Pendakian Gunung Lawu
*Hari Kedua Operasional (H2OP : 06.00 – 12.00 WIB): Peni, Aku Menunggumu!
Seperti dugaanku, paginya tubuh kami benar-benar terasa enak-enak gimana gitu. Semalaman kami tidur sambil pijat refleksi khusus area punggung. Matras dan sleeping bag_SB tidak bisa meredam aksi batuan yang menusuk-nusuk tubuh kami.
Wah, terperangkap!
Sebuah flysheet menutup seluruh tenda kami. Depan pintu masuk tenda Ali tampak bergelung dalam SB-nya. Sebelahnya entah ada siapa tidak tahu. Yang pasti dalam flysheet para cowok terkapar dalam kantung tidur masing-masing.
“Nux, nggak bisa keluar!” jeritku tertahan “Aku mau pipis.”
“Bangunin aja mereka!” saran Pheenux ikut melongok di pintu tenda.
Seorang anak tampak bergerak-gerak, dia Noly. Dengan wajah masih bau aroma kantuk dia berkoar-koar membangunkan teman-temannya. Tapi tak satupun bergeming bahkan satu di antaranya malah ada yang bergumam masih terlalu pagi, tanpa membuka mata.
“Sebentar aku buka ikatan yang sebelah sana,” kata Noly bergerak ke ujung flysheet. “Udah lompatin aja!” katanya lalu menyusup kembali ke kantung tidur.
Pagi ini jatahku masak dibantu Ali yang tiba-tiba ikutan bangun. Sementara Pheenux dan Citonk mulai mengemas barang-barang yang ada dalam tenda. Biar cepat, tinggal bongkar tenda, packing dan berangkat!
Sayang semua melenceng dari rencana operasional. Jam keberangkatan jadi mundur. Gara-gara anak-anak Yogya pada telat bangun dan tidak segera menggulung flysheet mereka. Pheenux jadi terlambat packing menunggu tenda dilipat. Walau komentar mereka tidak enak di telinga untungnya ada itikad baik dengan membantu kami melipat tenda.
Jalanan berbatu dengan kondisi nge-track tanpa bonus landai kami lalui. Tetap dengan prinsip pelan-pelan asal sampai, kami berjalan sambil menghitung jumlah langkah. Pelan euy….
Matahari pagi bersinar cerah, kadang sinarnya yang nakal berhasil menerobos dari sela pepohonan yang masih lumayan banyak dibanding jalur Bambangan Gunung Slamet pasca kebakaran. Rasa lelah menyergap. Apalagi keempat cowok Yogya terlalu cerewet mengomentari pijakan kaki kami tersebut. Membuat lelah yang menghimpit semakin menggencet habis napas kami.
“Oh, jadi ketiga cewek ini mapala.” ucap Kunyit ketika kami melepas lelah sejenak mengatur napas.
Kata Ali di sini adalah Pos III. Ternyata tidak terlalu jauh dari tempat kami nge-camp semalam. Kurang lebih memakan waktu lima belas menit saja. Yah, mau gimana lagi. Sudah telanjur mogok mesinnya tidak mau jalan.
“Mapala? Wow!” komentar Ujang.
“Capek ya?” tanya Kentang.
“Aku kira Mapala nggak kenal lelah.” oceh Ujang lagi. “Yuk, jalan lagi… katanya Mapala, harusnya kuat dong. Masa baru jalan sebentar udah ngos-ngosan.”
“Berisik banget!” kedumelku kesal, pasti wajahku sudah terlihat berlipat delapan.
“Ada yang marah, nih?” sindir Ujang cengengesan.
“Santai, Mbak!” ucap Kunyit coba mendinginkan suasana yang mulai memanas
You know? Tanganku sudah mulai terkepal. Ingin sekali membungkam mulut mereka pakai bogem mentah. Sifat temperamenku ditambah beberapa jurus silat yang pernah kupelajari saat SMA dan Kempo ketika masuk bangku kuliah, selalu membuatku ingin mempraktekkan ke orang lain secara nyata. Mungkin juga sebagai manifestasi karena gagal menjadi atlet pencak silat.
“Biarin aja Sush, aku juga kesal. Kita buktikan saja kalau kita bisa,” nasihat Citonk terdengar bijak dan masuk akal.
“Tapi mereka sungguh menyebalkan!” rutukku sekali lagi. “Apaan Pheenux. Dia malah melayani celotehan mereka.”
“Ya deh, aku diam,” ucap Ujang dengan suara keras, dan dia masih bersikap acuh tak acuh. “Eh, Peni kuat ya?” puji Ujang. “Idih, kenapa diam aja. Ups! aku lupa, aku kan nggak boleh ngomong.” Ujang langsung menutup mulutnya.
“Peni, siapa tuh!” sungut Pheenux.
“Pheenux, Bleh!” Kunyit membenarkan. “Jalan yuk! Hampir sampai kok.” rayu Kunyit lebih bersahabat.
“Sampai Pos IV?” tambah Kentang senyum-senyum geli.