Pendakian Gunung Lawu
*H-1 Pra Operasional: Mangkir
Aku bergegas keluar ketika ada suara yang berhasil membebaskan diri dari acara rapat yang hanya membuatku seperti sapi ompong. Blank, sobat! Dua minggu lalu aku baru saja dinobatkan sebagai Anggota Biasa (AB) UPL MPA UNSOED. Satu minggu kemudian aku dapat kutukan menjadi Koordinator Publikasi untuk acara Festival Lingkungan Banyumasan dalam rangka ultah UPL yang ke-21.
Kepala suku yang seharusnya menjadi atasanku kabur. Entah bagaimana silsilahnya tiba-tiba aku dapat ucapan selamat dari teman seangkatanku mengatakan bahwa aku yang masih bau kencur, kunyit dan segala bumbu dapur (sebelumnya pas jadi Anggota Muda pernah jadi sie konsumsi untuk Pendidikan Dasar) naik pangkat jadi koordinator publikasi. Sempat melongo bingung. Biasa mengkondisikan cabai, wortel dan tetek bengeknya jadi makanan ‘agak’ layak makan. Mengatur panci, wajan, tungku beserta kawan-kawan eh, sekonyong-konyong harus mengatur orang dan selebaran.
Dengan berat hati setelah ditawari bebek goreng sama ketua pelaksana, Mbak Riana, diriku ini ho-oh, ho-oh saja.
Citonk dan Pheenux cengengesan menatapku. “Jadi ikut ke Lawu, nggak?” Citonk menembakku tepat dipusat nafsu sampai membuatku ngiler kayak orang ngidam.
“Kapan?”
“Besok,” sambar Pheenux berapi-api.
Bersamaan dengan itu sebuah palu menghantam kepalaku. Job-mu, Sush!
“Besok pagi? Besok hari Rabu ini?” tanyaku bertubi-tubi setengah syok. Padahal besok aku harus mulai publikasi pasang-pasang pamflet dan bagi-bagi leaflet. “Hah! Gila, apa? Aku lagi banyak kerjaan.”
“Iya, subuh besok kita harus berangkat. Semua sudah siap. Tadi kami habis ke Ajibarang pinjem tenda. Tahu, kan tenda kita?” ujar Citonk. Tenda sekre kami, UPL maksudnya, sedang rusak dan satunya sedang dalam perbaikan.
“Nggak bisa mundur sehari, dua hari?” rengekku.
“Nggak bisa! Udah telanjur buat janji sama teman di stasiun Klaten. Kalau dia punya HP, sih, nggak masalah, dia nggak ada, susah menghubunginya.” tolak Citonk mentah-mentah.
“Hari gini nggak punya Hape? Teganya, teganya, teganya....” aku langsung menyanyi dangdut. Padahal waktu itu keberadaan ponsel juga masih sangat jarang. Ibarat mencari uban di umur dua puluhan.
Ini kesempatan besar, Sob. Ini pertama kalinya aku dan dua mahluk yang menculikku dari acara rapat tadi akan mendaki gunung tanpa senior yang selalu super cerewet. Dan aku membayangkan ini akan terasa menyenangkan karena kami akan mendaki minus cowok. Lalu si Ali teman kampus Citonk dan Pheenux... ah, anggap saja cewek.
“Ayo, ikut nggak?” desak Citonk.
“Kenapa besok, sih?” protesku lagi.
”Mumpung aku sama Citonk belum sibuk di kepanitiaan.” lontar Pheenux.