Pendakian Gunung Salak
*lanjutan Hari Ketiga Operasional ( 23.00 WIB): Kebakaran, Bleh!
“Api, api, Cit, awas kepalamu!” teriak Ujang kemudian dengan heboh.
“Kebakaran!” suara Ali turut mewarnai.
Aku sontak terbangun. Mengerjap-kerjapkan mata untuk melihat apa yang terjadi, Beberapa detik kemudian mataku melihat jelas bahwa kantung tidur alas tidur aku dengan Citonk sudah berlubang kena bekas api.
“Coba tadi aku nggak terbangun. Kita semua pasti udah jadi manusia panggang.” ucap Ujang memeriksa tangannya yang memerah.
“Kayaknya enak,” celoteh Dede setengah terjaga setengah tidur. Namun, tidak mendapat respon dari siapapun. Semua masih tercengang membayangkan perkataan Ujang.
“Gimana sih?” tanya Citonk membuka keheningan. Tangannya meraba kepala memastikan seberapa parah api melahap ujung rambutnya.
“Lilin yang tadi ditaruh sini habis dan membakar tutup wadah makanmu Cit. Terus menular membakar kantung tidurmu. Rambutmu kena bakar sedikit tuh.” terang Ujang sambil meniup-niup tangannya yang kena luka bakar akibat terlalu bernafsu membinasakan kobar api. “Tanganku jadi korban nih.”
“Sus, kita bawa obat luka bakar kan?” tanya Pheenux.
“Ada, sebentar. Di mana ya?”
“Belakang Teh Mei.” tunjuk Citonk.
“Tolong, Teh!”
“Eh, topi siapa nih? Tadi langsung aku ambil buat memadamkan api.” Ali memperlihatkan sebuah topi hitam yang menderita luka bakar juga.
“Wah, punyaku!” seru Noly langsung merebut dari tangan Ali dengan ekspresi berduka.
“Sori, darurat!” kata Ali dengan nada suara merasa sangat bersalah.
“Hhh... udahlah, yang penting kita tidak mati konyol di sini,” balas Noly. “Tadi siapa sih yang tidur terakhir?”
“Nih, obatnya Jang.” aku menyodorkan salep luka bakar.
“Nggak tahu, yang jelas waktu aku ngobrol sama Dede, tiba-tiba aku nggak tahu aku ada di mana.” ungkap Kentang nyengir. “Tahu-tahu ada orang teriak kebakaran.”
“Ah, kamu tuh!” tuduh Noly. “Lain kali langsung matikan saja segala api yang ada di dalam tenda. Jadi nggak membahayakan seperti tadi.”
“Sudah, yang penting kita masih selamat.” Mei angkat bicara.
Suasana hening kembali. Satu-persatu kami tumbang kembali pada posisi meringkuk saling silang tidak karuan.
*Hari Keempat Operasional (08.30 – 15.00 WIB): Long March
Paginya sinar mentari bersinar dengan cerah. Seperti biasa kami berlarian menuju pintu masuk kemarin. Apalagi didukung dengan medan jalan aspal yang mulus datar, sampai-sampai tidak sadar kalau ada dua anggota yang tercecer. Mei dan Ali entah di mana gerangan.
Kentang langsung memeriksa ujung tikungan yang berjarak kurang lebih lima puluh meter dari tempat kami kehilangan jejak keduanya.