Kapal semakin jauh meninggalkan Jakarta, hingga bayang-bayang gedung tinggi nan gagah berselimut polusi hilang. Arga benar, begitu jauh dari pantai Jakarta, lautan tampak jernih dan berwarna biru. Persis seperti birunya laut dalam acara 'My Trip My Adventure'. Silvana berusaha keras tidak memekik senang melihatnya (sudah cukup Silvana menunjukkan kenorakkannya di depan anak-anak MAPALA yang sudah kenyang jalan-jalan). Gembira sekali rasanya mendapati pemandangan indah nan menyegarkan lautan biru yang jernih di depan mata, bukan hanya melalui layar kaca. Begitu indah ciptaan Tuhan yang Maha Esa.
Beberapa orang mulai muntah-muntah karena mabuk laut, sebagian lagi tertidur pulas, sedangkan sisanya ada yang merekam video, foto-foto, dan menikmati pemandangan laut lepas seperti dirinya. Sesekali Silvana terdiam, menunggu desakan ingin muntah dari perutnya. Ia sedikit khawatir akan mabuk laut karena ini adalah perjalanan laut pertamanya. Tapi hingga dua jam perjalanan, Silvana baik-baik saja. Tidak merasa pusing dan mual sedikitpun. Mungkin benar, Silvana terlalu gembira untuk mabuk laut.
Silvana menoleh saat mendengar langkah kaki di dek kayu di dekatnya. Ia melihat Fajar tampak limbung sambil memegangi kantong plastik dan melemparnya cepat-cepat ke tempat sampah. Kemudian, ia pun duduk di samping Silvana.
"Kenapa lo, Jar?" tanya Silvana.
"Nggak kenapa-kenapa," jawab Fajar sok cool.
Arga mencibir. "Mabuk laut tuh dia."
Tawa Silvana meledak, disusul Arga. "Najong! Lo beneran mabuk laut, Jar? Idih, anak MAPALA, sering naik-turun gunung masa mabuk laut?!" ledeknya.
"Di dalam juga banyak tuh yang mabuk laut. Wajar kali," dengus Fajar kesal. "Lagian baru kali ini juga gue mabuk laut."
Dengan sisa tawa, Arga menyahut. "Ya elah ngeles lagi. Silvana yang baru pertama kali naik kapal aja baik-baik aja. Nggak norak kayak lo."
"Sialan!"
Mereka cekikikan selama beberapa saat, lalu kembali asyik melihat pemandangan laut. Silvana melihat sekeliling kapal. Dek luar yang dipenuhi orang yang mengagumi pemandangan laut, bagian dalam kapal yang luas dan kosong di beberapa tempat, dan kabin kemudi yang diisi dua orang di dalamnya. Ia jadi membayangkan bagaimana rasanya tinggal di dalam kapal. Ia akan berlayar antar pulau berkeliling Indonesia, atau mungkin keliling dunia. Dunianya bukan lagi hanya kampus, rumah, dan kedai kopi. Ia bebas pergi kemanapun yang ia mau, dan bersandar dari satu pulau ke pulau lain, dan menikmati objek wisata apapun yang ada di sana.
Silvana juga akan mendekorasi sesuka hatinya agar nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. Ia akan mengecat bersih bagian luar kapal dengan warna putih, lalu menghias pagar pembatas dek dengan pita warna merah muda. Kemudian bagian dalam kapal akan dia bentuk seperti rumah. Dengan ruang tamu berisi meja dan kursi kayu, kamar tidur ala kadarnya dengan kasur busa single, dapur sederhana, tempat penyimpanan, dan toilet di bagian bawah. Dan kapal itu akan menjadi sepotong dunia kecilnya sendiri, tanpa campur tangan orang lain. Tapi, bagaimana mungkin Silvana tinggal sendirian di dalam kapal? Ia kan tidak bisa mengemudikan kapal? Tentu saja ia butuh nakhoda untuk menjalankan kapalnya....
"Sil!"
Silvana mengerjap, tersadar dari mimpi singkatnya saat lengannya dicengkram Arga. Ia menoleh dan menatap Arga bingung.
"Kalau ngantuk, masuk aja. Bahaya kalau ketiduran di sini," ujarnya.