Pendakian Gunung Lawu
*Hari Operasional Kedua (H2OP: 12.00 – 20.00 WIB): Ketika Kepongahan Jatuh
Kali ini lagi-lagi Citonk yang pertama berjaya di puncak Lawu. Juara dua Pheenux. Terakhir aku dalam pengawalan Ali. Baik banget kamu, Li!
Jiwa penasaranku membuatku berkeliling melihat-lihat keadaan. Puncak Lawu berupa dataran cukup luas yang di tengahnya terdapat semacam tugu dari batu. Sekitar tugu itu banyak batu besar-kecil berkumpul mengelilingi tugu seakan ingin menemani keangkuhan si tugu batu.
Namun, tugu mungil dengan batuan menghamba padanya tak lagi tampak sekarang. Yang terlihat sebuah monumen permanen nan megah dengan tempelan batu alam serta plakat dari semen bertuliskan Puncak Lawu beserta ketinggiannya 3.265 mdpl. Sementara batuan yang dulu berkumpul telah berubah menjadi undakan dari semen. Semacam prasasti juga menyembul diundakan bertuliskan Puncak Hargo Dumilah.
Gunung Lawu memiliki tiga puncak; Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah. Kami saat itu tidak tahu kalau kami juga sudah menjejak di puncak Hargo Dalem di mana warung Mbok Yem berada. Hanya puncak Hargo Dumiling yang sama sekali belum terjejak karena letaknya yang jauh dari jalur pendakian via Cemoro Sewu.
Aku, Pheenux dan Citonk jelas tak mau melewatkan acara paling narsis sedunia. Setelah puas berfoto-foto ria, karena cuaca yang terik kami lalu berteduh di antara semak-semak yang lumayan besar. Acara makan siang sederhana bersama digelar, dengan menu roti tawar dengan isian selai. Suasana akrab mulai terjalin. Akhirnya kami bisa berbincang biasa dan bahkan tertawa bersama. Tak lupa saling tukar-menukar alamat.
Pukul 14.00 WIB kami merayap turun. Seperti biasa acara turun selalu lebih cepat dari pada naik. Tiba di sumber air drajat kami sempatkan mengambil air. Selanjutnya adegan kejar-kejaran terjadi lagi. Seru seperti balapan moto GP.
Kunyit dan Ujang dengan tidak sopannya mendahului Valentino Rossi, Pedrosa dan Lorenzo (ibaratnya aku, Pheenux, dan Citonk). Kami jelas tidak mau kalah. Tetapi tetap saja kami kalah cepat. Dan alangkah terkejutnya kami begitu sampai Pos III yang terdapat shelter.
Kupikir ini menjadi alasan mereka turun sambil lari tidak mempedulikan tiga cewek yang sedang mengejar-ngejar.
What? (pakai mulut nganga lebar). Mau masak? Melihat Kunyit sedang menjerang air panas sambil memegang mi instan, sudah pasti mereka ingin memasak dan makan. Aku melihat ke jam tangan. Target Pos I bisa tidak tercapai, woi!
Sumpah aku super gregetan! Kalian masih ingat kan, bapakku tentara. Jadi sifat disiplin melekat dalam nadiku. Pokoknya anti yang namanya jam karet seperti yang biasa dipakai oleh orang Indonesia pada umumnya.
Tanpa rasa berdosa mereka menikmati mi hasil masakan Kunyit tak terkecuali Ali. Aku, Citonk dan Pheenux saling pandang sambil menghela napas sekaligus menahan air liur. Semacam dilema. Ikut makan, kok rasanya memperlama perjalanan, tidak ikut makan tapi perut merajuk meminta mi itu.
“Peni, mau mi?” tanya Ujang. Pheenux menggeleng. “Citonk sama Sushie?”
“Nggak, makasih.” sahut Citonk ikutan menolak.
“Tapi tehnya boleh tuh. Hehe....” kata Pheenux mendekat meminta teh panas.