Tak butuh waktu lama bagi Silvana dan rombongan yang ikut bersamanya untuk sampai ke pulau seberang. Ketegangan yang mereka rasakan sejak kemarin perlahan-lahan sirna seiring semakin menjauhnya kapal dari Pulau Bening. Mereka sudah bisa mengobrol dan tertawa lagi. Bahkan beberapa menggerutu soal trip mereka yang tidak tuntas dan uang mereka yang hilang sia-sia. Bagaimanapun, sekarang mereka sudah aman.
Tidak ada penginapan yang akan mereka tinggali selama semalam, karena rencana ini memang sangat mendadak. Tapi untunglah lagi-lagi tiga orang anggota MAPALA, dengan perlengkapan petualangannya, membawa tiga buah tenda yang cukup besar. Sesuai kesepakatan, tenda itu diperuntukkan bagi peserta perempuan. Sedangkan para laki-laki akan tidur beralaskan tikar di luar tenda sambil bergantian berjaga malam.
"Kita udah biasa tidur di tengah hutan, santai aja," kata Tyo sok kuat seraya cengar-cengir.
Sesampainya di pulau seberang, mereka mencari tanah lapang dan menggelar tenda serta tikar. Tak lupa, Mas Toni meminta ijin pada warga untuk berkemah semalam. Secara otomatis, Pak Arif dan Mas Toni menjadi koordinator. Pak Arif meminta para mahasiswa untuk mengumpulkan makanan yang mereka bawa masing-masing. Tidak banyak makanan yang terkumpul. Sebagian besar sudah habis dimakan saat mereka di Pulau Bening, sebagian lagi tertinggal di penginapan karena mereka terburu-buru.
"Jangankan makanan, Pak. Skincare saya aja masih ketinggalan di kamar mandi penginapan," celetuk Jenar.
"Ya udah, nanti kita pikirin lagi. Yang penting masih ada makanan buat malam ini," kata Pak Arif. Pemilik penginapan sempat membawakan mereka bekal berupa setermos nasi, ikan mentah yang sudah dibumbui, sambal, dan lalapan.
Langit mulai menggelap. Semburat warna jingga mewarnai cakrawala. Matahari semakin condong ke ufuk barat. Tyo dan Arga mulai menata kayu untuk digunakan api unggun yang akan menerangi sekaligus menghangatkan mereka. Sementara anak-anak perempuan membersihkan area kemah mereka dan menyiapkan makan malam. Pak Arif dan Mas Toni berjaga di sekitar seraya membantu sesekali.
"Lo kenapa, Sil?" tanya Tyas yang sejak tadi menyadari Silvana jadi pendiam dan tampak murung. "There's nothing to worry about, okay? Kita semua udah selamat dan besok kita udah di Jakarta lagi."
Silvana menoleh. "Iya sih, Yas, kita selamat. Tapi gimana sama yang lain? Yang masih di Pulau Bening?" ia menghela napas sebelum melanjutkan. "Perasaan gue nggak enak. Gue beneran takut mereka kenapa-kenapa."
"Udahlah, Sil, biarin aja. Kan ada Pak Sandi di sana. Lagian mereka udah gede kali, udah bisa jaga diri," kata Tyas enteng.
"Ya, iya sih. Tapi tetap aja perasaan gue nggak enak. Apalagi lo lihat sendiri kan mereka itu orang-orang ceroboh."
"Silvana, lo itu bukan penanggungjawab di sini. Lo peserta, sama kayak kita dan mereka. Yang penting, lo udah kasih tahu dan meyakinkan mereka sebisa lo buat ikut sama kita. Udah, sampai di situ aja tanggung jawab lo. Selebihnya, itu keputusan mereka. Apapun yang bakal terjadi, ya itu tanggung jawab mereka," ceramah Tyas. Ia kasihan pada Silvana yang tampak linglung sejak kemarin. Tyas juga masih teringat bagaimana mulut pedas Cindy dan teman-temannya, juga sikap Pak Sandi yang sok berani itu. Dan itu membuatnya kesal.
Silvana menghela napas. "Kayaknya gue mau balik."
Tyas menatap Silvana tidak percaya, sahabatnya ini benar-benar sudah tidak waras! "Ngapain, Sil?! Udah jelas-jelas mereka nggak mau dengerin omongan lo. Percuma lo balik!"
Ya, Silvana tahu itu. Tapi ia tetap merasa harus kembali ke sana. Mereka butuh bantuan sekarang! Ia takut ada korban jiwa seperti yang dibacanya di utas menyeramkan itu. Apalagi tidak ada kapal yang beroperasi dan semua aktivitas di Pulau Bening terhenti. Jika terjadi sesuatu, mereka akan terjebak dan tidak bisa melarikan diri.
Perasaan resah semakin mendesak. Silvana bangkit dan dengan tekad bulat, ia berkata, "Pokoknya gue harus balik. Gue harus selamatin mereka."
"Tapi gimana caranya, Sil? Nggak ada kapal yang mau ke sana. Lagian ini udah sore, sebentar lagi gelap!" ujar Tyas. Ia tidak mengerti kenapa Silvana jadi aneh begini. Bukan sehari-dua hari Tyas mengenal Silvana, dan ia sudah hapal dengan tabiat Silvana yang cuek terhadap sekitar. Kenapa sekarang tiba-tiba Silvana jadi sangat peduli begini? Pada orang-orang menyebalkan itu pula!
Silvana melangkah ke arah pantai. "Pasti ada cara!" keukeuhnya.