The Thread

Anna Onymus
Chapter #9

CHAPTER 9

Silvana hanya perempuan biasa, normal seperti yang lain. Ia bukan cenayang, juga tidak punya kemampuan spesial yang sulit dinalar. Hidupnya selalu berjalan normal, sangat masuk akal, bahkan cenderung membosankan, tanpa keanehan atau guncangan luar biasa selain saat ayahnya meninggal. Tapi ini benar-benar terjadi, Silvana tidak bisa memungkiri walau ia sendiri sulit mempercayainya.

Utas yang dibaca Silvana berminggu-minggu lalu tidak mungkin jadi kenyataan kan? Liburan ini tidak mungkin jadi bencana kan? Silvana berharap ini semua tidak nyata, tapi saat ini teman-temannya sedang dalam bahaya. Mereka harus segera meninggalkan pulau ini sebelum sesuatu yang tak pernah diharapkan terjadi.

"Mungkin ini konyol, tapi gue mohon, kita harus segera pergi dari sini. Kita kasih tahu teman-teman," kata Silvana yang masih tampak panik.

"Sil, lo itu cuma syok. Semua akan baik-baik aja," kata Arga. "Lo tenang dulu ya."

"Gimana mungkin gue bisa tenang?!" sergah Silvana hampir berteriak. "Gimana mungkin gue bisa tenang kalau teman-teman gue dalam bahaya?! Ya, gue emang nggak kenal kalian semua, tapi gue nggak mau kalian kenapa-kenapa."

Fajar mengusap lengan Silvana, berusaha gadis yang sedang syok luar biasa itu. Fajar memang tidak berteman terlalu dekat dengan Silvana. Tapi mereka bertemu setiap hari di kedai kopi dan Fajar cukup mengenal gadis itu. Silvana adalah gadis yang cuek dan to the point. Ia juga mandiri dan tidak suka mendramatisir keadaan. Fajar juga tahu Silvana suka membaca utas horor di Twitter, tapi gadis itu cukup waras untuk bisa membedakan dunia bacaannya dengan dunia nyata yang dijalaninya. "Iya, Sil, gue ngerti. Tapi senggaknya kita harus mikirin dulu gimana caranya kasih tahu teman-teman, dan lo harus tenang. Jangan sampai mereka salah paham dan omongan lo dianggap konyol."

Fajar menyodorkan sebotol air mineral kepada Silvana dan menuntun gadis itu untuk bernapas teratur. Selama bertahun-tahun mengenal Silvana, Fajar tidak pernah melihatnya begitu ketakutan. "Coba, ceritain gimana utas yang lo baca itu."

Sambil berusaha mengendalikan dirinya, Silvana menceritakan secara singkat utas yang pernah ia baca dan menyamakan dengan keadaan yang sedang mereka alami. "Sebenarnya gue sempat merasa utas itu ganjil. Pertama, untuk ukuran utas sekeren itu masa nggak ada satupun yang like atau retweet. Terus pas gue mau nunjukkin utas itu ke Tyas, utas itu tiba-tiba hilang. Gue coba cari judul utas itu di kolom search nggak nemu. Bahkan username penulis utas itu juga nggak ada. Seolah-olah utas itu diposting cuma buat gue baca doang."

"Mungkin yang satu ini subyektif, atau cuma perasaan gue doang. Tapi setelah itu gue kepikiran selama berhari-hari. Bahkan sampai kebawa mimpi. Ya, gue kepikiran karena..." Silvana diam sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat. "Karena aneh aja. Aneh banget malah."

"Kenapa susah-susah?" sahut Sigit. Silvana tidak mengerti bagaimana bisa Sigit yang juga tampak ketakutan bisa berbicara dengan enteng. "Kita tinggal bilang aja yang sebenarnya kalau ada kapal terdampar, awak kapalnya mati, dan ada dua kandang hewan buas yang kebuka, dan mungkin aja sekarang lagi keliling pulau nyari mangsa."

Silvana menghela napas, mencoba menenangkan dirinya yang semakin dicengkram ketakutan. "Udah nggak ada waktu lagi. Kita harus kasih tahu yang lain!"

***

Sebelum memberitahu teman-teman peserta open trip, mereka terlebih dulu memberitahu Mas Toni. Tanpa berlama-mana, Mas Toni ditemani Fajar melihat lokasi kapal yang terdampar menggunakan sepeda motor. Setelah melihatnya sendiri, Mas Toni menyetujui usul Silvana.

"Tapi kita nggak bisa langsung ke Jakarta. Kapal ke Jakarta baru akan datang lusa. Dan itu nggak termasuk paket perjalanan, jadi kalian harus bayar biaya tambahan," jelas Mas Toni.

"Terus gimana, Mas?" tanya Arga.

Mas Toni mengangkat bahu. "Kita bisa stay di penginapan. Sebisa mungkin jangan keluar."

"Nggak!" sergah Silvana cepat. "Kita nggak bisa diam di penginapan. Pokoknya kita harus keluar dari Pulau Bening secepatnya kalau nggak mau ada korban jiwa!"

Mas Toni menghela napas. Kedua alisnya bertaut seolah sedang berpikir keras. "Kalau begitu, jalan satu-satunya kita ngungsi ke pulau terdekat buat sementara. Kita berangkat besok ya, karena sekarang udah sore. Kapal nggak ada yang berlayar."

Meski keberatan, Silvana hanya bisa mengangguk dan berharap mereka akan bisa melalui malam ini dengan lancar tanpa kejadian mengerikan.

***

Lihat selengkapnya