukan Silvana bukanlah jenis balas dendam untuk menyakiti, melainkan mendapatkan kesenangan seperti halnya yang didapatkan ibunya saat pergi bersama Om Heri dan teman-temannya tanpa memikirkan keuangan rumah. Silvana masih muda dan ia berhak mendapatkan kesenangan itu.