Di pulau kecil yang jumlah penduduknya tidak seberapa ini, berita menyebar begitu cepat seperti virus. Tak butuh waktu dua puluh empat jam bagi para warga untuk tahu tentang berita kapal terdampar itu. Meski belum bisa dipastikan apakah hewan buas yang lepas dari kandang itu jatuh ke laut sebelum kapal itu terdampar atau lepas di Pulau Bening dan sekarang sedang berkeliling pulau mencari mangsa, mereka sudah waspada. Para warga segera mempersiapkan stok kebutuhan sebanyak-banyaknya dan menutup pintu dan jendela rumah mereka hingga hewan yang lepas itu dipastikan tertangkap. Pulau kontan menjadi sepi, hampir tidak ada orang yang berlalu lalang selain nelayan yang baru pulang melaut. Bahkan tampah-tampah yang biasa dipakai warga untuk menjemur ikan asin pun banyak berkurang. Hanya rumah penduduk dengan pagar tinggi yang masih menjemur ikan asin. Sedangkan rumah yang berpagar rendah dan tidak berpagar lebih memilih untuk tidak menjemur ikan asin terlebih dulu.
Sekarang pukul delapan pagi. Kapal yang akan membawa mereka menyeberang pulau terdekat akan datang satu jam lagi. Para peserta open trip sudah berkemas dan sarapan. Mas Toni dan pemilik penginapan meminta maaf atas ketidaknyamanan ini dan menghimbau para peserta untuk segera naik begitu kapal tiba karena kapal tidak akan bersandar lebih dari lima belas menit dalam keadaan seperti ini. Sebagai kompensasi, mereka akan menggratiskan biaya penginapan di pulau terdekat tersebut sampai kapal ke Jakarta tiba.
"Lo baik-baik aja kan, Sil?" tanya Arga ketika mereka selesai sarapan.
Silvana mengangguk. "Much better, gue lega karena kita bakal keluar dari pulau ini secepatnya sebelum, you know, sesuatu yang nggak diinginkan terjadi," jawabnya, walau dalam hati, Silvana masih berdebar-debar selagi mereka belum benar-benar keluar dari Pulau Bening.
"Gue minta maaf udah nggak percaya sama lo kemarin. Gue janji akan ada buat lo kalau lo butuh bantuan," kata Arga sungguh-sungguh.
Silvana tersenyum. "Makasih ya, Ga."
Seusai sarapan, para peserta open trip langsung kembali ke kamar masing-masing tanpa obrolan seperti biasanya. Kapal yang akan membawa mereka menyeberang pulau akan tiba setengah jam lagi. Pak Arif, sebagai peserta open trip yang 'dituakan', berkeliling untuk memeriksa kesiapan seluruh peserta open trip. Seharusnya beliau berkeliling bersama Pak Sandi, namun ia tidak melihat rekannya tersebut.
Hampir seluruh pesera sudah siap. Namun ketika memasuki salah satu kamar, ia mendapati seisi kamar tersebut masih bersantai-santai. Bahkan beberapa orang belum mandi. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Pak Sandi ternyata ada di dalam kamar itu dan masih bersantai seraya makan keripik.
"Kenapa kalian belum siap? Setengah jam lagi kapal datang," ujar Pak Arif antara kesal dan gusar.
Geng Berisik, Aldo, dan Doni tidak menghiraukan Pak Arif. Bahkan Pak Sandi sama acuhnya seperti mereka. Lalu dengan entengnya, beliau menjawab. "Masih setengah jam lagi kan? Masih lama."
Pak Arif hanya bisa menggeleng seraya menghela napas. Sepertinya tidak ada gunanya ia marah-marah atau berusaha memberitahu mereka. Apalagi Pak Sandi yang keras kepala itu. Dan sekarang Pak Sandi ada di pihak mereka. Akhirnya ia hanya memberitahu orang-orang pembangkang yang ada di ruangan itu. "Saya cuma mau kasih tahu sekali lagi kalau setengah jam lagi kapal datang dan nggak bersandar lama. Jadi, kalau sampai batas kapal bersandar kalian belum naik, mohon maaf, terpaksa kalian kami tinggal."
Pak Arif masih berharap ucapannya itu membuat mereka berubah pikiran, namun ternyata peringatannya hanya masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan.
"Ya sudah, nggak masalah kalau kami ketinggalan kapal," kata Pak Sandi mewakili mahasiswa-mahasiswa yang ada di pihaknya. "Nggak masalah kalau kalian buru-buru dan harus segera ke pulau seberang. Kami di sini mau nunggu kapal langsung ke Jakarta. Biar sekalian kami langsung pulang."
"Tapi, Pak...."
"Saya yang akan bertanggung jawab," sergah Pak Sandi final. Ucapannya sudah tidak bisa lagi diganggu gugat.
"Baik, sampai ketemu di kampus kalau begitu," kata Pak Arif mengalah. Ia pun keluar dari kamar itu. Walau sebenarnya ia tidak seratus persen mempercayai ucapan Silvana, tapi ia berharap mereka akan baik-baik saja di Pulau Bening dan kembali ke Jakarta dengan selamat.
Pak Arif berpapasan dengan Mas Toni saat hendak mengambil sepatu di rak. Kebetulan Silvana, Tyas, dan Fajar ada di rak tersebut dan sedang mengenakan sepatu.
"Gimana, Pak Arif? Sudah siap semua?" tanya Mas Toni.
Pak Arif menghela napas dan menggeleng. "Kita berangkatkan aja yang udah siap," lalu tertawa kecil. "Kayaknya mereka terlalu cinta sama Pulau Bening sampai nggak mau pergi dari sini."
Tubuh Silvana menegang mendengarnya. Ternyata ada orang yang masih tidak mempercayai ucapannya. Ia harus memberitahu mereka, bahkan kalau perlu memarahi mereka karena menempatkan diri mereka dalam bahaya. Bagaimanapun caranya, Silvana harus membuat teman-teman satu trip-nya keluar dari pulau ini sekarang juga.
"Sil!" Fajar menahan Silvana saat cewek itu bangkit dari duduknya.