The Threembak Kentir's

Xie Nur
Chapter #15

Elang, Terdampar! (6)

Pendakian Gunung Salak

*Hari Ketiga Operasional (08.30 – 23.00): Puncak Salak Berujung Kawah Ratu

Paginya pukul setengah sembilan, kami bersiap melanjutkan perjalanan. Melewati jalur yang masih terlindung oleh lebatnya pepohonan. Medan berupa batu-batuan kecil yang ditebar menutupi lapisan tanah di bawahnya. Tanjakan yang kami dapat pun tidak securam seperti yang telah terbayangkan.

Jalur lewat Cidahu ini bagiku jalur yang royal air. Beberapa kali kami melewati aliran air yang melintang jalur. Bahkan ada jalur yang medannya mirip rawa. Bagi yang berkegiatan tidak mengenakan sepatu siap-siap saja kakinya penuh lumpur atau berubah memakai sepatu dari bahan lumpur itu sendiri. Penggunaan sepatu lars tinggi untuk jalur seperti ini menurutku sangat disarankan. Seperti halnya ketika mendaki Gunung Slamet via Baturaden yang cenderung basah, kami juga selalu mengenakan sepatu gunung dengan geither atau sepatu tentara guna melindungi kaki dari serangan pacet (hewan penghisap darah seperti lintah, tetapi hidupnya di darat pada daerah yang lembab).

Sekitar tiga jam lebih sudah kami berjalan. Akan tetapi pertigaan jalan setapak yang mengarah ke kanan belum terpindai mata. Padahal Bapak penjaga pintu masuk bilang persimpangan ke Gunung Salak tidak lebih dari dua jam perjalanan. Apa kami yang jalannya terlalu pelan. Ah, tidak, standar deh! Malah tergolong cepat. Habis dapat bonus terus (tidak ada tanjakan yang menohok maksudnya).

Pertigaan yang dimaksud itu sekarang bernama Simpang Bajuri. Saat kami mendaki sama sekali tidak ada plang penanda menuju puncak, atau ke Kawah Ratu. Coba waktu itu kami bawa peta, pasti sudah sampai. Hush! Nggak boleh menyesali takdir. Dosa! Nikmati saja. Buktinya kami enjoy saja.

Hari itu lalu lintas jalur lumayan ramai. Banyak sekali orang hilir mudik berpapasan dengan kami. Berdasarkan informasi, mereka sedang melakukan napak tilas. Entah apa, aku tidak begitu paham. Dan tujuan akhir mereka semua atau ujung perjalanan mereka sebelum berbalik adalah Kawah Ratu. Sesuai dengan yang tertera di tiket masuk; Karcis Masuk Wisata Alam Kawah Ratu.

Saat istirahat makan snack__tea time di sebuah tikungan yang lebar, selepas melewati sungai kecil, kami berunding tentang posisi kami. Menggunakan orientasi medan seperlunya tanpa peta dan kompas, mendasarkan ilmu kiralogi yang kesahihannya absurd.

Saat sudah mentok Ujang urun suara kalau waktu jalan tadi sekilas dia melihat jalan setapak ke kanan. Katanya sih, jalan itu sangat samar, makanya dia abaikan.

“Jadi balik lagi?” tanya Pheenux ke Ujang.

“Jauh nggak dari sini?” tanya Citonk.

“Jauh lah,” jawab Ujang. “Aku nemunya sebelum kita lewat jembatan kecil.”

“Wow! Jauhna....” komentar Kentang.

“Kok kamu nggak bilang dari tadi!” protes Pheenux.

“Habis kalian jalan kayak babi hutan, main terjang nggak tengok kiri-kanan, ngerem aja enggak,” jawab Ujang yang hari ini bertindak sebagai penyapu. Orang yang jalannya paling belakang dalam perjalanan pendakian atau sering disebut sebagai sweeper.

“Mau balik nggak nih?” tanya Noly memutus debat kusir tanpa kuda.

“Waaa, balik lagi?” Dede terduduk lesu bertumpu pada gitarnya. “Sudah jauh begini?”

“Benar, tanggung,” tanggapku. “Lanjut aja, siapa tahu pertigaannya masih di depan. Semisal nggak ketemu juga, yaah, kita piknik ke Kawah Ratu.” ucapku tertawa tanpa dosa.

Sungguh aku saat itu belum paham kalau ucapan terkadang menjadi sebuah doa yang mujarab. Beware of it!

Lihat selengkapnya