Pendakian Gunung Salak
*Hari Kedua Pra Operasional (08.30 – 14.30 WIB): Bersitegang Sama Dengan Lapar
Fiuh! Anak-anak Astacala sekarang pasti bisa kembali bernapas dengan lega, GPK (Gerombolan Pengacau Kedamaian) sudah pergi. Dan ada satu harapan besar mereka, semoga orang-orang tadi tidak datang dan membuat repot kami lagi. Aamiin! (Kira-kira gitu doa bersama mereka).
“Aa, jangan lupakan kami ya?” pamit Pheenux dengan memakai panggilan kakak laki-laki ala Sunda. “Tiga cewek manis! Eh, empat ding. Maaf Teh!”
“Maaf, sudah merepotkan. Kapan-kapan lagi ya,” imbuhku saat acara perpisahan tadi.
Mas Anta tersenyum frustasi sembari melambaikan tangannya. Sementara kami melambaikan tangan dengan gerakan heboh riang gembira.
Dari Bandung kami harus meloncat ke Sukabumi, sebelum terbang ke Cidahu kami transit lagi di trotoar jalan dekat terminal. Mau tahu kenapa?
Yup, ini adalah buah dari melakukan pendakian tanpa perencanaan yang matang. Sekali lagi dalam arti tanpa RO (Rencana Operasional) dan koordinasi yang serius.
Payah dua satu pokoknya!
Ujang dengan tanpa rasa berdosa bilang kalau mereka cuma bawa bahan bakar gas satu tabung. Hah! Yang benar saja! Ketika masih di Purwokerto, mereka bilang semua beres tinggal berangkat. nyatanya? Bikin gondok lagi tuh anak.
“Kalian Mapala, mestinya tahu cara survival di hutan.” dalih Ujang menganggap perkara bahan bakar hal yang sepele.
Iya, memang benar kami pernah melakukan pelatihan jungle survival. Berangkat ke gunung hutan dengan membawa korek api dan perbekalan satu kali makan. Sisanya terserah kami berkreasi mencari makan yang disediakan oleh alam selama tiga hari ke depan.
Akan tetapi pelatihan itu untuk kondisi darurat. Kalau memungkinkan bisa melengkapi perbekalan dan bahan bakar sehingga kami tidak kelaparan di gunung, kenapa mesti membuat sengsara perjalanan sendiri? Seketika aku ingin melempar Ujang ke Kawah Ratu.
Sabar-sabar. Kemarahan tidak akan menyelesaikan masalah.
Kami kemudian berpencar mencari penjual tabung gas kaleng ke sekitar terminal. Nihil. Akhirnya setelah mendapat info tempat pembelian tabung gas yang letaknya jauh harus pakai angkot, Ujang bersedia membeli. Itu pun setelah adu debat hebat dan didesak kiri-kanan, depan-belakang, kepepet judulnya.
Selagi menunggu Ujang yang minta ditemani Noly dan Ali, kami yang tersisa seperti sedang terdampar di suatu pulau antah berantah. Terbiar, terlantar di pinggir jalan. Perut lapar, di sebelah ada penjual mie ayam yang terlarang untuk kami beli, mengingat masalah keuangan. Tambah menderita, deh cacing dalam perut.
Waktu itu kami akhirnya hanya bernyanyi-nyanyi mirip pengamen di perempatan lampu merah, meski tidak ada yang melempari uang. Lagu Ari Lasso, “Misteri Illahi” kembali mengudara. Lirik pertama sangat mencerminkan kami kala itu. Masih di sini, belum sampai mendaki gunung termimpi.
Satu jam lima belas menit kemudian Ujang datang dengan gas di tangan. Tak lupa oleh-oleh cerita betapa dia harus ke sana kemari mencari gas itu karena toko yang mereka tuju sedang kehabisan stok. Betapa perjuangannya sangat luar biasa, demi ayang Pheenux yang ngotot bahwa dirinya harus bertanggungjawab atas terlantarnya mereka.
Pheenux segera memaafkan, yang semula ingin murka karena menunggu sangat lama. Bahkan dalam bus yang membawa kami ke pasar Cigugur, kami sudah menyanyi riang seolah tidak terjadi apa-apa.
Sekitar pukul satu siang kami tiba di pos pendakian Cidahu. Ada berita buruk kawan, setelah membeli karcis masuk kami saling pandang dan mendesah, antara lelah, kecewa, marah, sebal dan bla…bla… perasaan jadi be-te berat.
Bagaimana tidak?
Petugas penjaga bilang kami tidak mungkin bisa sampai ke puncak Salak, katanya ada jalur yang longsor dan tidak bisa dilalui. Dalam kabut kebingungan, untunglah muncul malaikat penolong. Rombongan Mapala UI yang sedang berkegiatan di Bumper Cidahu memberikan informasi jalur alternatif, lewat Curug Pilung. Kata mereka tidak terlalu jauh dari Cidahu.
“Gimana?” tanya Ujang. “Mau lanjut, apa kita putar haluan ke Curug Pilung?”
“Tapi karcisnya sayang kan, kita sudah bayar mahal untuk masuk lewat jalur ini,” kata Citonk. “Kecuali kalau karcis ini kita tukar lagi dengan uang, terus uangnya kita pakai buat naik angkot ke Curug Pilung.”