Pendakian Gunung Lawu
*Hari Pertama Pra Operasional: Sebuah Epic Mengejar Kereta
Tepat pukul empat, Mbak Nia__weker hidup, tetangga kamar Citonk yang telah dipesen supaya bunyi untuk kami, menggedor-gedor pintu kamar. Kami mengerang satu sama lain. Namun kemudian, otak sadarku telah menggerakkan tubuh menuju kamar mandi.
Kebiasaan di rumah. Jadi setiap pagi bapakku yang tentara sudah meniup peluit di depan pintu kamar kami anak-anaknya supaya bangun pagi. Setelah itu kami dibariskan layaknya apel pagi sebelum melaksanakan tugas masing-masing. Makanya begitu dengar suara Mbak Nia, serasa mendengar lengkingan peluit bangun pagi.
“Heh, cepatan bangun!” seruku melihat Citonk dan Pheenux yang masih akrab dengan selimut. “Ayo keburu keretanya berangkat.” Tanpa ampun selimut aku tarik dari tubuh Citonk dan Pheenux.
Pukul lima lewat sepuluh menit, kami sudah berada di sekre. Biasa mencari bantuan buat mengantar ke stasiun. Setelah berjuang membangunkan para hantu sekre (sebutan untuk anggota UPL yang suka tidur di sekretariat) akhirnya ada juga yang terpedaya dengan jeritan alarm kebakaran ala Trio Meong: Sushie, Citonk dan Pheenux.
Mas Dedi, Keling, dan Indra sambil kucek-kucek mata langsung menyalakan motor dan mengantar kami bertiga. Jadi curiga jangan-jangan mereka mengendarai motor sambil tidur.
Ini pertama kalinya aku membonceng motor dengan beban tas carrier segede gajah di punggung. Bisa dibayangkan bagaimana tuh, rasanya. Mau pegangan ke pinggang atau memeluk perut Keling sekalian bukan mahrom. Jadilah aku menyisakan ruang di tengah jok motor untuk pegangan. Berkali-kali aku nyaris terbanting ke belakang. Tangan kram dan jantung deg-deg plas tidak karuan. Keling sepertinya sedang mimpi jadi Valentino Rossi. Tidak sadar ada penumpang yang jumpalitan berperang melawan arus angin.
“Hei, cepeeet! Keretanya mau berangkat!” teriak Pheenux yang tiba duluan sehabis beli tiket.
“Makasih, Mas!” seruku dan Citonk sambil lari ngacir. Kami berlarian berlomba mengejar kereta yang tetap cuek melaju. Tidak berperikeretaan, tuh kereta, tidak kasihan melihat ada tiga cewek yang aslinya manis-manis harus lari-lari dengan carrier besar mengejar dirinya.
Jangan bayangkan kereta ekonomi dulu ber-AC dan semua penumpang duduk. Bahkan di peron pun orang-orang tanpa tiket bisa masuk. Banyak pedagang asongan pula. Dan kejadian mengejar kereta seperti itu rasanya tidak akan terjadi untuk saat ini.
Setelah menjelajah dari gerbong ke gerbong dan sempat kena omelan sama orang-orang yang secara tidak sengaja kena tas gajah kami, akhirnya menemukan tempat duduk di gerbong tiga. Kereta zaman dulu, nomor tempat duduk di kereta tidak menjadi patokan si pembeli tiket harus duduk di kursi yang tertera di tiket. Azaz bebas rebutan kursi menjadi hal biasa, atau siapa cepat dia dapat. Begitu prinsipnya.
Kami menghembuskan napas hampir bersamaan. Fiuh, nyaris saja ketinggalan kereta.
“Pemanasan yang indah,” komentar Pheenux mengatur jalannya napas.
Aku dan Citonk manggut-manggut tanpa bersuara sibuk menertibkan udara yang masuk melalui lubang hidung. Kemudian bermacam obrolan mengalir seadanya.
Sekitar pukul sembilan tiga puluh menit, kereta berhenti di stasiun Klaten, kami langsung mencari-cari Ali. Bukan Ali topan anak jalanan, loh! Bukan pula si Boy anak jalanan, nah lho kok? Tapi ini Ali sang guide perjalanan kami ke Lawu, syukur-syukur bisa merangkap jadi porter. Maklum kami ini masih amatir dalam hal pendakian. Baru satu gunung yang kami daki yaitu Gunung Slamet itu juga karena hukumnya wajib bagi Anggota Muda atau sering disingkat dengan AM. Ini pendakian kami kedua, sekaligus pendakian pertama tanpa disertai senior UPL.