Pendakian Gunung Lawu
*Hari Ketiga Operasional (H3OP 09.00 – 15.00 WIB): Peni, Aku Padamu!
Pukul 09.00 WIB kami baru turun. Imbas dari bangun kesiangan. Tapi sebenarnya tidak banyak berpengaruh sebab dari Pos I ke gerbang pos pendakian sudah tidak begitu jauh.
Kaki Citonk pagi ini sudah sedikit mendingan. Begitu tiba di pintu masuk pendakian, Kunyit n the gank langsung menghambur berlarian keluar kayak kera yang baru saja keluar dari hutan, nanar melompat sana melompat sini. Mau tak mau kami rombongan Purwokerto jadi ikutan menari-nari sambil tertawa mengikuti gerak mereka. Like life is beautifull, pokoke!
Acara berikutnya mandi-mandi, terus menuju stasiun. Sampai sejauh ini hubungan kami bersepuluh tambah akrab dan meriah. Apalagi setelah virus kegilaan menjangkiti aku, Pheenux dan Citonk. Enjoy, jadinya. Tidak merasa bosan manakala harus lumutan menunggu kereta yang baru datang dua jam lagi.
“Peni, aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” tiba-tiba Ujang berkata serius saat kami masih di peron stasiun. Perlu diingat dulu stasiun kita seketat dulu, semua orang bisa masuk peron walau belum beli tiket.
“Ngomong aja, ada apa?” balas Pheenux.
“Aduh, jadi grogi. Di sini banyak orang, ntar di kereta aja yah.” kata Ujang malu-malu.
“Terserah!”
Kami yang mendengar langsung bercicit-cuit meniru Joshua. Wek wek uwek juga ada. Kebun binatang dadakan muncul di peron kereta.
Bak pasukan perang kami langsung berdiri sigap manakala moncong kereta meniupkan peluit tanda perebutan kursi akan segera dimulai. Kami segera berderap menyerbu kereta. Sungguh tidak sia-sia aku, Citonk dan Pheenux membawa bodyguard bertampang sangar. Buktinya kami semua mendapat tempat duduk jadi satu. Bersebelahan kanan-kiri, depan-belakang. Pesona preman yang luar biasa!
Kira-kira lima gelindingan roda kereta, Ujang nongol di grup Purwokerto, mulai merayu Ali. Loh, kok jadi Ali?
“Ali, kamu itu baik hati, kan?” ucap Ujang di ujung kursi Citonk. “Kita tukar tempat duduk, yuk!” Ujang menggusur Ali yang duduk tepat berhadapan dengan Pheenux dekat jendela.
“Jangan mau Li,” Pheenux mengompori Ali.
“Boleh, nggak masalah.” ucap Ali mengalah lalu berdiri. Sungguh tampak teramat sangat pengertian.
“Mau ngomong apa?” sergah Pheenux saat Ujang berhasil menguasai tempat duduk Ali.
“Wow, galak banget, Nyit!” seru Ujang pada Kunyit yang duduk di seberang. “Aduh, malu aku.” Ujang berlagak malu menutupi mukanya pakai topi kumalnya. “Wah, bau banget ternyata.”
“Emang topi siapa?” tanya Citonk.
“Hehe... topiku, udah satu tahun nggak aku cuci.” ceplosnya tanpa rasa bersalah.
“Hueek!” aku langsung menutup hidung.
“Jorok, ih!” komentar Pheenux. “Cepat ngomong aku mau tidur, nih.” ucap Pheenux lagi.
“Yah, masa tidur. Kita, kan bisa ngobrol dulu, ya nggak Cit?”
“No comment!” sahut Citonk yang duduk di sebelah Ujang.
“Makanya langsung ngomong aja, jangan bertele-tele.” lontar Pheenux tidak sabar.
“Aku padamu, Pen!” seru Ujang setelah beberapa kali saat belum naik kereta dia juga sudah berkoar-koar demikian. Mukanya langsung berubah lucu seperti anak kecil yang habis diberi sekantung permen cicak. Kalau ada yang tidak tahu permen cicak, itu permen yang bentuk bulat kecil-kecil seukuran telur cicak dan berwarna-warni. Permen jadul intinya.
“Padamu negeri?” balas Pheenux sambil membuang pandangan matanya keluar jendela.
“Hayo, Pheenux?” goda aku dan Citonk.