Pendakian Gunung Salak
*Hari Pertama, Menuju Hari Kedua Pra Operasional (17.30 – 07.00 WIB): Selaksa Cinta Satu Malam
Hari mulai gelap. Kami segera mencari angkutan ke sekretriat Astacala yang beralamat di jalan Telekomunikasi, Dayeuhkolot. Dan waktu itu sungguh saat yang tidak tepat untuk mencari angkot. Jam-jam segitu jam pulang kantor dan pabrik wilayah Bandung. Kami harus berjuang kejar sana kejar sini agar dapat peluang naik ke angkot. Dengan berat hati rombongan terbagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama terdiri dari aku, Pheenux, Citonk, Teh Mei dan Kentang. Kelompok kedua sisa dari empat orang yang lain.
“Pheenux, tunggu aku! Jangan tinggalkan diriku!” Ujang sempat mendrama dengan mengejar angkot yang kami tumpangi sambil menyerukan nama sang pujaan hati. Tapi apa daya, angkot sudah kelebihan muatan.
“Ih, kok merinding.” bisik Pheenux yang berbuah tawa ngikikku.
Dan tahu tidak, kami pikir meski dapat tempat di tengah angkot kami bisa duduk. Jangan harap kawan, ini bukan Purwokerto yang selalu menyediakan jengkok (tempat duduk pendek mungil) untuk ditaruh di tengah di sela tempat duduk angkot resmi meski dilarang. Kali ini aku benar-benar membela para sopir angkot Purwokerto. Aku yang tadinya sebal dengan keberadaan jengkok atau kalau orang Jawa bagian timur menyebutnya dengan dingklik, mendadak mendukung para sopir di kota asalku sana, yang menyembunyikan jengkok untuk dipakai saat darurat seperti sekarang ini. Gara-gara tiada jengkok, aku n the genk harus rela jongkok di tengah angkot dan dijepit lutut-lutut penumpang lain.
Setelah kaki semutan akhirnya kami bisa duduk pada tempat yang semestinya. Selama perjalanan kami selalu waspada dan berkali-kali bertanya pada pak sopir sampai dia mau muntah mendengar tiap lima detik kami bertanya masih jauhkah, STT Telkom itu? Pada pertanyaan ke dua puluh lima barangkali, kami kemudian dilempar ke pinggir jalan sama pak sopir angkot yang kesal.
Benar-benar marah pak sopir itu, nyatanya ketika kami tanya ke penduduk sekitar mereka bilang masih jauh. Kira-kira 1 km lagi, busyet!
Kami akhirnya jalan kaki sambil sesekali mengawasi angkot yang lewat. Bukan mau naik angkot lagi (tidak ada budget), tapi menunggu klongkot (kelompok angkot) kedua. Setiap ada angkot yang lewat kami pelototin sampai angkot yang lewat itu langsung kabur tidak berhenti-berhenti (memang tidak ada kawanan lusuh bin kumuh, sih).
Jadi sempat terpikir jangan-jangan empat anak itu nyasar. Salah naik angkot, turun sebelum waktunya seperti kami, atau… malah sengaja kabur? Wah, bagian terakhir tuh yang gawat, mungkin tidak sih? Ah, yang penting saling percaya. Lagian kami punya sandera Kentang. Kalau mereka sampai kabur lihat saja, Kentang ini bakal kami cincang lalu kami buat keripik kentang.
Lima belas menit kemudian setelah leher kaku karena bolak-balik tengok ke belakang, datanglah sebuah angkot impian. Ya, sebuah angkot dengan carrier nangkring di atasnya. Pastilah kawan-kawan ajaib kami menyelip di antara penumpang lain. Serentak kami berteriak berusaha menghentikan angkot itu. Berhasil, berhasil, berhasil, horeeee! Teriakan kami sukses membuat angkot berhenti beberapa meter di depan.
Satu persatu muka-muka lusuh turun dari angkutan itu. Spontan kami saling bersalaman, berpelukan dan bertangis-tangisan. Aneh banget pokoknya, mendadak kena sindrom kangen. Padahal baru setengah jam terpisah, tapi bagi kami serasa satu abad. Di negeri antah berantah je, maksudnya di kota yang sama sekali asing. Teman seperjalanan serasa saudara sedarah, seurat nadi, sehidup tetapi jangan sampai semati.
Kami sungguh bersyukur bisa bertemu kembali, kalau sampai terpisah tidak ketemu-ketemu, gawat lima belas. Bisa-bisa dibuka operasi SAR. Memalukan! Tiga anggota UPL MPA UNSOED dan teman-temannya tersesat di kota Bandung. Cckck… di peradaban, Nek! Masa nyasar dan menghilang. Merusak image UPL yang pernah ke Cartenz Pyramid. Dan selanjutnya bersiap merambah ke luar negeri mulai Elbrus, Kilimanjaro, Vinson Massif dan Aconcagua. Sayangnya bukan aku yang melaksanakan tugas suci itu, hiks, hiks....
Ternyata sangat susah mencari lokasi kampus STT Telkom. Lebih mudah menemukan satu titik dalam hutan dengan peta. Tinggal pakai guide punggungan dan kompas bisa langsung ketemu. Lha, di sini kami sudah menggunakan guide andalan kami guide cocot (panduan mulut) bertanya-tanya, hasilnya malah berputar-putar tidak karuan. Untung kami ketemu mahasiswa nan budiman yang bersedia mengantar kami sampai ke tujuan.