Konser bertajuk Sebuah Kisah Klasik dalam rangka ultah Sheila On Seven ke-22 tahun terlihat ramai dan meriah. Pesan Whatsapp dari Pheenux mengalihkan pandanganku dari Duta dan grup band-nya. Sebuah video rekaman dari konser serupa beserta wajah yang tak asing, siapa lagi kalau bukan Pheenux memenuhi sebagian ruang layar video.
Ah Pheenux, demikian aku memanggilnya hingga sekarang. Nama Pheenux, lahir karena temanku ini suka sekali mengatakan; lha, kok pinuk? Yang artinya; lha, kok enak? Yang disertai kata sindiran. Karena seringnya dia mengatakan itu, lama-lama dia mendapat gelar sesuai dengan kata andalannya tersebut.
Pheenux menonton SOS langsung rupanya. Aku segera membalas pesannya dengan emoticon menangis guling-guling. Tak lama balasan emoticon tertawa mengerling menghentikan jariku untuk menuliskan kata sahutan.
Pada obrolan lain aku menghubungi Citonk via jaringan pribadi mengabarkan tentang Pheenux.
Kalau Citonk, dia mendapatkan nama itu gara-gara tubuhnya yang gemuk hampir menyerupai gentong. Penyebutan itu terjadi tanpa sengaja dan terduga. Tercetus begitu saja, tanpa ada tedensi body shaming. Panggilan itu justru hadir sebagai tanda sayang.
Tak beda dari dua kawanku itu. Aku pun mendapat julukan nama; Sushie. Selanjutnya entah bagaimana ceritanya adik-adik angkatan di UPL lalu menambahkan awalan ‘Mak’ pada nama Sushie, jadilah nama panggilanku Mak Sushie. Meski pada akhirnya mereka memanggilku hanya dengan ‘Mak’ atau ‘Mamake’.
Ketika mendengar mereka memanggilku Mamake sebenarnya terasa ambigu. Pasalnya kalau dari segi penampilan aku sama sekali tidak mencerminkan wanita keibuan alih-alih gagah perkasa. Malahan sebelumnya banyak yang bilang kalau jalanku mirip preman mau memalak orang. Nah, biarlah. Yang jelas, anak-anak yang memanggilku Mamake, mereka itu adik angkatan yang kubimbing dengan kasih sayang layaknya ibu tiri.
Lama juga Citonk mendaratkan balasan. Dia tidak sedang online. Aku pun konsentrasi lagi pada SOS yang sedang menyenandungkan lagu Sahabat Sejati.
‘Lagu kita’