Pendakian Gunung Salak
*Prelude
Ternyata virus kangen tidak hanya melanda kami; aku, Pheenux dan Citonk. Dua bulan kemudian saat ada momen tujuh belasan anak Yogya sudah mengajak kami melakukan pendakian berikutnya. Rencana awal, sih, ingin naik Gede-Pangrango. Tapi ternyata kami yang dengan bangga mengatakan ingin menjenguk gunung yang berdomisili di Provinsi Jawa Barat ke anak sekre lain, malah mendapat berita duka kalau Gunung Gede-Pangrango tidak menerima pendaki pada tanggal 17 Agustus. Wah, kecewa berat!
Katanya sih, takut populasi pendaki bakal meledak dan menimbulkan lautan sampah. Yah, kebanyakan pendaki memang tidak peduli dengan sampah. Mereka dengan semena-mena membiarkan bungkus-bungkus makanan mereka tercecer merana di gunung yang dingin. Kasihan, kasihan, kasihan.
Akhirnya setelah mengadakan diskusi panjang kali lebar lewat telepon kabel yang ada di kos Citonk pilihan jatuh pada Gunung Salak. Maksudnya biar tidak jauh-jauh amat dari tujuan semula.
Sayang referensi tentang tetek bengek Gunung Salak tidak ada di pusdok (pusat dokumentasi) sekre UPL, mungkin dia sedang ingin bermain petak umpet dari kami. Pasalnya penanggungjawab Pusat Dokumentasi mengatakan ada data pendakian gunung itu.
Terpaksa deh, mendaki pakai ilmu kiralogi.
*Hari Pertama Pra Operasional (08.10 - 10.30): Jangan Biarkan Kereta Lewat Lagi, Sushie!
Benar saja kawan, ilmu kiralogi tidak memuluskan jalan kami. Dari awal kami sudah salah jalan. Kami tidak tahu informasi mengenai keberangkatan kereta ke Bandung. Padahal kalau kami berkegiatan dengan anak UPL atau atas nama organisasi, transportasi dan akomodasi semacam ini sudah tercantum di RO (Rencana Operasional) yang mirip semacam proposal, sehingga tidak akan tersesat seperti sekarang.
Kami tiba di stasiun Purwokerto pukul 08.10 WIB demikian pun dengan geng Yogya tak jauh dari jam kedatangan kami. Padahal kereta menuju Bandung dengan keberangkatan dari Purwokerto berangkat pukul 06.45 WIB. Atas saran petugas loket, kami bisa ikut kereta keberangkatan dari Kroya pada pukul 10.35 WIB. Jadilah kami naik kereta dulu sampai stasiun Kroya. Oh ya, kami memang sepakat bertemu di stasiun Purwokerto lalu berencana berangkat bersama ke Bandung.
“Memang nggak apa-apa nggak beli tiket?” tanyaku was-was.
“Tenang, kan ada Ujang.” kata Ujang membusungkan dada.
“Benar, wajahmu kan horor, jelas petugas tiket bakal takut.” smash Pheenux.
“Santai Sush, kalau ada pemeriksaan tiket tinggal bayar aja. Gampang.” timpal Citonk menjawab rasa was-wasku.
“Aku juga sering nembak!” aku Ali kemudian. “Lumayan hemat. Bisa bayar separuhnya atau malah kurang dari itu, hee….” Kereta zaman dulu memang bisa saja ada penyelundup. Penumpang gelap, tanpa tiket.
“Wah, ilegal!” bisikku miris.
Bagaimanapun aku ini kan, anak manis. Selalu taat aturan. Bahkan karena begitu taat aturan, dulu waktu pertama masuk SMP pas OSPEK dan masih pakai baju SD aku memakai seragam lengkap anak SD, pakai topi dan dasi. Padahal waktu itu tidak ada yang memakai dasi. Kena lah aku! Ini SMP nduk bukan SD. Kesasar ya? Celetuk Pak Pembina Upacara membuat mukaku merah kuning hijau.
“Sesekali-kali jadi anak nakal, Sush.” kedip Pheenux.
“Jadi anak nakal jangan ajak-ajak!” jitak Ujang ke kepala Pheenux.
“Sembarangan!” Pheenux melotot.
“Memang kamu minta ijin ortu kalau naik gunung?” sentil Ujang.