Hari hampir gelap saat Silvana, Fajar, dan Arga tiba di dermaga Pulau Bening. Pulau itu tampak sangat sepi saat mereka sampai, seolah tidak ada kehidupan. Mereka bertiga melepas jaket pelampung dan bersiap turun.
"Pokoknya, kita harus hati-hati dan jangan berpencar," pesan Arga sebelum kami turun dari kapal.
"Oke," sahut Silvana dan Fajar bersamaan. Mereka pun turun dari kapal dan menunggu hingga Fajar selesai menyandarkan kapal.
"Kira-kira pada di mana ya teman-teman kita?" gumam Silvana.
"Gue rasa mereka di penginapan. Mana bakal mereka keluar dalam keadaan kayak gini," sahut Fajar.
Silvana menelan ludah. Jarak antara dermaga dan penginapan cukup jauh. Ia berharap tidak bertemu hewan buas apapun selagi mereka menuju penginapan. Setelah Fajar selesai menyandarkan kapal, mereka melangkah cepat menuju penginapan. Silvana dan Arga melangkah di depan, sementara Fajar mengikuti di belakang. Fajar menghentikan langkah saat kaki telanjangnya menginjak sesuatu yang basah dan sedikit licin. Ia menunduk untuk melihat apa yang diinjaknya dan terkejut saat menyadari itu adalah ceceran darah.
"Silvana! Arga!" panggil Fajar.
Mereka berdua berhenti melangkah dan menoleh. "Kenapa, Jar?" tanya Arga.
Fajar mengangkat kakinya yang menginjak darah, membuat Arga dan Silvana ikut kaget. Dengan ketakutan, Silvana mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari tahu dari mana ceceran darah ini berasal dan mereka menemukan genangan darah, lengkap dengan benda mirip usus terburai di dekat sebuah kapal. Silvana yang tak kuat melihatnya berlari ke ujung dermaga dan memuntahkan isi perutnya. Arga segera menyusul Silvana dan memijit tengkuk cewek itu.
"Apa itu tadi?" desis Silvana setelah selesai muntah seraya menatap dua temannya bergantian. Namun sama seperti dirinya, Fajar dan Arga tampak bingung sekaligus takut.
"Kita harus cepat-cepat jemput mereka."
Setengah berlari mereka menuju penginapan. Tak hanya dermaga, pantai wisata yang biasanya ramai dan toko-toko souvenir di tepi pantai semuanya tutup. Pulau ini seperti kota mati tak berpenghuni. Sesampainya di penginapan, mereka memanggil-manggil pemilik penginapan. Namun tak ada siapapun yang keluar. Seluruh kamar-kamar di penginapan pun sepi dan gelap seolah tak berpenghuni.
"Permisi!! Ada orang?!" Silvana berseru putus asa.
"Permisi!!!" Arga ikut berseru.
Setelah beberapa kali berseru, akhirnya salah satu jendela terbuka. Jendela tempat tinggal pemilik penginapan.
"Kalian ngapain masih di sini?! Bukannya kalian dan teman-teman kalian udah pergi ke pulau seberang?" Sang pemilik penginapan bertanya baik.
"Bu, teman-teman kami sebagian masih di sini. Kami mau jemput mereka. Tolong buka pintunya, Bu," kata Silvana.
Ibu pemilik penginapan diam sejenak, tampak bingung. "Bukannya mereka nyusul kalian nyeberang pulau?"
Jantung Silvana mencelos mendengarnya. "Maksud Ibu, mereka nggak di sini?"
Ibu pemilik penginapan itu menggeleng. "Mereka udah keluar siang tadi nyusul kalian dan nggak kembali lagi. Maaf ya, saya nggak berani buka gerbang. Kalian harus segera pergi dari sini. Ada singa dan buaya muara berkeliaran di pulau ini," ujarnya lalu kembali menutup jendela.
Silvana, Arga, dan Fajar saling berpandangan dengan ngeri.
"Kalau mereka nggak di penginapan, terus mereka di mana?" gumam Arga. "Terus itu tadi apa?"
Silvana dan Fajar sama-sama ngeri memikirkan darah dan usus yang mereka lihat di dermaga. Meski sudah menduga, mereka berharap dugaan itu salah. Mereka berharap genangan darah itu bukan darah teman mereka.
"Nggak ada pilihan lain," kata Fajar. "Kita harus keliling pulau."