Pendakian Gunung Salak
*Hari Kedua Pra Operasional (17.00 – 20.30 WIB): Kempingnya Mapram
Hari itu kami hanya sampai di Warung 1 yang sepertinya sekarang ini punya nama camping ground Lembah Damar. Tidak seperti dulu yang belum banyak area kempingnya. Saat ini di Kawasan Cidahu setidaknya sudah ada tujuh camping ground, mulai dari Camping Dam yang terletak di sekitar tempat Wisata Cangkuang, kemudian Lembah Damar, Kaliandra, Blok 3A Tamara, Lembah Wisma, Kancil Camp (letaknya berdekatan dengan pintu masuk ke jalur pendakian Gunung Salak), dan terakhir Puspa Camp.
Berhubung hari mulai gelap, kami memutuskan nge-camp di tempat kemping tersebut. Selain kami, ternyata banyak juga yang sedang berkemah. Yang jelas, malam ini kami benar-benar menikmati acara kemping. Apalagi ada peralatan pendukung berupa gitar. Wah, cocok banget!
Hal yang membuat aku, Pheenux, Citonk meringis miris adalah tenda yang geng Yogya bawa. Bukan tenda kubah atau dome sebagaimana yang biasa kami bawa kalau berkegiatan. Mereka dengan bangga menebarkan tenda segitiga. Tenda pramuka, Bleh! Persami banget! Pas malam minggu lagi. Jadi teringat masa sekolah dari SD sampai SMA kalau ada kegiatan kemah pramuka selalu memakai tenda segitiga.
Sama seperti kasus tabung gas yang cuma mereka bawa satu buah. Aku, Pheenux dan Cithonk hanya bisa menghela napas menggali kesabaran lebih atas kekonyolan demi kekonyolan pendakian kami kali ini.
“Pen, yang kamu suka apaan sih?” tanya Ujang usai kami menggelar acara makan-makan di luar tenda.
“Yang aku suka?” Pheenux pura-pura berpikir.
“Barang atau sesuatu apa, kek?” perjelas Ujang.
“Aku suka gunung! Apa tanya-tanya, kamu mau kasih aku gunung?”
Ujang bengong sesaat. “Okelah, akan aku persembahkan semua gunung yang ada di bumi ini untukmu.”
“Caranya?” tanya Kentang sambil garuk-garuk kepala.
“Mendakinya untuk Pheenux tentu. Atau kita mau mendaki bersama selamanya?” jawab Ujang sambil menoyor kepala Kentang. Seperti sedang geli sendiri atas pernyataannya itu.
“Gombal keterlaluan,” komentar Noly.
Aku dan Citonk sudah bercie, cie ria.
“Betul, Nol!” Pheenux mengacungkan ibu jari. “Nggak mutu. Aku juga ogah naik gunung terus sama dia.”
Selanjutnya mereka berdua sudah adu mulut hebat. Sementara itu aku dan Citonk cengar-cengir diseling tepuk tangan. Ali dan Teh Mei terlibat percakapan romantis. Dede asyik mengenjreng gitar mengiringi debat Pheenux dan Ujang. Noly no comment, no pro mana pun sibuk membuat asap.
“Sush, anak Mapala UI tadi ganteng ya?” Pheenux segera melakukan manuver percakapan. Sasarannya aku yang tentu saja kaget mendapat pertanyaan tersebut.
Aku loading sejenak. Memindai ingatan mahluk dari gerombolan Mapala UI yang Pheenux bilang ganteng. “Yang mana?”
Saat terjadi diskusi dengan anak Mapala UI aku memang sedang kongkow bareng Dede dan Teh Mei di pinggir selokan. Tidak begitu memperhatikan. Hanya gabung sebentar sebelum mereka menyatakan salam perpisahan.
“Si Jay?” tanggap Citonk tersenyum. “Biasa aja,”
“Ganteng gitu kamu bilang biasa?” tanggap Pheenux yang segera matanya beralih padaku. Dia meminta dukungan dariku. “Itu lho yang rambutnya gondrong.”
“Oh, yang itu. Lumayan sih, tapi pendek.” balasku yang langsung teringat pada cowok yang tertandai memiliki rambut mirip Mbak-Mbak di iklan sampo. Lurus, hitam berkilau.