Berjalan menggunakan sepatu bot kebesaran terasa sangat tidak nyaman. Silvana tidak bisa melangkah bebas. Beberapa kali ia harus berhenti sejenak untuk menyesuaikan langkah. Untung saja Fajar sabar menunggunya.
Kini hanya tinggal Silvana dan Fajar yang dengan berani berkeliling pulau kecil yang sepi dan berbahaya. Sedangkan Arga masih ditangani di klinik, Dokter mengatakan Arga akan segera membaik. Untunglah mereka segera membawa Arga ke klinik, karena jika terlambat sedikit saja, bisa fatal akibatnya. Sebelum pergi, pihak klinik meminjami mereka sepatu bot dan sarung tangan tebal untuk berjaga-jaga dari gigitan ular.
Fajar melihat arlojinya. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul sembilan malam dan mereka sudah berkeliling tiga perempat pulau. Namun sama sekali belum menemukan tanda-tanda keberadaan teman-teman mereka. Silvana sudah hampir putus asa. Di mana sebenarnya mereka berada? Apakah mereka, entah bagaimana caranya, sudah meninggalkan Pulau Bening? Ataukah mereka sudah menjadi mangsa hewan buas yang berkeliaran di pulau ini? Bagaimana kalau sampai besok mereka tidak menemukan teman-temannya?
"Fajar, berhenti sebentar dong. Gue capek," pinta Silvana. Ia duduk asal di tanah dan bersandar pada pohon besar di belakangnya. Ia sangat lelah dan kehausan hingga sanggup menghabiskan sebotol air dalam sekali tenggak.
Fajar ikut duduk di sebelah Silvana dan menenggak minumannya sendiri. "Kalau lo nggak kuat, mending istirahat aja."
"Dan nunggu sampai besok pagi?" tukas Silvana. "Big no! Kita buru-buru ke sini kan supaya bisa secepatnya nemuin teman-teman kita dan bawa mereka pergi dari sini. Kalau nunggu besok apa bedanya sama kita leha-leha dulu di pulau seberang?"
"Ya nggak nunggu besok juga. Gue yang akan cari mereka."
Silvana menoleh. "Lo udah gila ya? Gue nggak akan ngebiarin lo keliaran sendirian di sini. Apapun yang terjadi, kita nggak boleh mencar," katanya tegas.
Fajar tersenyum. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda, tapi tidak ada salahnya kan mencairkan suasana? Mereka sudah cukup tegang dari kemarin dan sedikit candaan mungkin bisa membuat mereka lebih rileks dan berpikir jernih. "Segitunya banget khawatir sama gue. Iya iyaaa... gue nggak ke mana-mana kok. Gue ngerti lo nggak bisa jauh-jauh dari gue."
Mata Silvana melotot. Ini adalah kedua kalinya ia mendengar mulut brengsek Fajar. Bisa-bisanya dia bercanda dan menggoda Silvana di saat seperti ini. Yang lebih brengsek lagi, kenapa Silvana jadi salah tingkah? "Apaan sih?! Dasar GR!"
Sikap salah tingkah Silvana justru membuat Fajar senang. "Ngelak lagi. Tapi gue rasa kita emang udah ditakdirkan, Sil. Buktinya di thread yang lo baca ada nama Fajar Setiawan, persis kan kayak nama gue? Padahal tokoh lain nggak ada yang namanya sama. Dia juga sosok penolong di thread, sama kan kayak gue sekarang? Bahkan kita benar-benar harus berdua nyari dan nyelamatin teman-teman kita." Fajar semakin iseng. Ia mendekatkan wajahnya di telinga Silvana. "Benar kan, kita emang ditakdirkan buat selalu bersama?"
Wajah Silvana terasa memanas. Ia tidak tahu Fajar berkata serius atau hanya main-main saja, tapi ucapan-ucapan itu seperti panah nyasar yang menancap tepat di jantung Silvana. Kok ternyata Fajar brengsek juga ya! Bisa modus juga dia. Nggak, nggak! Gue nggak boleh baper! "Itu kebetulan aja, nggak usah dihubung-hubungkan!" Silvana bangkit berdiri, sebaiknya ia segera melanjutkan pencarian sebelum semuanya (termasuk hatinya) jadi kacau meski sebenarnya ia masih ingin beristirahat sebentar lagi. "Ayo lanjut."
Fajar ikut bangkit dan mengikuti langkah Silvana di belakang cewek itu sambil senyum-senyum. Perempuan tetaplah perempuan, meski ia tampak sekuat baja. Buktinya perempuan strong dan cuek seperti Silvana bisa tersipu-sipu juga kalau digoda.
Sementara di depan Fajar, Silvana juga melakukan hal yang sama. Bibirnya terus tersenyum di luar kendali. Sialan! Tidak mungkin kan dia termakan gombalan Fajar? Ternyata laki-laki tetaplah laki-laki. Meski ia tampak santun dan cool, tetap saja ada sisi tukang gombalnya.
***