Pendakian Gunung Lawu
*Hari Pertama Operasional (H1OP: 15.30 - 21.00 WIB): Memangsa Malah Termangsa
Pukul 15.00 WIB setelah bayar uang masuk di pos yang berada tepat samping gapura bertuliskan Cemoro Sewu kami berempat sibuk kembali dengan aktivitas mengambil air dan salat Asar. Pasalnya menurut guide Ali, air baru ada di sumber air Drajat beberapa meter dari puncak. Bertambah beratlah beban carrier kami. Ali yang mempertaruhkan harga dirinya sebagai pejantan saja sempat protes tentang barang bawaan kami.
“Gila, kalian mau jualan di puncak?” keluhnya sambil berkali-kali mengelus dada.
“Ada deh, mau tahu ajah!” sahut kami kompak.
Setengah empat kami mulai start naik. Kawan, tahu enggak sih, ternyata walau tidak tampil dengan make up atau baju seksi. Kami bertiga berhasil menggaet dua cowok lagi. Hebat, tho? Tentu saja, tampang kami yang cute (sok kalau pada mau muntah) meski tanpa riasan telah membuat mereka berdua seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.
Jadi nanti tinggal rayu-rayu sedikit pasti nanti mereka mau membawakan carrier kita. Huehehee... Mereka itu Alex dan Kisky asal Bogor.
Jalur pertama yang harus kami lalui berupa jalan undak berbatu. Baru beberapa tapak, napas sudah mulai terdengar berat.
“Slow motion, aja ya, gaes!” desahku hampir kehabisan napas.
“Iyahh,” sahut Citonk tak kalah lemah yang berjalan di belakangku.
Sesuai dugaanku, Pheenux masih terlihat sangar. Sejak zaman diksar (Pendidikan Dasar UPL MPA yang kiblatnya organisasi Pecinta Alam Wanadri. Satu organisasi pecinta alam yang umurnya paling tua dan prestasinya teramat luar biasa, sudah mengatamkan seven summit dunia. Sementara UPL baru merangkaki empat dari tujuh puncak tertinggi di setiap benua. Wanadri menyelenggarakan pendidikan dasar selama satu bulan, sedangkan UPL mengambil setengahnya. Tetapi jangan salah, meski cuma dua minggu rasanya sudah setengah mati. Aku tidak bisa membayangkan diksar Wanadri yang sampai sebulan, sudah pasti aku bakal melarikan diri).
Kembali pada Pheenux si perempuan perkasa, bahkan saat melintas Gunung Slamet pun, cuma dia yang mampu berdiri tegak menempuhi pelawangan hingga puncak. Yang lain, harap maklum, karena masih amatir jalannya pada merangkak dan merayap.
Apa karena bapaknya tentara ya, dia terbiasa dilatih lari-lari keliling komplek asrama setiap hari sambil bawa ransel. Bapakku juga tentara, dulu sempat diajak lari-lari juga sih, tapi pada saat itu aku tiba-tiba datang bulan, belum pakai pembalut hingga celanaku bersimbah darah. Sejak saat itu Bapak tidak pernah mengajak aku lari-lari lagi. Ada dua kemungkinan mengenai hal itu, pertama trauma aku bikin malu lagi dengan darah haid di pantatku. Kemungkinan kedua, takut disangka menyiksa anak sampai berdarah-darah sedemikian rupa. Efeknya jadi kayak gini nih, loyo, letoy.
Satu setengah jam kemudian kami beristirahat agak lama di pos satu. Sebuah shelter jadi pilihan ternikmat untuk meluruskan kaki. Tentu saja, setelah selama perjalanan tadi waktu istirahat hanya sekedar mengambil napas.
Pendaki zaman now akan mendapati warung yang menyediakan aneka makanan bagi pendaki. Tidak seperti dulu yang terasa masih alami. Bahkan sepeda motor katanya sekarang bisa sampai ke pos satu ini.
Aku melihat berkeliling. Vegetasi pohon cemara masih menemani langkah kaki. Tidak salah kalau jalur ini dinamai dengan nama Pos Cemoro Sewu.
“Hehe… lumayan!” desisku sebelum meneguk minuman dari botol air mineral palsu. Cuma casing-nya saja yang bermerk, dalamnya air sumur Citonk.
“Lumayan apa, Sush?” tanggap Pheenux.
“Lumayan ngos-ngosan, apalagi?” balasku yang nyaris bareng dengan celoteh Citonk. Kami lalu tertawa.
“Nih, makan snack dulu!” tawar Kisky membuat mata kami langsung berbinar-binar.
“Asyik… Yah, bagi dong Pin!” Aku kalah serobot dari Pheenux.
“Tenang, tenang semua kebagian.” kata Citonk sok dewasa meski umurnya satu tahun lebih muda dariku dan Pheenux. Tapi melihat mukanya, mupeng tenan!